Peradilan 72 kasus kekerasan terhadap perempuan prosesnya berlarut.
Penulis: Astri Yuanasari
Editor: Sindu


KBR, Jakarta- Upaya perlindungan korban kekerasan seksual masih menemui banyak kendala, meski UU TPKS sudah lebih tiga tahun disahkan.
Kendala yang dialami korban antara lain, proses hukum yang berlarut, visum yang terlambat, tidak adanya kepastian hukum, hingga kriminalisasi balik terhadap korban yang berjuang mencari keadilan.
Perwakilan Tim Pelayanan Bantuan Hukum LBH Apik Jakarta, Christine Constanta mengatakan, regulasi yang seharusnya melindungi korban justru seringkali tidak bekerja sebagaimana mestinya. Kata dia, hingga kini, belum ada satu pun kasus dari LBH Apik Jakarta yang berhasil diputus menggunakan UU TPKS.
Tantangan Penegakan Hukum
Salah satu isu terbanyak yang disorot Christine adalah delay in justice atau penundaan keadilan. Sejak 2021—2025, LBH Apik Jakarta mencatat, 72 kasus kekerasan terhadap perempuan yang mengalami proses peradilan berlarut.
"Paling tinggi itu kekerasan seksual 15 kasus, ini mengalami penundaan berlarut. Nah, ini sebenarnya mayoritas ada di penyelidikan, tetapi ada juga dampaknya gitu, ya, kami menghadapi SP-3 di tahap penyidikan, bahkan kami juga menghadapi bolak-balik berkas antara kepolisian dan kejaksaan," kata Christine dalam acara Refleksi 3 Tahun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Selasa, (25/11/2025).
Christine memerinci berbagai faktor penyebab penundaan, di antaranya ketiadaan atau lambatnya alat bukti, termasuk hasil visum yang seharusnya keluar dalam 14 hari, namun sering tertahan.
"Kemudian pertanyaan-pertanyaan mungkin di pemeriksaan itu juga yang kurang berpihak pada korban, jadinya korban menarik diri gitu kadang, karena sudah berdampak kepada psikologisnya," kata Christine.
Selanjutnya, Christine juga menyorot mutasi penyidik yang menyebabkan kasus harus ditangani ulang dari awal. Selain itu, minimnya koordinasi antara kepolisian dan kejaksaan, yang menyebabkan berkas laporan harus bolak-balik, dan risiko SP3 atau penghentian penyidikan, hingga harus digugat dalam pra-peradilan.
"Penundaan-penundaan berlarut ini menimbulkan banyak dampak terutama untuk korban tidak hanya secara ekonomi, biasanya kan memang ekonomi yang kelihatan karena biaya transportasi, biaya kesehatan bolak-balik untuk ke bantuan hukum, bolak-balik untuk kantor polisi. Kemudian juga secara sosial tidak mendapatkan kepastian hukum dan makin menjadi stigma yang ada," katanya.

Kriminalisasi Korban dan Pendamping
Christine menyebut, banyak korban yang harus kehilangan pekerjaan, berpindah tempat tinggal, hingga mencari jalan keluar dengan speak up di media, yang justru membuka peluang kriminalisasi lewat UU ITE.
LBH Apik Jakarta mencatat, empat kasus kriminalisasi terhadap korban kekerasan seksual sepanjang 2025. Christine mengatakan, polanya serupa, yakni proses hukum lamban membuat korban memilih bersuara di media, lalu malah dilaporkan balik pelaku.
"Sebenarnya kerentanan baru gitu, ya, dengan dia speak up di media, ada undang-undang ITE, kadang lebih cepat fokus Undang-Undang ITE dibandingkan UU TPKS, yang ada gitu," kata Christine.
Meskipun Pasal 69 huruf G UU TPKS menegaskan, korban tidak dapat dituntut pidana atau perdata atas laporan mereka, namun realitanya berbeda.
Di lapangan, kasus UU ITE justru diproses lebih cepat daripada laporan kekerasan seksual itu sendiri. Bahkan, kata Christine, pendamping hukum juga beberapa kali menerima somasi dari pihak pelaku.

