SAGA

[SERIAL] EPISODE 1: Racun Radikalisme

Senin 29 Apr 2019, 08.23 WIB

Terorisme membawa luka. Itu jelas. Luka kepada warga tak berdosa yang menjadi korban. Juga luka pada keluarga korban pelaku teror yang ditinggalkan.

Termasuk, anak para pelaku aksi terorisme. 

Mereka yang hidup, tumbuh serta beberapa diajak orangtua mereka yang jadi pelaku aksi terorisme. Mereka adalah korban. 

KBR menyajikan serial khusus menyoroti anak-anak yang jadi korban terorisme. Demi melindungi para bocah, identitas mereka kami samarkan.

Ikuti Serial "Hidup Usai Teror" episode ke-1: Racun Radikalisme.


PERINGATAN! Seri liputan ini memuat konten yang boleh jadi mengganggu bagi sebagian orang.

Ilustrasi Racun Radikalisme

[AUDIO ILUSTRASI VIDEO PERANG]

Ayah Rambu selama dua tahun berturut-turut membikin semacam bioskop kecil sebelum tidur.

[MUSIK]

SUSTRI: Yang mereka tonton, ada jihadis yang rela badannya disayat-sayat sampai kelihatan tulang dan darah. Yang ditonton video Amrozi. Jadi saya tanya ke anak-anak, ingatan apa atau kenangan apa yang mereka dapat dari video jihad? Mereka ceritakan seektrim, seagresif itu lah yang mereka tonton sehari-hari.

Bayangan akan hidup yang mengerikan, memerangi orang yang dianggap kafir, lalu mati masuk surga tak pelak jadi mantra setarikan napas yang seliweran di kuping para bocah.

SUSTRI: Sebelum tidur, anak disodorkan video jihad. (jeda)

SUSTRI: Aduh, saya kalau ingat-ingat ini, sampai sekarang masih kebayang sama anak-anak kita.. kasihan sekali…”

REPORTER: Frekuensinya sering?

SUSTRI: (mengangguk-jeda) Iya, sering. Karena sudah nggak sekolah kan anak-anak itu.

Orangtua juga membatasi pergaulan anak-anak mereka. 

SUSTRI: Gambaran anak-anak kita ini sebelum peristiwa teror/ledakan itu, bukan anak-anak yang normal seperti normalnya anak. Mereka tidak diizinkan keluar untuk main, harus di rumah. Kemudian anak tidak diberi akses mendapat pendidikan, tidak diizinkan sekolah.

Beberapa berhenti sekolah umum atau belajar di rumah.

SUSTRI: Di rumah itu tontonannya tentang jihad, diskusinya tentang jihad, komunitasnya pengajian soal jihad. Maka itulah produknya, anak-anak yang siap mati. Anak-anak yang kalau diajak ngebom, mau.

Secara berkala, bocah-bocah juga mulai dikenalkan dengan latihan fisik, cerita salah satu pendamping di rumah perlindungan milik negara, Tuti Nurhayati.

TUTI: Sering naik gunung juga. Nah ternyata kan orangtuanya memang sangat kuat sekali untuk menguatkan mental fisik anak-anaknya. Misalnya dengan cara hiking ke gunung atau ke alam. Untuk menguatkan mereka.

Psikolog dan anggota C-Save Sustriana Saragih mengingatkan, anak-anak ini adalah korban. 

SUSTRI: Anak-anak tadi tidak pernah memilih dilahirkan di keluarga mana. Tidak pernah meminta ayahku teroris, ibuku teroris, mereka dilahirkan di keluarga itu ya… bukan karena kesalahan mereka, bukan karena mereka.

Malangnya, dalam kasus terorisme, anak tak sepenuhnya ditempatkan sebagai korban.

<tr>

	<td class="current">Reporter</td>


	<td>:</td>


	<td>Damar Fery, May Rahmadi, Nurika Manan, Ria Apriyani</td>

</tr>


<tr>

	<td>Editor</td>


	<td>:</td>


	<td>Citra Dyah Prastuti&nbsp;</td>

</tr>