NASIONAL

Pandangan Buddha terhadap LGBTIQ+ Bareng @pelangidharma.id

Pandangan Buddha Terhadap LGBTIQ+ Bareng @pelangidharma.id

AUTHOR / Aika Renata

Pandangan Buddha terhadap LGBTIQ+ Bareng @pelangidharma.id
Love Buzz Season 4 : @pelangidharma.id (FOTO : KBR)

KBR, Jakarta- Ini kali saya bakal ngobrol bareng Dwi dari Pelangidharma.id, satu platform media sosial yang biasa menyebarkan nilai-nilai Dharma ajaran Buddha, tentang penerimaan terhadap LGBTIQ+. Sejujurnya sih saya nggak tahu banyak mengenai agama Buddha selain sedikit belajar di sekolah dan dari televisi. Dulu sih ada serial Kera Sakti. Bareng guru-nya yang seorang biksu dan dua murid lainnya, mereka melakukan perjalanan ke Barat mencari kitab suci, that’s it. Bareng Dwi, saya ngobrolin soal Buddhism dan LGBTIQ+, kemudian tari, dan juga arti kebahagiaan.

Anda mendengarkan Love Buzz bersama saya, Asrul Dwi.

Love Buzz. Membicarakan perkara yang tidak dibicarakan ketika berbicara perkara cinta.

Q & A

Asrul : Kegiatan lo sehari-hari untuk sekarang ini, gitu, apa saja?

Dwi : Akhir-akhir ini sih kegiatanku kerja di salah satu yayasan non profit gitu, terus sama ngajar nari. Itu sih, sebagian besar kegiatanku hari-hari, kayak gitu,”

Asrul : Tari-tarian apa yang biasa lo ajarin?

Dwi : Sebenernya aku agak agak.. apa ya namanya.. takut jumawa gitu. Sebenernya aku juga masih sebagai murid juga ya, jadi masih sama-sama belajar gitu. Jadi aku tuh mulai tertarik di tari kontemporer sejak tahun 2013an, sejak kuliah. Sejak itu aku mulai memperdalam. Di tahun 2018, mulai belajar lebih lagi, istilahnya kayak kursus nari gitu, tentang tari kontemporer dan jazz. Nah dari situ makinlah jatuh cinta dan ngerasa nemuin.. mungkin kalo kata orang-orang tuh passion ya, passion di nari. Dan akhirnya yaa.. udah deh, makin mulai digiatin saja gitu narinya,”

Asrul : Apa yang bikin lo tertarik sebenernya, sama tari?

Dwi : Keunikan di genre tari itu tersebut dan kontemporer itu istilahnya versatile, gitu. Jadi kayak bisa masuk ke berbagai genre lain juga, dan mix dengan genre lain. Karena di situ tuh kalo kita perform kan biasanya kita untuk impress, tapi kalo di tari kontemporer itu bukan impress-nya yang lebih ditonjolkan, tetapi express-nya. Jadi gimana kita sebagai seorang penari atau koreografer mengekspresikan apa yang ada di dalam pikiran-pikiran kita, atau mungkin karya-karya kita, kita ingin menyampaikan suatu isu apa, atau topik apa. Itu sih yang membuat diriku jatuh hati dengan tari kontemporer,” (tertawa)

Asrul : Ada.. ini nggak sih, urgensi untuk mengekspresikan diri lewat gerakan tari, gitu-gitu?

Dwi : Ada. Sejujurnya suka nari itu udah ada bibitnya dari kecil. Cuman belum berani dan belum nemu wadah yang pas, gitu kan. Jadi selama perjalanan dari TK sampai SMA itu aku nggak pernah nari sama sekali. Pernah sekali nari di ala-ala 17 Agustus-an gitu lah. Cuman setelah menginjak masa kuliah, apalagi dengan kompleksitas hidup yang semakin banyak ya, jadi kayak merasa harus punya wadah untuk menuangkan kotoran-kotoran, gitu loh. Kayak ibaratnya kesumpekan pikiran, stress habis kuliah, atau apa. Jadi, istilahnya, si stress-stress tadi itu ditumpahin ke nari, jadinya makin plong, gitu. Jadi tetep ada galau-galau dan sedih-sedihnya, cuman energinya lebih tersalurkan dan nggak stress, gitu,”

Asrul : Kegalauan-kegalauan macam apa yang biasanya lo tuangkan?

Dwi : Kisah-kisah cinta, lalu tentang.. apa namanya.. penerimaan orientasi seksualku, dan juga beberapa hubungan antara diriku dan orang-orang sekitar, seperti keluarga ataupun lingkungan pertemanan,”

Asrul : Tadi soal penerimaan terhadap orientasi seksual ya. Berarti kan lo ngalamin semacam.. mungkin ya, benturan-benturan gitu kan yang lo hadapin gitu ya, sampai kemudian lo melewati proses penerimaan itu, gitu. Bentuk-bentuknya kayak gimana sih, benturan-benturan itu?

