ARTIKEL PODCAST
"Penurunan kelas menengah di Indonesia membawa dampak buruk ke ekonomi. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk memitigasinya"
KBR, Jakarta – Fenomena turunnya jumlah kelas menengah di Indonesia sedang menjadi perbincangan. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2024 kelas menengah tercatat 47,85 juta jiwa, turun hampir 10 juta dibandingkan 2019 yaitu 57,33 juta jiwa.
Penurunan angka ini patut jadi kekhawatiran, mengingat kelas menengah berkontribusi besar pada ekonomi negara. Dalam laporan Indonesia Economic Outlook Triwulan III 2024, penurunan kelas menengah bukan hanya disebabkan oleh pandemi Covid-19. Tren itu sudah terjadi sejak 5 tahun terakhir.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) UI Jahen Fachrul Rezki menyebut salah satu faktor pemicu penurunan kelas menengah adalah kebijakan ekonomi yang kurang inklusif. Kelas menengah jarang mendapat manfaat dari pertumbuhan ekonomi.
“Kalau kelompok miskin pas kita lihat di masa Covid-19, bisa mendapatkan bantuan tunai dari pemerintah. Bantuan langsung nggak relevan buat kelas menengah karena mungkin size-nya akan sangat kecil buat kelas menengah,” tutur Jahen.
Kondisi ekonomi yang masih belum stabil, memicu gelombang PHK, yang ujungnya menggerus jumlah kelas menengah. Penurunannya tak cuma secara kuantitas, tetapi juga kualitas, terlihat dari pertumbuhan konsumsi yang rendah.
“Jadi value added itu maksudnya nilai tambah dari tiap pekerja itu rendah, karena gaji yang ditawarkan juga lebih rendah. Terus yang kedua, kebanyakan pekerjaan yang muncul adalah di sektor-sektor informal, ya kalau dibandingkan dengan formal, pasti gajinya akan lebih rendah.” jelas Jahen.
Baca juga:
Peneliti LPEM UI Jahen Fachrul Rezki menyebut penurunan kelas menengah membuat tingkat pengeluaran lebih kecil karena pendapatan berkurang. (Foto: Dok Pribadi)
Uang yang dibelanjakan kelas menengah berkurang karena fokus pada pemenuhan kebutuhan primer seperti pangan.
“Uang mereka habis buat makanan dan sedikit sekali alokasinya untuk tabungan, kesehatan, dan pendidikan,” katanya.
Beban inflasi makin memojokkan posisi kelas menengah. Fenomena makan tabungan kian marak karena meningkatnya harga barang-barang.
Jahen membandingkan Indonesia dengan negara tetangga, Malaysia, yang justru mengalami kenaikan jumlah kelas menengah hingga 20%. Kualitas kelas menengah Negeri Jiran meningkat karena dukungan pemerintahnya.
Keberhasilan Malaysia bisa diadopsi Indonesia, misalnya mulai dari menyediakan pendidikan yang terjangkau dan berkualitas. Kemudian, berlanjut ke upaya perbaikan akses kesehatan yang mumpuni.
“Soal pelayanan publik, mereka butuh transportasi yang bisa diakses. Jadi memang pemerintah harus mencari best policy yang bisa diterima semua orang, memberikan dampak yang maksimal,” ujar Jahen.
Dengarkan penjelasan lengkap Peneliti LPEM UI Jahen Fachrul Rezki soal penurunan kelas menengah di Uang Bicara episode Ratapan Anak Kelas Menengah, Indonesia Menuju Cemas? Simak podsactnya di KBR Prime, Spotify, Noice dan platform mendengarkan podcast lainnya.