ASIACALLING

Orang Filipina Berharap Bisa Belajar dari Thailand dalam Pemberantasan Narkoba

Ibu dari korban tindakan pembunuhan tanpa proses hukum didampingi Komisioner HAM Filipina sedang men

Selama 16 bulan terakhir, Presiden Filipina Rodrigo Duterte melancarkan perang melawan narkoba. Tindakan yang dilakukan secara kejam dan berdarah ini telah menewaskan lebih dari tujuh ribu orang.

Ini bukan kali pertama warga Asia melihat gelombang pembunuhan tanpa proses hukum. Beberapa tahun yang lalu, Thailand menyaksikan gelombang pertumpahan darah serupa, atas nama pembersihan narkoba.

Dari Bangkok, Kannikar Petchkaew melaporkan munculnya kerjasama di kawasan untuk mengakhiri pembunuhan tersebut.

Peringatan ficer ini mengandung beberapa konten yang eksplisit dan mengganggu bagi beberapa pihak.

Luzviminda Siapo bercerita tentang hari ketika anak laki-lakinya yang berusia 19 tahun terbunuh, 7 bulan lalu. Putranya diseret keluar dari rumahnya oleh 14 pria bertopeng dan kepalanya ditembak dua kali.

Para saksi mata mengatakan putra Luzviminda diperintahkan untuk lari menyelamatkan diri sebelum ditembak. Tapi kata sang ibu, putranya tidak bisa lari karena kakinya pengkor.

Saya bertemu Luzviminda yang datang bersama Komisioner Hak Asasi Manusia Filipina, Leah Tanodra-Armamento. “Saat ini ada lebih dari 13 ribu kematian yang didokumentasikan. Delapan ribu diantaranya sedang diselidiki,” ungkap Leah.

Keduanya berkunjung ke Thailand Oktober lalu untuk membagikan cerita tentang orang-orang Filipina yang dibunuh dalam apa yang disebut sebagai ‘perang terhadap narkoba’ di negara itu.

Rodrigo Duterte dilantik jadi Presiden Filipina 16 bulan lalu. Sejak itu, ribuan orang yang diduga bandar dan pengguna narkoba dibunuh. Caranya ditembak atau tewas dalam serangan acak dalam sebuah gelombang kekerasan yang dilakukan negara.

Presiden Duterte menolak desakan dari dalam dan luar negeri untuk bertanggung jawab. Dia menolak anggapan kalau pemerintahannya bertanggung jawab atas kematian-kematian itu. 

Frustrasi karena kurangnya keadilan di dalam negeri, para pegiat HAM Filipina pergi ke luar negeri untuk mencari solusinya. Mereka berhubungan dengan orang-orang Filipina yang tinggal di Thailand, seperti Marion Cabrera.

“Kami khawatir dengan keselamatan dan kesejahteraan keluarga dan orang-orang yang kami sayangi di kampung halaman, terutama anak-anak kami. Karena memburuknya pembunuhan terkait narkoba di sana karena perang terhadap narkoba yang dilancarkan Duterte,” kata Marion. 

Marion adalah bagian dari Jaringan Advokasi Melawan Pembunuhan atau ANAK. Organisasi ini berharap bisa belajar dari pengalaman Thailand.

Akademisi  dan aktivis HAM Thailand, Sriprapha Petcharamesree, bertemu dengan para pegiat HAM Filipina ini. 

Dia menjelaskan tahun 2003, Thailand melihat dua ribu pembunuhan tanpa proses hukum dalam waktu tiga bulan. Perdana Menteri Thaksin Shinawatra saat itu menyatakan narkoba adalah musuh bangsa nomor satu dan melancarkan kampanye berdarah.

“Pada 2007, sebuah penyelidikan resmi menemukan bahwa lebih dari setengah dari mereka yang terbunuh, tidak punya hubungan apapun dengan obat-obatan terlarang,” jelas Sriprapha.

Para pegiat HAM Filipina menemukan kesamaan yang mencolok antara kedua negara.

Baik di Thailand dan Filipina, pemimpin bertangan besi telah mempelopori pembunuhan tanpa proses hukum. Keduanya punya pendukung mayoritas di parlemen dan hanya sedikit polisi yang didakwa melakukan pembunuhan.

Tapi di Thailand, Shinawatra akhirnya menyerah pada oposan di dalam negeri.

Bekas Menteri Kehakiman Thailand, Paiboon Koomchaya, percaya tindakan keras Thailand itu gagal total.

“Penangkapan massal dan hukuman kejam semacam itu hanya menyebabkan hilangnya nyawa secara besar-besaran. Dan sekarang setiap negara menghadapi masalah yang sama: penjara yang penuh sesak,” tutur Paibun.

Meski pembunuhan itu telah berakhir di Thailand, masalahnya belum berakhir. Jumlah narapidana yang dipenjara terkait narkoba di Thailand meningkat hampir dua kali lipat dalam satu dekade terakhir.

Tingkat penahanan di Thailand saat ini tertinggi kedelapan di dunia menurut Institute for Criminal Policy Research. Dimana jumlah narapidana lebih dari 300 ribu orang. Dan 70 persen adalah napi narkoba.

Bulan Oktober ini juga Duterte mengambil langkah mundur dengan memerintahkan semua polisi  menghentikan operasi narkoba. Namun kampanye berdarahnya tetap berlanjut, yang sekarang dilakukan oleh Lembaga  Penegakan Antinarkoba Filipina. Bukan lagi polisi.

Ada 10 juta warga Filipina yang bekerja di luar negeri. Marion berkata pekerja migran Filipina bersumpah akan menghentikan pembunuhan tersebut dari manapun mereka berada.

“Kami berkomitmen untuk mempertahankan inisiatif kami di dalam dan di luar Filipina untuk melindungi demokrasi dan kehidupan orang-orang lain. Kami akan menjangkau komunitas pekerja migran Filipina lainnya untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah Duterte karena sikapnya yang kejam dan untuk membela rakyat Filipina dari pemerintahannya sendiri,” tutur Marion.

Awal tahun ini, Thailand mengalihkan fokus kebijakan narkobanya, dari pemenjaraan ke rehabilitasi. Banyak yang berharap, Filipina akan segera mengikuti langkah ini.

 

  • Kannikar Petchkaew
  • Thailand
  • Perang anti-narkoba
  • pemberantasan narkoba Filipina
  • Presiden Duterte

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!