Dwi : Awalnya tuh kegalauan-kegalauan hidup tuh bener-bener memasuki masa puncaknya itu saat kuliah. Karena entah kenapa ya pas kuliah itu aku.. setelah aku refleksikan beberapa bulan terakhir ini tuh, aku sering.. berpuisi dan juga bercerita tentang orientasi seksualku ke beberapa sahabat terdekatku. Itu awalnya. Lalu dimulai dari titik itu tuh aku ngerasa penerimaan diri itu sangat penting. Kenapa? Karena ketika diri gue sendiri nggak bisa menerima lika liku dan segala perjalanan hidup yang telah kulalui selama ini, itu akan susah kedepannya aku bisa menerima orang lain yang kan masuk ke dalam hidupku,”

Asrul : Kalo lo kemudian liat lingkungan lo.. waktu itu, gitu ya. Waktu kecil, katakanlah. Kira-kira apa saja yang bikin penerimaan itu nggak terjadi pada saat lo menyadari orientasi seksual lo?

Dwi : Kalo seperti itu.. aku coba tarik dari pengalaman-pengalaman waktu di sekolah dasar. Di situ tuh aku mulai merasa berbeda sejak SD sebenernya. Tetapi aku tidak mengetahui kenapa sih aku seperti ini, dan aku seperti apa, itu aku masih belum tau. Cuman dari segi lingkungan, kayak, sudah mendefinisikan diriku, padahal aku sendiri pun belum menemukan siapa sih aku, gitu. Tetapi lingkungan-lingkungan luar itu sudah mulai mendefinisikan diriku, seperti misalkan, aku tuh kemayu, lalu.. istilahnya kalo orang.. aku kan background-nya orang Jawa. Jadi orang Jawa tuh ada istilahnya wandu. Wandu itu kayak banci, gitu. Di situ.. dari judgement-judgement itu ya.. mungkin secara nggak sadar jadi nempel gitu di alam bawah sadarku.

Nah, dari situ tuh beberapa pengalaman yang membekas adalah ya.. saat aku diolok-olokin wandu, wandu, karena aku sering bermain dengan teman-teman perempuan sewaktu SD. Dan juga karena fisikku waktu SD itu kan kecil, mungil gitu, dan ada muka-muka arab, jadi kalau misalkan bisa kuingat tuh.. agak-agak cantik gitu waktu SD. Jadi mungkin dari penampilan-penampilan fisik itu dan gimana caraku berinteraksi dengan temen-temen waktu SD itu.

Dari situ lah yang membuatku merasa, kok kayaknya aku berbeda ya?, dan secara nggak sadar aku berusaha agak menutup diri dan merasa bahwa kayaknya aku nggak terlalu fit in gitu loh, karena aku nggak seperti temen-temen laki-laki pada umumnya. Meskipun, pada saat itu aku juga masih bermain dengan temen-temen sebayaku yang laki-laki. Cuman deep down in my heart, kayaknya gue beneran berbeda deh ama mereka, gitu. Kayak ada perasaan-perasaan yang ya.. berkecamuk sih di situ,”

Asrul : Keluarga lo tapi termasuk yang.. religius dan konservatif, gitu nggak sih?

Dwi : Kalau dari kakek yang ngerawat aku dari kecil, itu cukup religius, dan aku rasa cukup konservatif. Tetapi kalau dari nenekku, nenek yang.. istilahnya ini kakek dan nenek angkat ya. Kalau nenek angkatku tuh, malah lebih ke kejawen. Karena dari kecil tuh sering banget ikut dan ngelihat nenek itu bikin sesajen-sesajen gitu setiap malam Jumat. Entah itu bikin kopi, terus ada bunga-bunga, gitu, dan setelah itu bakar kemenyan, terus entah doa apa lah aku nggak tau. Tapi aku suka banget momen itu, ketika nenek sedang.. istilahnya kayak sedang di depan altar, gitu kali ya. Terus bikin sesajian dan bakar kemenyan, itu kayak.. ada sensasi tersendiri dan menyenangkan saja, apalagi kalo menghirup bau menyan. Itu kalo sekilas dari kakek dan nenek angkatku, karena aku besar dan lahir sama mereka, digedein sama mereka.

Lalu untuk keluarga inti.. bapak, ibu, kakak.. aku rasa nggak terlalu religius yang konservatif gitu sih. Jadi kayak, ya.. ibadah ya ibadah, cuman kalo nggak ibadah yaudah, nggak terlalu jadi pertanyaan. Gitu sih,”

Asrul : Kalo lo sendiri, termasuk orang yang religius kah juga, gitu? atau lo lebih nyaman dibilang.. I don’t know.. maybe spiritualist? atau gimana?

