Article Image

SAGA

Warga Indramayu Pantang Surut Tolak PLTU Batubara

"Jepang batal mendanai proyek PLTU batubara II Indramayu. Warga terdampak kembali mendesak proyek dihentikan karena merampas ruang hidup mereka."

Warga Jatayu menggelar upacara HUT ke-77 RI di Desa Mekarsari. Mereka meminta PLTU batubara II dibatalkan setelah Jepang menarik investasi. (Foto: KBR/Ninik).

KBR, Indramayu - Dawina (52) bersemangat menyanyikan lagu-lagu bertemakan penolakan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara II Indramayu. Salah satunya lagu bertajuk “Lahan Dihabisi”.

Kami buruh tani dari Mekarsari

Buruh tani yang semangat sekali

Bekerja pagi sampai sore hari

Untuk menghidupi keluarga kami

Lain halnya dengan sekarang ini

Lahan petani dihabisi

Ini salah satu dari belasan tembang hasil kreasi Dawina, petani Desa Mekarsari, Indramayu, Jawa Barat.

Lagu-lagu tersebut kerap dibawakannya di tiap demo menolak proyek PLTU batubara II Indramayu. Dawina mengaku sebenarnya tak berniat mengarang lagu untuk orasi. Lirik-lirik berima itu tiba-tiba saja muncul di benaknya.

“Saya ga pernah menulis, ga pernah mengarang, tiba-tiba bisa saja kayak gitu, cemlong-cemlong. Kalau saya bisa, saya ingin ngarang lagu Pantura, dapat duit banyak. Ga tahu, bisanya (lagu) soal PLTU II saja,” tutur Dawina.

Baca juga: Kapal Arka Kinari, Keliling Dunia Wanti-Wanti Krisis Iklim

Dawina, petani Desa Mekarsari, khawatir kehilangan sumber penghidupan jika PLTU batubara II Indramayu dibangun. (Foto: KBR/Ninik).

Dawina bergabung di Jaringan Tanpa Asap Batubara Indramayu (Jatayu). Anggotanya berjumlah 130-an warga Mekarsari.

Sejak 2015, mereka aktif berunjuk rasa menolak PLTU batubara, mulai dari Gedung Sate, Bandung, DPR, KPK, hingga Istana Negara.

Ada beberapa kejadian menarik saat unjuk rasa. Dawina yang lantang bernyanyi malah dapat apresiasi aparat.

“Saya demo di depan DPR, nyanyi 4-5 lagu. Sudah berhenti polisi nyariin saya, kirain mau ditangkap, kan lagunya ini nyindir pemerintah. Eh minta salaman. Waktu di KPK juga. ‘Mana yang tadi nyanyi?’ Polisi deketin saya, ‘ibu itu bagus, ibu ngarang lagu disuruh siapa? dapat dari mana? saya sendiri, Pak,’” Dawina bercerita.

Dawina dan seratusan warga Mekarsari terancam hilang mata pencaharian jika PLTU batubara II Indramayu dibangun.

Padahal, Dawina dan sang suami, Taniman, hanya mengandalkan pemasukan dari bertanam padi dan buruh tani untuk menghidupi keluarga.

Mereka mengolah lahan kurang dari setengah hektare sejak 2017. Satu kali panen bisa menghasilkan minimal 1,5 ton.

“Kalau lagi bagus ya dua ton. Ya lumayan untuk makan, bayar utang, untuk biaya sekolah. Aduh boro-boro nabung, asal ga punya utang udah senang saya,” kata dia.

Baca juga: Berkah Karbon Komunitas Penjaga Hutan Bujang Raba

Sair, nelayan Mekarsari, tengah mencari udang rebon. Panen udang makin seret diduga karena terdampak limbah PLTU batubara I Indramayu. (Foto: KBR/Ninik).

Lahan itu memang bukan milik Dawina, tetapi milik PLN dan sudah dibebaskan untuk kepentingan pembangunan PLTU batubara. Luas keseluruhan lahan untuk proyek mencapai 270-an hektare.

Otomatis jika PLTU batubara terealisasi, maka Dawina dan ratusan warga Jatayu bakal kehilangan lahan bercocok tanam. Pekerjaan sampingan sebagai buruh tani juga akan menipis.

“Saya ga mungkin jadi buruh tani di desa lain. Daerah lain ada petaninya sendiri-sendiri,” ucap Dawina.

Tekad bulat mempertahankan ruang hidup, Dawina dan ratusan warga terdampak yang tergabung dalam Jatayu, aktif turun ke jalan sejak 2015, menolak pembangunan PLTU batubara II.

Beberapa di antara mereka ditahan lantaran turut dalam unjuk rasa. Ini diduga bentuk kriminalisasi.

Suami Dawina, Taniman pernah ditahan 6 bulan atas tuduhan pengeroyokan saat memprotes pembangunan Gardu Induk Tegangan Tinggi (GITET) PLN pada 2018.

