NASIONAL
Silang Pandangan Pegiat Pendidikan dan Ahli Hukum soal Program KDM
Sebagian kalangan menilai pendidikan ala militer positif bagi anak, tetapi ada masalah besar dari sisi hukum

KBR, Jakarta - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berkukuh dengan kebijakannya mengirim "anak nakal" ke barak militer, meski banjir kritik dari berbagai kalangan. Program ini sudah bergulir di berbagai daerah di Jawa Barat, bahkan ditiru provinsi lain.
Respons publik - termasuk para pakar - memang beragam.
Di Ruang Publik KBR, Selasa (6/5/2025), terjadi perbincangan menarik antara pengamat pendidikan Ina Liem dan pakar hukum pidana anak, Ahmad Sofian. Pandangan keduanya relatif berseberangan menyikapi program Gubernur Jabar Dedi Mulyadi, yang akrab disapa KDM.
Pendidikan ala militer
Ina Liem mendukung program KDM, jika mengarah ke pendidikan ala militer. Ina merujuk SMA Taruna Nusantara sebagai contoh ideal pendidikan ala militer di Indonesia.
Pendiri dan CEO Jurusanku ini menyarankan, narasi program KDM diubah agar tidak berdampak negatif pada anak di kemudian hari.
"Kesannya ini adalah hukuman bagi anak yang bermasalah. Padahal bukan. Orangtua yang memasukkan anak ke pendidikan ala militer, bukan kepengin menghukum anaknya. Tapi pengin anaknya punya leadership yang kuat, karakternya berkebangsaan, kolaborasinya bagus," kata Ina Liem.
Dukungan Ina dilatari pengalamannya pernah mendapat pendidikan ala militer. Selain itu, saat menjadi konsultan pendidikan, ia mendapati banyak kliennya berhasil usai dididik ala militer di sekolah luar negeri.
"Ada (orangtua) WA saya, 'Bu Ina, itu life change advice banget. Anak saya nilainya A semua, dari yang berangkat tuh enggak ada greget, enggak ada determinasi, motivasi belajar, nilai biasa aja di sekolah'," ujar Ina.
Bagi Ina, anak disebut nakal atau bermasalah ketika merugikan orang lain atau kepentingan bersama.
"Tawuran itu juga merusak fasilitas bersama, kemudian ada yang terluka, itu mengganggu kepentingan orang lain. Bahkan yang anak-anak ikutan demo merusak pagar, kantor pemerintah, itu merusak dan merugikan kepentingan bersama," tutur dia.
Perilaku itu muncul, menurut Ina, biasanya karena mereka tak berprestasi, sekolah tak bisa memfasilitasi semua anak dengan profil yang beragam.
"Umumnya mereka tidak punya sense of achievement, makanya mereka mencari bintang-bintang di tempat lain, misalnya di gim, mereka mendapatkan bintang, jadinya ketagihan, (juga) yang balapan. Mereka bukan tipe akademis, tekun, rajin, di rumah banyak masalah, akhirnya mencari bintang-bintang ini di tempat lain," jelasnya.
Pendidikan ala militer mengakomodasi kebutuhan ini yang tidak bisa didapat dari sekolah biasa. Menurut Ina, pendekatan ini juga mendidik anak bekerja sama dan bertanggung jawab.
"Anak-anak itu langsung dibagi di dalam tim, kemudian bangun pagi mereka lari. Kalau satu orang mencapai garis finis, bukan berarti dia dapat bintang, karena teman-teman satu tim, masih ketinggalan. Jadi bagi anak yang tertinggal, itu ada support system-nya, akan dimotivasi supaya semua mencapai garis finis, dan mereka bersama-sama mendapat bintang," terang Ina.
Langgar hak anak
Ahmad Sofian, pakar hukum pidana anak dari Universitas Bina Nusantara, menegaskan istilah "anak nakal" yang digunakan KDM maupun Ina Liem, mestinya tidak lagi berlaku. Aturan terbaru, seperti Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak hanya mengenal istilah "anak berhadapan dengan hukum".
Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak Anak, yang salah satu pasalnya melarang penempatan anak dalam lingkungan militer, apapun alasannya.
"Jadi ketika ada anak-anak yang berkonflik, konflik apapun terutama konflik bersenjata, tidak boleh ditempatkan di barak militer", tegas Ahmad.
Ahmad menyebut, program KDM mengirim anak ke barak militer menerabas aturan-aturan tersebut. Ada berlapis prosedur dalam menangani anak berhadapan dengan hukum.
"Ada proses diversi, ada proses restorative justice, ada penelitian kemasyarakatan (litmas). Litmas ini akan melihat latar belakang mereka, kenapa melakukan perbuatan yang disebut melawan hukum itu, atau diduga menabrak hukum. Litmas inilah yang menentukan, ke mana mereka harus dimasukkan. Jadi bukan keputusan sepihak yang dilakukan KDM, menempatkan mereka secara massal di barak militer," ujar Ahmad.
Ahmad yang juga salah satu pendiri ECPAT Indonesia ini mengingatkan bahwa barak militer bukanlah sekolah.
"Barak militer itu bukan tempat pendidikan, tapi tempat mempersiapkan orang menjadi tentara. Guru ada sistem. Ini, kan, enggak, mereka tidak dipersiapkan, tidak ada pelatihnya, tidak pernah (dilatih) bagaimana berhadapan dengan anak-anak,” lanjutnya.
Ahmad mempertanyakan kebijakan KDM melibatkan militer dalam membina anak yang bermasalah dengan hukum. Pasalnya, pemerintah sudah memiliki Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), yang diatur dalam UU Sistem Peradilan Anak.
"Penempatan anak-anak (berhadapan dengan hukum) di LPKS itu, betul-betul humanis. Mereka juga dilatih bangun pagi, membereskan tempat tidurnya, latihan baris-berbaris, makan bersama, kebersamaan,"
"Kita harus menjauhkan terminologi militer dari pendidikan kita, terutama untuk anak-anak. Disiplin ya disiplin aja, jangan diembel-embeli dengan ala militer. Orang udah paham, ala militer itu bagaimana disiplinnya beda dengan mendisiplinkan anak," jelas Ahmad.
Ia mendesak agar program anak masuk ke barak militer segera disudahi, karena sudah banyak melanggar aturan, dan justru berpotensi berdampak buruk bagi anak.
"Saya meragukan tempat itu (barak militer) akan bisa mengubah atau mengedukasi anak-anak. Malah tempat itu akan melahirkan generasi-generasi yang akan berpotensi melakukan kekerasan, penindasan," ucapnya.
Obrolan lengkapnya bisa diakses di Youtube KBR Media
Baca juga:
- Pendidikan Militer Siswa: Kontroversi Program Dedi Mulyadi dan Hak Anak
- Mendidik Siswa Nakal di Barak Tak Sesuai Ajaran Ki Hajar Dewantara
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!