Dwi : Awal-awal sekitar.. SD sampe SMP awal, sebelum kakekku meninggal, aku cukup berani mendefinisikan diriku sebagai seorang anak yang cukup religius, karena rajin ibadah, rajin baca kitab. Tetapi setelah meninggalnya kakek, kayak, ibadah udah makin jarang, baca kitab juga makin jarang, apalagi semenjak kuliah kan, pergaulannya makin beragam kan, jadi udah makin lah. Makin.. kurang lah. Cuman berganti ke.. spiritualist lah ya. Ini aku memudahkannya saja, karena semenjak kuliah itu dan pas.. jurusanku kan bisa dibilang jurusan yang unik dan jarang diminati orang, jurusan antropologi. Jadi setiap berkuliah di jurusan itu makin.. curiousity-nya dan tingkatan penerimaan, toleransinya itu makin besar, gitu terhadap perbedaan yang ada. Nah dari situ makin lah sedikit mulai mencari-cari tentang arti dan makna hidup, mungkin,”

Asrul : Dan itu sudah lo temuin? di mana lo nemuinnya?

Dwi : Gue udah menemukan itu sekarang. Gue juga cukup yakin, dan aku menemukannya di.. Buddhis. Aku bukan Buddhis dari lahir sih, cuman ya karena pencarian-pencarian itu, sejak tahun 2018 aku rasa,”

Asrul : Apa yang bikin lo kemudian menambatkan hati, gitu ya, di Buddhism?

Dwi : Yang mengarahkan aku untuk menambatkan hatiku ke Buddhis itu adalah karena.. di Buddhis itu bukan serta merta kita disuruh ini, disuruh A, B, C, D, E, F, G, H, I, terus kita melakukannya dengan ya udah, nerima itu aja gitu. Tapi intinya bukan perkara perintah. Misalkan kamu harus melakukan ini supaya mendapatkan ini, kamu harus melakukan itu supaya dapet itu, gitu. Ya ada beberapa ajaran-ajaran tertentu supaya kita hidup jadi lebih baik itu seperti ini, cuman kalo di Buddhist itu aku menemukannya.. dia lebih ke terbuka dan kita diminta untuk bernalar dan meng-cross check-nya ulang.

Jadi kita tidak harus langsung melakukan sesuatu itu pada saat itu juga, tapi kita bisa bener-bener meng-cross check-nya lagi ke dalam diri kita, apakah hal ini cocok dengan kita, apakah bener ya. Jadi kayak.. lebih ke setelah kita belajar, itu kita direnung-renungin dulu, di -cross check dulu ke hati, baru kalo emang cocok ya.. kita bisa lakuin itu. Jadi nggak.. nggak langsung saklek, gitu loh,”

Asrul : Di Buddhism sendiri lo menemukan mereka ternyata meng-acknowledge atau mengakui gitu ya.. ehm apa namanya.. ragamnya orientasi seksual dan gender itu?

Dwi : Di dalam Buddhis sendiri itu aku tidak menemukan satu sikap ataupun ajaran dari sang Buddha ya, yang mengutuk kelompok-kelompok minoritas seperti LGBT. Sebenernya kehadiran kelompok LGBT itu pada dasarnya bukan sebuah masalah, di Buddhisme. Karena yang menjadi masalah, yang harus diselesaikan di Buddhisme itu adalah hal lain. Hal lainnya adalah.. itu.. mungkin pembicaraan sendiri ya. Itu lah sebabnya beberapa kelompok minoritas seperti LGBT memilih ajaran Buddha itu kayak, sebagai jalan spiritual gitu loh, untuk melatih batin. Karena Buddha sendiri itu mengajarkan mengenai welas asih dan cinta kasih kepada siapa saja, tanpa melihat orientasi seksual, tanpa melihat suku, atau bahkan agama seseorang.

Dengan berbagai cara yang terampil, Buddha itu mengajarkan kita untuk.. menganjurkan kita untuk bisa menolong semua makhluk gitu. Karena dari ajaran-ajaran Buddha pun mengindikasikan kalo beliau itu ingin menolong semua makhluk untuk terbebas dari segala marabahaya dan berbagai ketakutan, tanpa pernah membedakan latar belakangnya. Apakah kita menguntungkan Buddha, ataupun kita merugikan Buddha, itu beliau tidak melihat hal itu,”

Asrul : Berarti nggak ada, gitu ya ayat khusus yang melarang atau dijadikan argumen untuk menolak orientasi seksual yang berbeda, dan juga ragam gender yang lainnya, gitu?