“Ada surat, suruh ke polres. Pulang, dipanggil lagi terus ga pulang. Ditahan. Bilangnya ga lama, paling tiga hari, empat hari, eh sampai enam bulan,” ujar Dawina.

Baca juga: Masyarakat Adat Anggai di Tengah Konsesi Sawit

Asap batubara dari cerobong PLTU I Indramayu terlihat dari kawasan pertanian Desa Mekarsari. Lahan ini bakal tergusur untuk lokasi pembangunan PLTU batubara II. (Foto: KBR/Ninik).

Alhasil, Dawina menanggung beban keluarga seorang diri.

“Sedihlah, orang-orang nasibnya baik, menolak PLTU ga dipenjara. Saya mah nasibnya jelek. Ya (saya) jadi sibuk, ke sawah, ngurusin orang tua, ngurusin anak,” tutur dia.

Selain hilangnya ruang hidup sebagai sumber nafkah, warga Jatayu juga khawatir debu batubara bakal memperburuk kesehatan.

Mereka bercermin dari dampak beroperasinya PLTU batubara I yang berlokasi di desa tetangga sejak 2013.

“Kalau soal makan ya orang urip, orang hidup harus cari makan. Yang nomor satu itu dampak asap batubara. Saya punya tempat tinggal di sini, rumah satu-satunya,” ungkap Dawina yang rumahnya berjarak sekitar 400 meter dari lokasi proyek PLTU batubara.

Keresahan serupa juga menyelimuti Mistra. Petani sayur berusia 38 tahun ini mengaku pernah merasakan paparan debu batubara PLTU I.

“Pas saya lagi motong padi, aduh debunya itu, baunya kayak bau welirang, ga enak sampai saya berhenti dulu. Banyak orang, pada berhenti, ‘ada asap dari situ, dari limbah. Nanti takut ada apa-apa kan, mending dihindari,” kata Mistra.

Baca juga: Seruan Transpuan Kampung Duri tentang Perubahan Iklim

Mistra, petani Mekarsari, bertanam sayuran di lahan lokasi PLTU batubara II bakal dibangun. Ia juga menyambi jadi buruh tani dan nelayan udang rebon. (Foto: KBR/Ninik)

Mistra bertanam sayur-mayur di lahan kurang dari setengah hektare sejak 2018. Ia juga menyambi jadi buruh tani di sawah orang lain dengan upah Rp100 ribu per hari.

Mistra gundah lahan garapannya bakal tergusur proyek PLTU batubara II. Ayah dua anak ini enggan merantau lagi keliling pulau, mengais nafkah sebagai buruh nelayan, seperti beberapa tahun lalu.

“Kalau ada negara pasti ada warga, kita ini warga butuh makan, hidup sehat, kenyamanan, tolong dikaji kembali proyek-proyek seperti ini. Keinginan masyarakat sini ya, jangan sampai dibangun. Biar saya tuh ga ke mana-mana, biar saya selalu mendampingi anak istri saya,” ucap Mistra.

Pekerjaan sampingan sebagai nelayan udang rebon pun tak bisa jadi andalan. Sebab, kini panen udang makin seret.

“Biasanya Desember sampai April, April itu tipis. Kalau dulu sebelum ada PLTU (I), kakek saya setiap hari dapat, ga musim hujan juga dapat. Dulu setiap hari saya bawa nasi sama kopi (untuk kakek). Nanti pulangnya bawa rebon,” kisah Mistra.

Pada upacara peringatan HUT ke-77 RI, Dawina, Mistra dan puluhan anggota Jatayu kembali menyematkan asa dan doa agar PLTU batubara II Indramayu urung dibangun.

Baca juga: Kontribusi Berkelanjutan Selamatkan Terumbu Karang

Sawin (paling kanan) pernah ditahan usai berunjuk rasa tolak PLTU batubara II. Ini diduga sebagai upaya kriminalisasi.(Foto: KBR/Ninik).

Harapan ini kembali menyala setelah warga mendengar Jepang batal mendanai PLTU batubara II, akhir Juni lalu.

Ketua Jatayu, Rodi, berharap pemerintah berhenti mencari investor lain.

“Kita mohon, kepada penguasa negara yang sedang dipercaya masyarakat seluruh Indonesia, saya minta hentikan PLTU yang ada di Indramayu. Kalau memaksa membangun, berarti akan berurusan selalu dengan rakyatnya,” kata Rodi.

Rodi menegaskan tak ada opsi bagi warga Jatayu selain melanjutkan perjuangan mempertahankan ruang hidup.

“Kalau berbicara dampak, datangkan saya atau saya mendatangi beliau. Saya siap untuk diadu. Saya ini bukannya manantang, saya perlu penjelasan. Untuk argumen mengenai keadaan yang ada di tanah saya, karena saya yang merasakan dan saya yang betul-betul tahu bukan orang-orang di atas,” pungkas Rodi.

Penulis: Ninik Yuniati