Polri Menjawab soal Lambannya Penegakan Hukum
Kepolisian beralasan, tantangan utama penegakan hukum TPKS, adalah terkait pembuktian. Sebab, meskipun UU TPKS memberikan ruang pembuktian yang lebih progresif, masih ada kendala di lembaga penegak hukum lainnya.
Padahal, menurut Direktorat Tindak Pidana Pelindungan Perempuan dan Anak dan Pemberantasan Perdagangan Orang (Dittipid PPA-PPO) Bareskrim Polri, Tuti Timor Purwanti, Pasal 25 ayat 1 UU TPKS menyebut, keterangan saksi dan/atau korban cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah, jika disertai satu alat bukti sah yang lain, semisal visum et repertum atau visum et repertum psychiatricum.
"Namun, kendalanya pada saat kami melakukan pemberkasan dan kami mengirimkan berkas tahap satu ke kejaksaan atau jaksa penuntut umum, itu PS 19-nya itu selalu alat bukti yang lainnya yang diminta," kata Tuti dalam acara Refleksi 3 Tahun UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Selasa, (25/11/2025).
Kata Tuti, jaksa kerap meminta alat bukti tambahan sesuai KUHAP Pasal 184 yang mencakup lima jenis alat bukti sah, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, bukti surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Perbedaan standar ini membuat penyidik perlu menggali bukti lebih jauh untuk memenuhi kebutuhan pembuktian di persidangan.
Selain itu, kata Tuti, proses visum psychiatricum juga tidak sederhana. Korban harus menjalani pemeriksaan dua hingga tiga kali.
Dalam beberapa kasus, terutama pada korban yang sudah menikah atau pernah hamil, hasil visum tidak selalu dapat memberikan indikasi kekerasan baru.
Faktor-faktor inilah yang menyebabkan penanganan kasus TPKS memakan waktu lebih panjang dibanding, misalnya, laporan-laporan terkait UU ITE.
"Itulah tantangan kami, jadi bagaimana kami melakukan penyelidikan maupun penyidikan, sehingga dengan adanya keterangan korban ataupun satu alat bukti seperti psychiatricum dan lain-lain, kami gali terus supaya alat bukti sesuai Pasal 184 itu tergambarkan," imbuhnya.

Tantangan Pemulihan Korban
Selama tiga tahun terakhir, LBH Apik Jakarta mencatat, ada lonjakan pengaduan signifikan. Pada 2023, terdapat 141 pengaduan, 2024 tercatat 757 pengaduan, dan 2025 ada 1.212 pengaduan. Khusus kasus kekerasan seksual, data LBH Apik mencatat, ada 224 kasus pada 2023, 334 kasus pada 2024, dan di 2025 ada 166 kasus hingga November.
Perwakilan Tim Pelayanan Bantuan Hukum LBH Apik Jakarta, Christine Constanta menjelaskan, dua pertiga kasus kekerasan seksual yang mereka tangani merupakan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).
Tetapi, hanya sedikit kasus yang sampai ke tahap putusan pengadilan. Bahkan dari empat kasus yang diputus, sebagian besar menggunakan UU Perlindungan Anak, bukan UU TPKS.
Tantangan pemulihan korban tak kalah besar. Christine menyebut, layanan dari UPTD dan lembaga lain memang sudah berjalan, namun anggaran dan akses masih sangat terbatas.
"Kemudian integrasi layanan kesehatannya juga masih kurang, antar terutama tata kelola rumah sakit ini juga yang masih rada ribet. Kadang ngurus secara birokrasinya, kemudian informasi mengenai akses layanan juga masih terbatas, kadang korban tidak diinformasikan, mana sih cara untuk mengakses layanan yang ada," imbuhnya.
Selain itu, masih minimnya psikolog terlatih dengan perspektif korban, menjadi salah satu hambatan pemulihan korban.
"Masih kurangnya tenaga profesional yang terlatih untuk perspektif korban, misalkan psikolog ya, psikolog kadang korban masih kurang cocok, karena mungkin kurang memberikan ini dia ya, apa namanya menjadi ruang aman untuk dia, untuk tempat ceritanya gitu," kata Christine.
Kenaikan laporan KBGO juga terjadi di Komnas Perempuan pada 2024, yakni 1.791 kasus. Naik 40,8 persen disbanding tahun sebelumnya. Tahun 2024 menjadi masa dengan jumlah kasus KBGO terbanyak.
Organisasi Masyarakat Sipill (OMS) yang memperjuangkan hak-hak digital, yakni SAFEnet, pada kuartal II tahun ini menerima 665 aduan. Mayoritas berupa ancaman penyebaran konten, tercatat ada 312 kasus.