Dwi : Kalo di dalam beberapa buku, atau mungkin dari kitab-kitab yang udah diterjemahkan di dalam satu buku gitu ya, yang sempet aku denger. Adapun larangan-larangan terkait dengan kelompok minoritas LGBTQ dan seterusnya itu bukan pada kelompoknya, tetapi pada perilaku-perilaku seksualnya itu. Karena baik kita homo ataupun hetero, ada beberapa perilaku-perilaku seks yang memang kurang tepat untuk dilakukan. Dan itu pun berdasarkan karena budaya dan moral-moral tertentu yang ada pada masyarakat pada jaman, itu pada ajaran itu diturunkan,”

Asrul : Ini agak.. ini sih sebenernya.. kalo dulu ngelihat kera sakti itu.. well itu kan perjalanan ibadah ya, kayak, mencari kitab suci. Tapi kemudian yang diajak kan justru siluman gitu ya yang dianggap belian. Justru malah merangkul. Mungkin secara gampangnya kalo gue liat kayak gitu, kali ya?

Dwi : Iya, harusnya kayak gitu. Karena ketika ngomongin perjalanan hidup kita sebagai manusia kan nggak ada orang atau satu makhluk pun yang ingin menderita gitu ya, katakanlah. Semua makhluk kan pastinya pengen bahagia, bahkan setan-setan di luar sana pun pengen bahagia. Hewan-hewan pun pengen bahagia, terlebih lagi kita manusia, gitu. Dan mungkin di serial kera sakti itu pun secara kasat mata nya merepresentasikan hal itu.

Tetapi ada.. aku pernah mendengar, dari siapa aku juga lupa. Cuman si empat tokoh kera sakti itu, Sungokong, Cupatkai, dan Wu Ching ya? Itu tuh kayak merepresentasikan tiga pikiran ataupun faktor mental di dalam diri kita itu yang buruk, yang kurang baik gitu. Kalo Sungokong itu kalo nggak salah keserakahan ya, terus si Wu Ching itu kebodohan, si Patkai itu kemelekatan. Jadi kayak mereka itu merepresentasikan tiga faktor si pikiran buruk itu,”

Asrul : Mungkin gue salah kali ya, tapi gue sebagai orang luar melihatnya.. mungkin karena gue ngeliatnya biksu mungkin ya, ketika mereka beribadah, katakanlah. Ketika mereka memilih jalan itu, artinya desire itu udah dilepaskan sama sekali kan, oleh mereka, dalam bentuk apapun. Sexually, bahkan mungkin amarah itu, gitu. Nah kalo lo sendiri gitu, ketika beribadah, ada mungkin tarik menarik gitu nggak sih, yang terjadi dalam diri lo ketika beribadah, gitu? Untuk sekarang ini? Atau justru mungkin karena lo menemukan Buddhism in later days, gitu, dalam pencarian lo sendiri, justru itu malah tidak terjadi?

Dwi : Karena ke-trigger ngebahas biksu itu tadi, aku nggak tau ya gimana dari sudut pandang seorang biksu ya, cuman ini dari kacamataku mencoba melihatnya dan dari beberapa hal yang udah diajarin. Ketika seorang menjadi biksu, hasrat ataupun istilahnya.. pikiran-pikiran buruk tadi itu nggak serta merta akan hilang sih. Tetapi mereka tingkat kesadarannya itu pasti lebih jauh di atas kita, si umat awam ini, karena tingkat latihannya, dimana mereka bermeditasi ataupun belajar yang lainnya.

Jadi hasrat-hasrat itu tuh masih ada, kalo emang nggak ada kan pasti biksunya semua udah jadi muda gitu kan, dapet pencerahan. Cuman yang ditekankan adalah gimana ketika hasrat itu muncul dan kita bisa ngerem dan bisa mengikis pelan-pelan.. kayak.. istilahnya kalo hasrat itu muncul, dipotong dikit, dipotong dikit, lama kelamaan kan kalo udah dipotong berkali-kali otomatis akan hilang kan. Nah itu prosesnya kurang lebih kasarnya kayak gitu.

Cuman kalo tentang gejolak-gejolak tadi ya ketika beribadah atau gimana, sejauh aku bisa mengingat sih ketika melakukan ibadah atau bahkan pertama kali aku ikut sesi retreat, yang di situ ada pembacaan doa dengan bahasa yang sebelumnya tidak pernah kudengar gitu ya. Aku tidak merasa ada gejolak yang ekstrim atau seperti apa. Malah kayak ngerasa connect saja sih, meskipun aku nggak tau artinya ya, nggak bener-bener tau artinya. Waktu itu kan ada bukunya gitu kan, cuman baca aja. Cuman baru pertama denger itu kayak ngerasa connect gitu ke salah satu bacaan doa. Dari situ tuh mungkin makin gede gitu keingintahuannya, pengen belajar lebih dalam,”

Asrul : Tapi berarti lo sekarang udah cukup menyatu, gitu ya, dengan Buddhism? How do you live your life gitu, lebih kurang juga sudah mulai menerapkan ajaran-ajaran dalam Buddhism, gitu nggak?

