NASIONAL

Korban Tak Berani Melapor, Jadi Kendala Kasus Kekerasan terhadap Perempuan

"Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyebut angka kasus kekerasan terhadap perempuan berfluktuasi dalam 5 tahun terakhir."

Korban Tak Berani Melapor, Jadi Kendala Kasus Kekerasan terhadap Perempuan

KBR, Yogyakarta– Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyebut angka kasus kekerasan terhadap perempuan berfluktuasi selama 5 tahun terakhir.

Pada 2017, angka kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 8.889, dengan jumlah korban sebanyak 9.028. Kemudian pada 2018, angka kasusnya naik menjadi 9.193, dengan jumlah korban 9.390. Di 2019, jumlah kasus sebanyak 8,854, dengan jumlah korban sebanyak 8,947.

Lalu, pada 2020 angka kasus turun 8.686, dengan jumlah korban 8.763. Pada 2021, angka kasus melonjak hingga 10.247, dengan jumlah korban sebanyak 10.368.

Sekretaris KPPPA, Pribudiarta Nur Sitepu menyebut salah satu tantangan yang selama ini dihadapi dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan adalah karena korban tidak berani melapor.

"Data yang kami terima berdasarkan SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak, red), tren kasus rentang waktu tahun 2017-2021 sebanyak 39 persen perempuan menjadi korban fisik, 73 persen terjadi di rumah tangga dan 45 persen anak menjadi korban kekerasan seksual," katanya di sela Seminar Nasional Akselerasi Pemenuhan UU TPKS: ‘Menembus Risiko Bayangan Stagnansi dalam Pencegahan, Penanganan dan Ragam Kompleksitas Kekerasan Berbasis Gender bagi Setiap Orang’ dalam rangka Ulang Tahun PKBI ke-65 di Yogyakarta, Senin,(19/12/2022).

Pribudiarta menambahkan, berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN), pada 2016 terdapat 1 dari 3 perempuan usia 15-64 pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual selama hidupnya.

Sedangkan pada 2021, terdapat 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun di Indonesia mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama mereka hidup.

"Nah, karena itulah tantangan terbesarnya itu juga bagaimana meningkatkan kualitas unit-unit yang melayani itu tadi termasuk juga bagaimana mendorong keberanian untuk berbicara," katanya.

Angka Kekerasan Naik

Menurutnya, angka kasus kekerasan seksual dalam kurun waktu 12 bulan terakhir meningkat dikarenakan beberapa faktor. Salah satunya adalah masalah ekonomi dan antara pelaku dan korban masih berada di dalam lingkup yang sama atau tinggal dalam satu rumah.

Dalam kasus kekerasan seksual tehadap anak, pelaku kekerasan seksual adalah orang di sekitar atau masih memiliki hubungan keluarga. Sementara, terhadap perempuan kekerasan yang dialami berupa KDRT dan terjadi di dalam rumah.

“Jadi memang kemungkinan besar kondisi kemiskinan dan harus tinggal di dalam rumah itu menyebabkan terjadi peningkatan signifikan dalam 12 bulan terakhir,” paparnya.

Pribudiarta menegaskan, lahirnya UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang bersifat lex specialis, diharapkan mampu menyediakan landasan hukum materil dan formil sekaligus, sehingga dapat menjamin kepastian hukum dan memenuhi kebutuhan hukum.

Oleh karena itu Kemen-PPPA mendorong seluruh layanan UPTD di tingkat provisi dan di kabupaten/kota untuk menjadi kuat agar mampu memberikan layanan yang optimal kepada korban.

"Dari hulu ke hilir itu proses yang harus kita tangani dan tidak boleh berhenti-henti. Kita mengharapkan tidak ada stagnan karena pusat sendiri itu jalan terus. Kami aturan turunan ada 5 peraturan pemerintah (PP) dan 5 perpres itu kami terus bahas walaupun memang di dalam prosesnya memang membutuhkan waktu yang lama karena masuk dalam Prolegnas," ujarnya.

Layanan Pengaduan

Pribudiarta menjelaskan, untuk menyediakan layanan kepada korban kekerasan, KPPPA membuka layanan pengaduan secara online yang dapat diakses melalui telepon atau WhatsApp. Hal ini ditujukan untuk mempermudah para korban untuk melaporkan secara langsung terkait kekerasan yang dialami.

“Kami buka pelaporan elektronik melalui Sapa 129, telepon 129 itu bisa langsung. Atau bisa juga WhatsApp ke 0811-1-129-129 langsung ke unit layanan dan unit layanan akan koordinasi manajemen kasusnya apakah diserahkan provinsi atau kabupaten/kota langsung,” paparnya.

Menurut Pribudiarta, kasus kekerasan terhadap perempuan ibarat fenomena gunung es, sehingga tidak bisa dijabarkan secara detail. Sebab, semua unit layanan melaporkan hampir semua kasus jumlahnya merata.

"Kota lebih tinggi sedikit dari desa. Kami khawatir datanya itu adalah data gunung es karena ini terkait keberanian melapor. Jadi, Jawa itu hampir sebagian besar tinggi, tapi karena keberanian melapor mereka tinggi. Ada beberapa daerah juga yang tidak ada kasusnya. Apakah mereka memang tidak ada atau tidak berani melapor ya karena fenomena gunung es," imbuhnya.

Apresiasi Pengesahan UU TPKS

Dalam acara yang sama, Pjs Direktur Eksekutif Daerah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Budhi Hermanto menjelaskan bahwa seminar tentang Akselerasi Pemenuhan UU TPKS dilaksanakan dengan tujuan sebagai stimulus bagi seluruh lapisan masyarakat dalam mendorong percepatan penerapan UU TPKS secara komprehensif di berbagai level lapisan masyarakat.

“Kami mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk bersama menembus ruang dan budaya yang kerap kali belum terjamah oleh institusi negara dalam penerapannya terkait situasi perlindungan yang ramah dan adil secara gender,” katanya.

Menurut Budhi, pengesahan UU TPKS ini patut diapresiasi dan disambut baik. Sebab, dengan adanya payung hukum, maka pencegahan dan penanganan terhadap korban kekerasan bisa diatasi sesuai aturan yang berlaku.

“Hasil seminar ini nantinya akan kita bikin naskah turunan, sehingga ada roadmap yang bisa kita jadikan acuan untuk kemudian kita serahkan ke pemerintah dalam hal ini adalah KPPPA,” pungkasnya.

Baca juga:

Editor: Sindu

  • kekerasan seksual
  • Kementerian PPPA
  • PKBI
  • Kekerasan Seksual terhadap Perempuan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!