DISKO
"Berat Beban Mental dan Finansial"
KBR, Jakarta- Belakangan diskusi beban berat yang dipikul generasi sandwich terpantik dengan viralnya video pertengkaran antara seorang kakak beradik di TikTok. Meski sudah bekerja banting tulang dan mengambil beberapa pekerjaan sekaligus, sang kakak masih kesulitan membayar uang wisuda adiknya tersebut.
Menanggung beban ekonomi keluarga sekaligus memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri bukanlah perkara mudah. Video yang viral di TikTok jadi salah satu gambaran fenomena generasi sandwich masih terus terjadi di Indonesia.
Generasi Sandwich adalah gambaran orang yang harus menanggung hidup generasi di atas dan di bawahnya. Misalnya menanggung orang tua, adik atau anaknya. Kondisi tersebut dianalogikan seperti sandwich, yaitu sepotong daging yang dihimpit 2 buah roti.
Hasil survei Litbang Kompas pada Agustus 2022 menunjukkan 56 juta penduduk Indonesia di usia produktif merupakan generasi sandwich. Di mana separuh responden generasi sandwich berasal dari kalangan menengah-bawah yang menanggung kehidupan dua generasi.
Dosen Departemen Sosiologi, Universitas Airlangga, Nur Syamsiyah bahas fenomena generasi sandwich di masyarakat Indonesia.
Dosen Departemen Sosiologi, Universitas Airlangga, Nur Syamsiyah mengungkap fenomena generasi sandwich lahir dari budaya berbakti dengan orang tua. Di mana fenomena ini umum terjadi di Indonesia dan kawasan Asia.
"Harus membantu keluarga, mempunyai kolektivitas tinggi. Jadi, dia mendapatkan beban untuk membantu menghidupi orang tua dan adik-adiknya. Dia juga punya beban untuk menyiapkan masa depannya, termasuk nanti menanggung anak-anaknya. Nah, ini memang fenomena yang semakin terlihat dengan semakin tingginya angka harapan hidup, juga semakin membesarnya kesenjangan sosial, dan itu banyak terjadi di negara-negara yang menua," ungkapnya.
Besarnya beban finansial yang ditanggung, membuat generasi sandwich harus memiliki perencanaan finansial yang realistis. Tapi beban ini harus dikomunikasikan pada keluarga.
"Mau tidak mau harus merencanakan keuangan secara realistis, dan harus bisa mengkomunikasikannya dengan anggota keluarga lain, supaya bebannya itu bisa terbagi. Karena kalau misalnya hanya ditopang oleh satu pihak saja, maka pihak tersebut bisa mengalami pertama burnout, kemudian juga akhirnya kesulitan untuk merencanakan keuangan atau merencanakan persiapan-persiapan masa depannya."
Tak jarang generasi sandwich juga harus mencari tambahan pemasukan untuk memenuhi kebutuhan.
"Faktor-faktor yang bisa identifikasi adalah tingginya harapan hidup, artinya generasi lebih tua semakin panjang usianya. Tapi pertanyaannya apakah mereka masih produktif atau hanya menjadi beban? Kemudian struktur ekonomi dan sosial semakin kompleks. Ini membuat generasi sekarang lebih sulit mendapatkan kenyamanan atau kemapanan di tengah sulitnya kondisi ekonomi. Kemudian ada juga ketegangan peran sosial yang membuat individu mesti menjalankan peran yang dipengaruhi dimensi budaya di masyarakat tersebut," pungkasnya.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Eunike Sri Tyas Suci bahas beratnya beban mental generasi sandwich.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Eunike Sri Tyas Suci menilai kerentanan kondisi ekonomi yang dialami generasi sandwich berpotensi membuatnya terkena gangguan mental. Lantaran beban yang ditanggung lebih besar ketimbang kemampuannya.
"Kalau beban makin berat dan gak ada solusi. Memang berpotensi mengalami masalah kesehatan jiwa pasti ada. Paling sederhana stres, karena beban yang berlebih. Itu potensi stres yang luar biasa. Kalau sudah berusaha bekerja sana-sini, bisa burnout. Tapi income yang didapatkan tidak sebanding," ungkap Tyas.
Baca juga:
Menurut Tyas, terkait masalah kesehatan mental generasi sandwich. Mereka membutuhkan kemampuan mengelola stres. Lantaran stres yang dibiarkan akan mengganggu kesehatan fisik.
"Stres terus menerus bisa mengakibatkan depresi. Simptomnya sederhana, misalnya tidak bisa tidur, mengalami gangguan makan. Makan terus, ngemil atau bahkan tidak berselera makan. Kemudian pemikiran-pemikiran tentang pemaknaan hidup. Karena dia sendiri tidak bisa menikmati hidup untuk dirinya sendiri," ujarnya.
Tyas mencontohkan, tak jarang generasi sandwich hanya menyisihkan waktu atau materi yang jumlahnya kecil untuk dinikmati dirinya sendiri. Karena mayoritas alokasi anggaran jatuh untuk keperluan keluarganya. Bisa untuk orang tua, adik atau anak.
"Otomatis perhatian terhadap kesejahteraan emosi sendiri atau kesehatan mental menjadi berkurang. Risiko besar sangat besar, ketika dia harus menanggung semua beban itu sendiri. Maka bisa collapse."
Temukan konten-konten kesehatan mental di kbrprime.id atau platform mendengar podcast kesayangan anda.