Dwi : Yes, betul sih. Karena at some point ketika lagi diskusi sama temen gitu misalkan. Itu aku juga heran, kok yang terpikirkan ketika menganalisis cerita dari temenku itu, aku coba kayak, nariknya tuh dari ajaran tentang tarmah, ataupun past life, ataupun topik-topik lainnya gitu. Mungkin karena saking udah sering dikasih pembelajaran, gitu ya, jadi ketika menganalisis kejadian apapun itu kayak oohh, iya, kayak otomatis ngaitin ke topik-topik tertentu gitu loh. Yang terkadang aku merasa itu bagus, karena berarti ajaran itu nempel kan di batin gitu, di hati. Cuman yang agak gaenakannya adalah sama si lawan bicaranya nih, kayak, takutnya mereka nggak nyampe, ntar sudut pandangku aneh nggak ya, kayak gitu. Ada ketakutan-ketakutan kayak gitu sih terkadang,”

Asrul : Kan selain tari lo aktif di NGO gitu, itu yang Pelangidharma aja, atau ada yang lain sih sebenernya?

Dwi : Ada yang lain, Pelangidharma itu kayak project sampingan. Karena ngerasa diriku dan beberapa temen itu sebagai bagian dari kelompok minoritas ini, merasa perlu menggaungkan lebih perihal Buddha Dharma ini ke temen-temen LGBT, gitu. Karena kayak ngerasa ajaran ini tuh baik loh, dan lo nggak harus ngubah KTP lo untuk belajar ini, gitu. Maksudnya lo bisa mempelajari ini dengan latar belakang apapun, dan lo bisa bener-bener menerapkan ini untuk situasi dan kondisi apapun, gitu. Karena istilahnya gue sebagai saksi hidup, gitu ya, merasa mendapatkan benefitnya, gitu. Jadi kayak ada urgensi harus coba digaungkan, apalagi ke temen-temen yang kelompok minoritas kan, jadi biar sesama ini.. bisa berbagi, gitu sih,”

Asrul : Kampanye yang kalian lakukan di Pelangidharma ini untuk sementara masih di Instagram kan ya?

Dwi : Iya, sementara ini kita masih di Instagram. Dan ada fan page nya juga sih, cuman kalo Facebook tuh kan sekarang agak susah ya, jadi kayaknya kita coba diaktifin di Instagram, gitu,”

Asrul : Kampanye yang kalian lakukan lewat sosial media bukan hanya mengajak temen-temen yang kebetulan beragama Buddha dan LGBTQI+, gitu ya. Tapi juga kampanye buat menyampaikan ajaran-ajaran Buddha untuk sampai ke penerimaan itu, kali ya, buat temen-temen LGBT?

Dwi : Iyes, kita berusaha muncul kayak memberikan penerangan gitu loh, untuk banyak orang, dikhususkannya untuk temen-temen LGBTQI+, gimana sih sesungguhnya ajaran Buddha itu memandang kelompok LGBTQI+. Dan harapannya sih Pelangidharma itu bisa kayak.. memberikan solusi-solusi praktis gitu, bagi permasalahan yang dihadapi oleh kelompok LGBTQI+ ini sesuai dengan ajaran sang Buddha, gitu. Bagaimana kita bisa lebih mindful tadi, dalam menghadapi segala problematika yang kita hadapi.

Kalo misalkan temen-temen LGBTQI+ tuh kan sering dapet bullying, dan bagaimana kita bisa berbuat baik gitu, kepada siapapun, bahkan kepada musuh kita, bahkan kepada orang-orang yang membenci kita, dan tidak membalas segala kebencian tadi itu dengan kebencian. Tapi kita ngebalas api dengan air, gitu,”

Asrul : Contoh-contoh pesan yang biasa kalian bagikan di dalam Pelangidharma.id itu kira-kira apa saja? Kayak gimana sih?

Dwi : Nah ini nih, yang bikin aku cukup ngena gitu, itu yang postingan ‘apakah cowok gay itu lebih baperan ketimbang cowok hetero? yang katanya dikit-dikit ngambek, dikit-dikit baper, dikit-dikit nangis, dendaman, cemburuan, uring-uringan?, gitu kan. Padahal sebenernya tuh nggak, gitu. Nggak tentu benar. Karena stereotip itu kayak nggak mengada-ada gitu loh. Karena kata-kata baper itu kan sebenernya kependekan dari kata-kata bawa perasaan. Itu istilah yang merujuk pada sikap seseorang yang sensitif atas hal-hal yang bersinggungan dengan dirinya. Dan itu bukan merujuk pada sifat pemarah, gitu loh.

