RUANG PUBLIK
Sumbangsih Orang Muda Merawat Keberagaman
"Jangan takut berdialog dengan orang yang berbeda (keyakinan). Tujuannya bukan untuk mencari siapa yang paling benar, tapi untuk saling memahami"
AUTHOR / Cornelia Wendelina
-
EDITOR / Ninik Yuniati
KBR, Jakarta - Kepedulian orang-orang muda terhadap isu kebebasan beragama atau berkeyakinan penting untuk terus dipupuk. Kalangan muda perlu dikenalkan tentang fakta keberagaman Indonesia, salah satunya soal agama atau keyakinan. Dengan begitu, perjumpaan dan dialog antariman bisa diinisiasi sedari dini.
Realita saat ini masih jauh panggang dari api. Banyak kasus intoleransi terus mengemuka, misalnya pembubaran ibadah dan penolakan pembangunan rumah ibadah.
Kondisi itulah yang menggerakkan 20 komunitas orang muda menginisiasi kampanye #Friendship4Peace di aplikasi Campaign #ForABetterWorld sejak Agustus 2024. Mereka berkolaborasi dengan Peace Generation.
Menurut Benaya Jonathan, Project Lead #Friendship4Peace, kampanye ini bertujuan mendorong toleransi dan perdamaian.
"Kita ingin mencoba mengubah perspektif, memang betul ada barrier-barrier di dalam konteks keagamaan, dan juga toleransi itu sendiri, pastinya ada perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat kelompok ataupun personal antarindividu," jelas Benaya di Ruang Publik KBR, Senin (18/11/24).
Inisiator kampanye adalah 10 komunitas muda, masing-masing di Jawa Barat dan Sumatera. Menurut Benaya, wajah toleran orang muda Jawa Barat perlu diperkuat agar tak hanya berhenti di menerima perbedaan.
"Namun, juga mau menggerakkan untuk mengutamakan dan juga mendorong lagi agar tidak ada perbedaan tersebut dan tetap mengutamakan toleransi dan persatuan," imbuh Benaya.
Sedangkan di Sumatera, perbedaan-perbedaan di masyarakat masih kental, sehingga kampanye toleransi perlu terus digaungkan.
"Banyak sekali organisasi lokal yang sudah bergerak. Namun mungkin masih membutuhkan dukungan lebih jauh lagi, baik dari segi kampanye secara digital maupun dari segi bagaimana sih cara berkampanye yang baik dan bisa menyesuaikan dengan masyarakat lokal,” kata Benaya.
Baca juga: Anak Muda Minoritas Agama/Keyakinan Maknai Sumpah Pemuda
Adapun Yogyakarta menjadi embrio munculnya Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC). Komunitas ini diinisiasi dua mahasiswa Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) pada 2012. Mereka adalah Andreas Jonatan, seorang kristiani dan Ayi Yunus Rusyana, seorang muslim.
Menurut Annisa dari YIPC, anggota komunitas ini banyak dari kalangan mahasiswa. Kemah lintas iman (peace camp) menjadi salah satu kegiatan utamanya. Di dalamnya, para peserta diajak berdialog lintas iman berbasis kitab suci.
"Jangan takut berdialog dengan orang yang berbeda menggunakan kitab suci. Tujuannya bukan untuk mencari siapa yang paling benar, tapi untuk saling memahami, dan pendekatannya juga berbasis refleksi,” ujar Annisa.
Annisa bergabung dengan YIPC sejak 2018 dipicu keresahannya terhadap tafsir agama yang kerap ia dengar sejak kecil. Di antaranya, bahwa Islam merupakan satu-satunya jalan kebenaran dan tidak boleh berteman dengan umat agama lain.
Semenjak di YIPC, pikiran Annisa jadi lebih terbuka.
“Bertemu orang yang berbeda aku jadi melihat dia manusia yang berharga, sama seperti aku. Ciptaan Tuhan sama seperti aku. Keberagaman itu datangnya dari Tuhan, maka sebagai ciptaan-Nya harus merayakan keberagaman yang dikaruniai oleh Tuhan,” tegasnya.
Tantangan
Mengkampanyekan toleransi bukan perkara mudah, banyak tantangan yang mesti dihadapi. Di media sosial, gerakan #Friendship4Peace, terkadang mendapat komentar negatif.
Terlepas dari upaya dalam memerangi isu intoleransi, tak sedikit juga stigma negatif masuk ke media sosial kampanye yang dilakukan Benaya dan organisasi yang berkolaborasi dengannya.
“Ada satu, dua, yang bercerita (soal stigma). Dan di media sosial kami, ada komentar yang mungkin kurang baiklah, dalam artian menyasar terhadap satu kelompok saja,” cerita Benaya.
Akun YIPC bahkan pernah diretas. Menurut Annisa, komunitasnya banyak membahas diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Isu-isu seperti ini, oleh sebagian orang, masih dianggap sensitif.
“Misalnya mau angkat isu bagaimana teman-teman trans (gender) bisa mengakses ruang ibadah yang aman. Atau bagaimana teman-teman agama lokal bisa diakui eksistensinya,” ujar Annisa.
YIPC juga pernah menerima ancaman saat menggelar dialog tentang Ahmadiyah dan Syiah.
“Misalnya kita berdialog dengan teman-teman Ahmadiyah, teman-teman Syiah atau teman-teman dari kelompok yang dimarjinalkan, itu juga pernah mengalami ancaman,” kata Annisa.
Baca juga: Kebhinekaan yang Dihidupi di Sekolah Global Mandiri
Annisa pun mesti menghadapi orangtuanya yang masih punya pikiran negatif terhadap pemeluk agama lain. Mereka khawatir putrinya bakal pindah agama, jika bergaul dengan teman lintas iman di YIPC. Namun, Annisa punya cara.
“Dari awal aku ikut kegiatan lintas iman sampai hari ini, orangtuaku masih melihat bahwa aku masih taat beribadah, masih seorang muslimah, 'oh ternyata berteman dengan orang yang berbeda itu membuat anaknya juga tetap beriman'. Aku juga pernah sharing, harusnya semakin beriman seseorang, dia semakin toleran,” tuturnya.
Berbagai tantangan itu tak menyurutkan langkah YIPC maupun gerakan #Friendship4Peace. Annisa dari YIPC mengatakan, bersikap intoleran justru bakal merugikan diri sendiri.
“Kalau kita terus terjebak sama hal-hal yang bersifat homogen, itu akan merugikan diri kita sendiri. Tapi kalau kita mau menyikapi realitas keberagaman dengan menerimanya dan berkolaborasi, itu justru akan membawa manfaat untuk diri kita,” ungkap Annisa.
Gerakan #Friendship4Peace juga bakal terus digulirkan. Sebab, Benaya Jonatan, Project Lead #Friendship4Peace menekankan orang muda merupakan penggerak utama toleransi.
“Saya kutip kata-kata Gusdur, 'kalau kita melakukan hal baik untuk semua orang, orang itu tidak akan tanya agama kamu apa?' Betul kita harus berkolaborasi dengan yang lain. Kalau kita sebagai anak muda mau jadi penggerak utamanya, saya yakin bisa membuat Indonesia menjadi lebih damai dan lebih toleran,” ujar Benaya.
*Artikel ini dibuat KBR Media dengan pendanaan dari Social Impact Reporting Initiative Project WAN IFRA Women in News, dengan tetap mempertahankan independensi editorial KBR Media.
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!