AGAMA DAN MASYARAKAT

Rawat Tradisi Tabayyun Cegah Konflik Beragama

"Menerima informasi tanpa kehati-hatian akan bisa memicu masalah, konflik dan fitnah. "

Malika

Rawat Tradisi Tabayyun Cegah Konflik Beragama
Ilustrasi toleransi

 “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (tabayyun), agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujarat: 6)

Perintah tabayyun semakin menemukan relevansinya saat ini ketika pesatnya kemajuan teknologi informasi membuat lalu lintas informasi begitu bebas dalam hitungan detik, dengan berbagai latar belakang, motif dan kepentingan.

Menerima informasi tanpa kehati-hatian akan bisa memicu masalah, konflik dan fitnah. Dan tujuan agama membawa kedamaian akan menjadi tidak tercapai, karena yang ada adalah masalah baru, ketegangan dan ketidaknyamanan dalam hubungan kemasyarakatan.

Kasus penyebaran informasi yang salah atau sumir dan menimbulkan masalah sudah kerap kali terjadi dibanyak tempat termasuk di Sumatera Barat.  Menurut Direktur LBH Padang Uni Era Purnamasari meski masyarakat Sumatera Barat hidup dalam Nagari dengan adat istiadat yang kuat dan bersanding dengan agama, potensi konflik terkadang tak bisa dihindari karena masing-masing agama akan mengklaim paling benar. Namun dia menegaskan, kekerasan fisik bukan tradisi di Sumatera barat.

“kebebasan berpikir dan berekspresi sudah di tahap mengkhawatirkan”, kata Uni.

Dia menunjuk sebuah kasus yang terjadi pada Alexander Ann, seorang CPNS yang dituduh Atheis oleh rekan kerjanya. Tuduhan itu disebarkan oleh rekan kerjanya itu melalui capture akun facebooknya. Alexander akhirnya harus mendekam di penjara 3 tahun 6 bulan karena masalah keyakinannya. Uni Era juga mengambil contoh jemaat Ahmadiyah 2012 di Sipiyung Damas Raya yang harus terusir dari kampungnya dan terpaksa tinggal di Muarabungo.

“ Ini mengkhawatirkan di Sumatera Barat. Akibat tak adanya tabayyun.” Kata Uni. Namun Uni meyakini nilai-nilai lokal dan agama di Sumatera Barat masih ramah terhadap keragaman meski terjadi degradaasi nilai.

Sementara itu Pengurus wilayah mumahadiah Sumatra barat sekaligus Pengurus harian Universitas Sumatera Barat Uda Bachtiar mengatakan, konflik beragama terjadi karena pengamalan agama yang  masih setengah-setengah. Misalnya, kata dia, di Minang ada kasus Cakak Banyak atau perkelahian antara kampong. Biasanya sebab musabab perkelahian tidak diketahui secara jelas.

“itulah pentingnya tabayyun atau menyelidiki terlebih dahulu sebuah informasi agar tak menimbulkan petaka” ujar Uda.

Uda Bachtiar mengatakan jika tabayyun dan dialog dari hati kehati tak bisa dilakukan, maka tahkim (mediasi) atau Ninik Mamak mesti turun tangan untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berkonflik.

“tabayyun dan tahkim ini harus dipelihara dengan baik”.

Uda Bachtiar meyakini dalam hal toleransi dan menghadapi konflik keyakinan masyarakat minang sudah teruji. Misalnya tahun 1998 tak ada konflik berarti di Padang antara etnis Tionghoa dan Minang. Lalu pada kasus tahun 1999, terjadi pemaksaan pindah agama pada salah satu agama minoritas, namun dapat diselesaikan dengan dialog dan hukum.

“Tabayyun harus diawali dari diri sendiri dengan berpikir positif atau tak beburuk sangka pada siapapun. Lalu dilanjutkan dengan perbuatan yaitu bersilaturahim, jika ada potensi konflik maka harus berbicara dari hati ke hati. Jika hal itu dilakukan, maka dalam konteks bernegara pun tak akan ada konflik”  pesan Uda menutup pembicaraan.

 

  • Toleransi
  • Agama dan masyarakat
  • Tabayyun
  • Minang
  • budaya minang
  • petatoleransi_27Sulawesi Selatan_biru

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!