Nah ngomongin tentang baper, itu kan kalo di Buddhis itu kita memiliki 6 klesa, ataupun kekotoran batin, ataupun pikiran-pikiran buruk. Ada 6 yang utama, yaitu kemelekatan, kemarahan, kesombongan, kebodohan, keragu-raguan, dan pandangan salah. Nah yang sikap baper itu kan pastinya dilandasi sama si klesa tersebut, si kekotoran batin tersebut, sehingga orang bisa baper. Apakah karena dia merasa dirinya tercoreng, atau mungkin dia terlalu menyayangi seseorang, sehingga adapun perkataan jelek itu bikin dia tersinggung, gitu kan ya.

Nah dari situ, kita tuh bisa baru tau gitu, kekotoran batin apa yang membuat seseorang tadi itu jadi.. istilahnya baper, gitu. Dan si baper itu nggak ada kaitannya sama sekali sih dengan orientasi atau jenis kelamin orang gitu kan. Jadi semua orang bisa baper, gitu kan. Karena setiap orang punya kekotoran batin tadi itu, dan semua orang punya klesanya itu, dan klesa atau kekotoran batin dominan seseorang dengan orang lain itu kan pasti berbeda-beda. Makanya kita berusaha kasih awareness bahwa stereotip bahwa cowok-cowok gay baper itu ya.. nggak bener, gitu loh. Karena nggak bisa dijadiin pegangan, gitu, karena semua orang bisa baper, bukan cuma cowok gay doang. Tergantung seberapa besar kadarnya saja,”

Asrul : Ada postingan juga soal karma dan dharma. Boleh dijelasin gitu nggak sih? Mungkin konteksnya kalo kita ngomongin soal orientasi seksual dan ragam gender itu sendiri. Kayak, gimana sih?

Dwi : Pertama, sebenernya karma itu bagian dari dharma, gitu. Karena dharma itu luas dan banyak, dan karma itu jadi salah satu bagian dari dharma juga. Nyambungin ke situ adalah hm.. mungkin ini aku agak menariknya dengan karma.. misalkan kenapa kita akhirnya memiliki kecenderungan tertarik pada laki-laki, bagi orang yang gay gitu kan ya. Itu bisa jadi di kehidupan sebelumnya kita pernah melakukan karma-karma tertentu yang akhirnya menyebabkan di kehidupan sekarang itu kita memiliki kecenderungan seperti ini. Itu kan kalo dari karmanya, ya. Karma ini coba ditarik dengan di kehidupan masa lalu kita, gitu.

Lalu karma sendiri juga sebenernya tidak memandang orientasi seksual kita, gitu. Selama kita berbuat baik, ya.. apapun yang kita percayai, siapapun kita, gitu kan, kita pasti akan mendapatkan hasil yang sama, gitu. Misalkan kita nanem apel, ya kita akan dapetnya buah apel. Kan nggak mungkin kan, misalkan petani gay, gitu, nanem apel terus dapetnya apel pelangi, atau misalkan apel apa, gitu. Jadi.. ibaratnya sih seperti itu. Jadi karma itu tidak melihat orientasi seksual kita, gitu,”

Asrul : Di profile-nya Pelangidharma kan ada tulisan semua makhluk berhak untuk bahagia, termasuk LGBTIQ+, dengan mempraktikkan Dharma, kita bisa bahagia, gitu. Konsep kebahagiaan sendiri kalo dalam Buddhism, itu kayak gimana?

Dwi : It’s a big thing, sebenernya. Kalo ngomongin kebahagiaan otomatis dia tidak menderita, gitu ya. Tapi kalo ngomongin kebahagiaan ultimate-nya, yaitu pencerahan sebenernya, seperti yang Buddha raih. Sekali lagi ini berdasarkan hasil analisa cetek saya ya, jadi kalo misalkan ada kesalahan itu bukan karena ajarannya, tetapi karena saya yang belum nyampe, gitu,” (tertawa)

Asrul : Ini kan perkara ke personal, sebenernya kan,”

Dwi : Nah, kalo yang dibilang kebahagiaan itu yang seperti apa.. aku lebih setuju ketika kita bisa melihat segala sesuatu itu apa adanya. Adalah.. kita tidak memihak bahwa kita tidak suka A, kita suka B. Tetapi lebih pada si A itu ada ya memang seperti itu, si B juga ada.. dia hadir ya memang seperti itu. Dan mereka seperti itu, hadir, bukan hadir dengan sendirinya. Kayak mereka ujug-ujug satu entitas gitu ya, satu entitas yang kokoh. Tetapi mereka kayak, hadir itu, karena unsur-unsur pembentuk yang lainnya, gitu loh. Yang ketika kita bisa melihat segala sesuatu apa adanya, kita akan lebih plong sih.

Misalkan, kalo kita dapet sesuatu yang menyenangkan, ya.. okay, oh ini menyenangkan ya ternyata, perasaan menyenangkan itu ada. Karena ya kita tidak bisa bohong dong kalo misalkan kita dapet hadiah, itu sesuatu yang menyenangkan gitu. Tetapi yang menjadi masalah selanjutnya adalah, ketika menyenangkan, kita jadi melekat, kita nggak mau lepas dari hal yang menyenangkan itu. Itu yang jadi problem selanjutnya.