Kecerdasan Buatan (AI) Picu Modus Kekerasan Baru
Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum mengatakan, tren kasus yang diterima SAFEnet meningkat signifikan saban tahun. Data aduan yang masuk tidak pernah menurun dan diperkirakan tahun ini jumlahnya melampaui kasus 2024.
Menurutnya, salah satu faktor pendorong lonjakan kasus adalah perkembangan teknologi digital, termasuk penggunaan generative AI. Kata dia, kemampuan AI memanipulasi foto dan video membuat siapa pun dapat dengan mudah dijadikan target kekerasan berbasis gender di ruang digital.
"Ini sebetulnya menunjukkan pertama memang kasus-kasus kekerasan di ruang digital itu memang jumlahnya semakin banyak. Yang ini didukung dengan berbagai macam perkembangan teknologi yang memungkinkan kekerasan itu bertransformasi bentuknya," kata Nenden dalam Podcast Ruang Publik KBR, Rabu, (26/11/2025).
Selain bertambahnya modus, peningkatan kasus juga didorong semakin tingginya kesadaran publik mencari bantuan. Nenden bilang, saat ini banyak korban berani melapor melalui kanal-kanal yang tersedia, termasuk SAFEnet, Komnas Perempuan, maupun Kementerian PPPA.
Namun, peningkatan pelaporan ini juga menandakan alarm penting bagi semua pihak, bahwa kekerasan berbasis gender di dunia digital merupakan isu yang kian mengkhawatirkan. Nenden menekankan pentingnya memperluas jangkauan layanan bagi korban, terutama di daerah yang masih minim akses informasi maupun dukungan.
"Kita harus memastikan korban di manapun bisa mencari bantuan, mengadu, dan mendapatkan akses terhadap informasi maupun layanan ketika mereka menjadi korban," tegasnya.

Trauma Korban
Salah satu korban yang masih terus berupaya memulihkan kondisinya adalah Anindya Shabrina, Sekretaris Paguyuban Korban Undang-Undang ITE (Paku ITE) yang juga penyintas KBGO.
Anindya menjelaskan, kasus KBGO yang dia alami adalah rentetan selama beberapa tahun, mulai penyebaran identitas pribadi hingga peretasan.
"Kemudian sampai di tahap yang advance. Seperti misal nomor handphone saya yang sekarang sudah saya matikan itu tiba-tiba mengirim broadcast pesan yang tidak saya kirim," kata Anin dalam Podcast Ruang Publik KBR, Rabu, (26/11/2025).
Anindya butuh bertahun-tahun untuk memulihkan diri dari trauma.
"Jadi, saya juga ke psikolog, ke psikiater untuk menenangkan diri, untuk kemudian bisa membuat keputusan dengan kepala jernih … Jadi, ekstra hati-hati, terus kemudian hidup itu seperti under surveillance," kata Anin.
Baca juga:






