Article Image

SAGA

Kota Ramah Difabel di Mata Atlet Muda Berprestasi

Tangkapan layar dari akun Youtube Kuala Lumpur 2017. Laura Dinda saat meraih medali emas ASEAN Paragames 2017. (Foto: KBR/Aika Renata)

Pengantar:

Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,5 juta jiwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020. Pemerintah mengklaim terus berkomitmen mewujudkan pembangunan inklusif difabel. Kota menjadi barometer implementasi komitmen itu, salah satunya dalam hal akses fasilitas publik. Apakah komitmen tersebut sudah ditepati? Jurnalis KBR Aika Renata mencari tahu jawabannya dengan mengikuti keseharian seorang atlet muda difabel berprestasi yang tinggal di Solo, Jawa Tengah.

KBR, Solo - Suara berdecit terdengar kala tangan Laura mengayuh kursi roda menyusuri tanjakan menuju kolam renang tempatnya berlatih di kawasan Solo, Jawa Tengah. Ia mesti mengeluarkan tenaga ekstra untuk mendaki jalur sepanjang 5 meter itu.

"Setahun ini sudah ada perbaikan dari pihak kolam, yang dulunya tangga sekarang dibikinin jalan buat kursi roda. Cuma ya sedikit curam jadi agak berat, mau gowes kursi roda capek sih," kata Laura.

Fasilitas ramp baru jelas membantu. Namun, derajat kelandaiannya masih belum ideal bagi pengguna kursi roda seperti Laura.

"Kalau kursi roda itu mau naik dikit aja susah. Ingat juga bahwa kursi roda itu ga cuma, ga ada tangga aja, tapi jalannya nggak terlalu curam. Ada orang yang bahkan pakai kursi roda tapi tangannya juga bermasalah. Jadi ketika dibikinin jalan buat kursi roda, tapi terlalu curam, menurut aku ya sedikit tidak berguna," imbuh Laura.

Situasi seperti itulah yang dijalani Laura selama enam hari tiap pekan. Pemilik nama lengkap Laura Aurelia Dinda Sekar Devianti ini tengah intensif berlatih jelang Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) pada November 2021.

Baca juga: Puan Penyelam Gandeng Difabel Suarakan Kesetaraan

Tangkapan layar dari akun Youtube Kuala Lumpur 2017. Laura berfoto bersama atlet lain saat pemberian medali di ASEAN Paragames 2017 di Malaysia.(Foto: KBR/Aika Renata).

Laura adalah atlet difabel cabang olahraga renang andalan Indonesia. Ia menyumbang dua medali emas untuk Tim Merah Putih saat ASEAN Para Games 2017 lalu.

Namun, status sebagai atlet berprestasi tak menjamin ia mendapat akses tempat latihan ramah difabel.

“Toilet di kolam renang tempat aku latihan susah banget karena ga ramah difabel. Jadi aku ga mandi di kolam karena susah, tapi di rumah aja karena kursi roda ga bisa masuk, ga ada pegangan juga kalau mau move ke kamar mandinya," keluh Laura.

Situasi semacam ini tak jarang membuatnya frustasi

"Kadang ada jalur yang ga bisa dilewati kursi roda dan jujur, bikin kesal. Kita sudah niat latihan, terus lihat jalur itu, kenapa mau latihan saja susah banget," ucapnya sembari menghela nafas panjang.

Beberapa medali yang pernah diraih Laura Dinda. (Foto: KBR/Aika Renata)

Untuk mobilitas sehari-hari, mahasiswi psikologi Universitas Gajah Mada ini memilih menggunakan kendaraan pribadi ketimbang transportasi publik. Sang ibu, Ni Wayan Luh Mahendra yang senantiasa mendampinginya.

“Aku belum pernah naik bus di Solo, malah pernah yang di Jakarta. Karena waktu itu sama tim kali ya, jadi sudah disediain jalurnya sendiri. Kalau di Solo, yang buat jalur kursi roda masih sedikitlah,” tutur Laura.

Saat harus menempuh rute perjalanan jauh, ia wajib melakukan persiapan lebih, terutama soal kebutuhan sanitasi. Pasalnya, akses khusus untuk difabel terbilang langka.

“Di pom bensin itu susah banget nyari toilet yang ramah difabel. Misal aku ke luar kota itu kadang pake pampers atau kita benar-benar nyari di minimarket yang bisa dilewati kursi roda. Minimal aku harus dibantu mama," kata Laura.

Fasilitator Senior Kota Kita, Fuad Jamil. (Foto: KBR/Taufiq Hidayat)

Apa yang dialami Laura di sisi lain menunjukkan progres lamban pemerintah kota Solo dalam memenuhi hak penyandang disabilitas. Pasalnya, riset LSM Kota Kita dan UNESCO 2017 menunjukkan problem yang sama.

“Ternyata hanya 39% difabel yang pernah mengakses ruang publik dan taman kota, hanya 52% yang pernah menggunakan transportasi umum. Ini menimbulkan pertanyaan, ada apa dengan fasilitas publik di Solo?” ungkap Fasilitator Senior Kota Kita, Fuad Jamil.

Dari sisi regulasi, Solo sudah punya payung hukum yang menjamin perlindungan dan pemenuhan hak difabel. Namun, perlu dilengkapi aturan turunan agar bisa segera dieksekusi. Selain itu, menurut Fuad, pemkot perlu melibatkan kelompok difabel dari mulai perencanaan sampai evaluasi.

“PR paling penting diselesaikan itu masih aksesibilitas fasilitas publik, keterlibatan difabel, dan sensibilitas dari masyarakat. Petugas layanan publik harus tahu bersikap," ujar Fuad.

"Ini bukan melulu soal hak disabilitas tapi juga kelompok rentan lain. Ini isu universal karena akses juga bisa dinikmati perempuan, anak, lansia, dan orang yang sedang dalam masa recovery," imbuhnya.

Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka saat ditemui di Balai Kota Solo, Kamis (21/10/2021). (Foto: KBR/Yudha Satriawan).

Sementara itu, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka mengklaim senantiasa melibatkan kelompok difabel untuk memastikan hak-hak mereka terpenuhi. Meski begitu, Gibran mengakui kondisi saat ini masih belum ideal.

“Kalau masalah infrastruktur, pasti melibatkan kaum difabel mulai dari perencanaan, proses konstruksi, penyediaan guiding block. Sekarang kan sudah ada aturan di perusahaan harus ada kaum difabelnya. Kemarin saya juga sudah ketemu tim advokasi difabel sudah banyak yang kita bicarakan. Nanti kami perbaiki lagilah ke depan," kata Gibran.

Laura saat ditemui di rumahnya di sela persiapan jelang Peparnas 2021. (Foto:KBR/Taufiq Hidayat)

Laura jelas berharap Solo bakal jadi kota ramah difabel. Ia bermimpi bisa tenang dan nyaman saat berlatih renang atau tak pusing mencari toilet saat bepergian. Satu hal lagi, ia juga ingin bisa menikmati hidup sebagaimana anak muda seusianya.

“Untuk Kota Solo pengin deh tempat-tempat yang kayak kafenya, itu bisa buat teman-teman yang difabel. Sedihnya itu. Sebagai anak muda, pengen hang out bareng temen-temen tapi ya itu, halangannya tempat-tempat susah banget di aksesnya buat yang difabel. Aksesibilitasnya masih kurang,” harap Laura.

Penulis: Aika Renata

Editor: Ninik Yuniati

Catatan: Yudha Satriawan berkontribusi dalam tulisan ini