Sama halnya ketika misalkan kita dapet sesuatu yang buruk, misalkan kita diputusin pacar, gitu. Diputusin pacar ya emang nggak enak sih, sakit hati, sedih, nangis, ya silahkan. Tapi selanjutnya adalah apakah kita menjadi membenci? Apakah kita jadi dendam sama mantan kita? Itu, itu problem lain. Jadi ketika kita bisa melihat apapun yang terjadi atau apapun yang datang di hidup kita itu sebagaimana adanya, jadi tidak melekat, jadi tidak marah, tidak mendendam, itu yang mungkin secara sederhana adalah yang dinamakan kebahagiaan itu sendiri sih,”

Asrul : Artinya mengalami, mengakui, gitu ya, tapi kemudian juga ada kerelaan untuk melepaskan, gitu ya?

Dwi : Iyes, betul,”

Asrul : Itu susah banget tapi ya,” (tertawa)

Dwi : Memang, memang,”

Asrul : It seems like a very simple thing, if you say that. Right?(tertawa)

Dwi : (tertawa) Ya.. ketika kita ngomongin secara teori, secara mulut nih, ya mungkin semua orang kalo mau belajar bisa, gitu ya. Tapi ketika diterapkan ke dalam laku hidup kita sehari-hari, it’s a different thing. Itu butuh proses dan perenungan yang cukup panjang, gitu. Nggak cukup.. kayak, seumur hidup nggak sih?

Asrul : Ya.. maybe? (tertawa). Tapi kalo lo sendiri, kalo gue nanya, lo sudah bahagia nggak sekarang? Atau sedang bahagia kah sekarang?

Dwi : Ehm.. gimana ya, agak susah menjawabnya. Kalo dibilang seperti itu, mungkin aku sedang dalam proses menuju ke sana. Sedang dalam perjalanan, on the way, gitu kan ya. Sama kayak karya gue yang terakhir, ini agak sangkut pautin ke karya ya, karena ada nyerempet-nyerempetnya dikit. Karena di karya itu tuh aku mempertanyakan am I home?, gitu. Apakah aku di rumah?, gitu. Karena kalo ngomongin di rumah itu, bisa multitafsir juga sebenernya.

Dan.. ya kalo dengan pertanyaan apakah kamu sedang bahagia atau kamu sedang bahagia sekarang?, ya aku sedang menuju ke sana, gitu, aku sedang dalam proses menuju itu sih, sedang dalam perjalanan. Kalo yang gue rasain sekarang sih, ya.. gimana ya.. ya nggak bahagia juga, sedih juga nggak, cuman.. capek fisik saja sih abis perjalanan jauh,” (tertawa)

Asrul : (tertawa) Tapi kan perjalanan masih panjang, gitu ya,”

Dwi : Yes,”

Asrul : Dan itu, perjalanan, bikin lo merasa kesepian gitu nggak sih? Atau ya.. enjoyable, atau, kayak gimana?

Dwi : I think it’s not a lonely journey, but it’s a lone journey. Karena kalo kita ngomongin kesepian, kalo ehm.. di Buddhis, kalo ita bener-bener udah bisa meresapin segala ajarannya, justru kita seharusnya tidak pernah merasa kesepian, gitu. Karena ketika kita mikirin makhluk lain, otomatis kita nggak sendiri dong.

Kita hidup di dunia fana ini kan nggak sendiri, kita ada berbagai makhluk yang secara langsung atau tidak langsung telah berkontribusi terhadap kelangsungan hidup kita, gitu. Jadi.. it should be.. you are not a lonely person, if you learn Buddhism correctly, gitu. Karena kita bisa merasakan kehadiran setiap makhluk itu di setiap momen hidup kita. Contohnya, ketika kita berpakaian aja, ketika mau ganti baju, ketika kita bisa mikir oiya ya, baju kita ini tuh hasil kontribusi banyak orang loh, dari petani kapas yang bikin si benangnya, tukang pabriknya, si tukang sablon, si penjual di pasar, mbak-mbak kasir, mas-mas distributor, segala macem lainnya, ketika kita bener-bener bisa aware di situ dan membawa perenungan itu ke dalam setiap aktivitas di kehidupan kita, ya kita itu nggak lonely, man.

Kita itu bisa hidup karena bantuan banyak orang, gitu, bahkan makhluk yang mungkin sebenernya mereka nggak rela untuk mati untuk bisa menciptakan hal-hal tertentu yang akhirnya bisa kita nikmati, kita makan, ataupun kita pakai. Tapi at the end of the day, tetep ini adalah perjalanan sendiri, atau kupikir alone, yah. Karena setiap orang kan punya kapasitas dan kecenderungan tertentu terhadap suatu hal. Jadi ibaratnya adalah ketika kita mati pun kita akan sendiri, gitu kan. Jadi ya.. perjalanan pencarian spiritual itu perjalanan sendiri sih. Seorang siri, antara diri kita dan diri kita sendiri, gitu,”

Asrul : Tapi kadang kalo kita ngomongin.. ya.. emm.. kalo konteksnya percintaan, gitu ya. Kadang kebahagiaan kan juga disangkut pautkan ke sana, gitu. Kalo tadi gue dengerin penjelasan lo, perjalanan menuju kebahagiaan itu memang lo harus lewatin sendiri, gitu. Meskipun dalam perjalanannya lo butuh bantuan orang, dan ada banyak sumbangan dari orang lain, gitu. Tapi bukan berarti lo harus mendefinisikan kebahagiaan lo atas orang lain, gitu nggak sih? Kan kadang-kadang ada anak-anak yang bilang gue nggak bahagia kalo gue nggak sama lo, bla bla bla (tertawa), gitu-gitu kan,”

Dwi : (tertawa) Iya betul, betul. Iya bener sih, harusnya kita tidak menggantungkan kebahagiaan kita terhadap faktor luar di dalam diri kita sendiri, gitu. Karena kalo kita menggantungkan kebahagiaan kita terhadap faktor luar, ya otomatis oleng Bos, karena setiap diri kita itu kan pasti berubah kan, setiap detik kita pasti berubah, gitu. Jadi kita aja kan pasti berubah, di dalam tubuh kita kan pasti berubah, cuman kita nggak tau saja, nggak bisa melihat perubahan-perubahan kecil yang ada di diri kita. Nah gimana kalo kita ngegantungin kebahagiaan kita ke orang lain? Yang sama-sama berubah, pada dasarnya. Jadi kan agak.. nggak masuk akal ya,” (tertawa)

Asrul : Karena ngeliat ke dalem susah, gitu. Lebih gampang ngeliat ke luar, mata kita sendiri kan ngeliatnya ke luar, gitu, bukan ke dalem,”

Dwi : Aku pun juga susah, sebenernya. Masih butuh banyak belajar lah. Cuman ya dengan apa ya.. ketika udah agak los, gitu ya. Oh kayaknya nih udah harus tarik dulu nih, tarik dalam dulu nih, jadi biar nggak oleng, gitu sih,”

Asrul : Oh okay. Eh by the way Pelangidharma dalam waktu dekat ini ada rencana kampanye apa lagi atau ada kegiatan nggak sih sebenernya?

Dwi : Kalo dalam waktu dekat ini sih belum ada, paling lebih banyak ngasih awareness di Instagram aja sih. Tapi kita tidak menutup kemungkinan untuk diajak kolaborasi-kolaborasi seperti ini, karena kita juga butuh massa yang lebih luas lagi, supaya lebih banyak orang tau dan bisa menjangkau lebih luas lagi, gitu,”

Asrul : Di awal tadi lo sempet nyebut salah satu ajaran Buddha kan soal welas asih, atau cinta kasih, gitu. Kalo lo sendiri, arti atau makna cinta, buat lo apa?

Dwi : Ini sebenernya bukan makna yang hasil bener-bener dari perenungan gue sendiri ya. Tetapi aku cukup mengamini dan sedang berusaha memperhatikan itu, gitu. Cinta itu ketika kita bisa.. ibarat kita suka bunga, gitu, kita tertarik pada bunga tertentu, di taman, kita nggak memetiknya. Tapi kita merawat bunga itu, dengan nyiramin, mupuk, dibiarin dia tumbuh secara alami, di taman itu. Dan itu susah (tertawa). Itu makna cinta yang dari.. sejak aku belajar definisi cinta secara filsafat di bangku kuliah sampai sekarang, itu cukup aku aminin sih. Meskipun pada prakteknya susah, tapi itu yang aku amini sampe sekarang,”

Baca juga : Perkara Spiritualitas dan Penerimaan Hindu Terhadap LGBTIQ+

Kalau kamu punya saran, komentar, atau ingin berbagi cerita, boleh banget email ke podcast@kbrprime.id dan tulis Love Buzz untuk subject emailnya.

Ada satu hal yang menarik dari obrolan tadi, tentang kebahagiaan. Bahwa kebahagiaan itu hak semua makhluk, nggak cuma manusia, atau bahkan sebagian manusia. Artinya temen-temen LGBTQI+ juga berhak bahagia. Kalo versinya Dwi tadi, dengan mempraktikkan Dharma, kita bisa bahagia.

Love Buzz. Membicarakan perkara yang tidak dibicarakan ketika berbicara perkara cinta. Kunjungi kbrprime.id untuk menyimak beragam podcast lainnya dari KBR.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!