NASIONAL

Swasembada Beras, Pakar: Produksi Justru Turun

""Tahun 2021 yang masih La Nina justru turun (produksinya, red) 0,42%. Ini kenyataannya yang ada, terlepas dari penghargaan yang diterima IRRI""

swasembada beras
Swasembada beras, petani panen padi di persawahan Bekasi, Jabar, Senin (18/7/22). (Antara/Andi Bagasela)

KBR, Jakarta-   Indonesia mendapatkan penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI). Penghargaan itu diberikan atas keberhasilan sistem ketahanan pangan Indonesia dalam hal swasembada beras tahun 2019-2021.

Akan tetapi, menurut Guru Besar Institut Pertanian Bogor yang juga merupakan Pakar Pertanian, Dwi Andreas Santosa, jumlah produksi padi nasional sesungguhnya menurun.

Kata dia, merujuk data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019 justru produksi padi turun 7,7 persen. Lalu di 2020 itu kenaikannya sangat kecil hanya 0,09 persen, padahal di 2020 sampai saat ini, Indonesia berada dalam iklim La Nina atau iklim kemarau basah yang cocok bagi meningkatnya produksi padi.

"Tahun 2021 yang masih La Nina justru turun (produksinya, red) 0,42%. Ini kenyataannya yang ada, terlepas dari penghargaan yang diterima IRRI karena kita berhasil swasembada beras, tapi saya hanya melihat data resmi yang kita akui bersama. Selama pemerintahan saat ini tahun 2015 sampai 2021, justru produksi kita turunnya 0,35% pertahunnya," ujar Andreas saat dihubungi KBR, Minggu (14/8/2022).

Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia ( AB2TI) ini mengatakan, Indonesia dianggap swasembada beras lantaran nihil impor sejak 2018 dan malah bisa mengekspor dalam tiga tahun terakhir.

Sementara itu, ada kecenderungan pergeseran atau penurunan konsumsi beras di dalam negeri ke komoditas pangan lain, seperti gandum.

Andreas menambahkan,  harga gabah kering panen atau GKP di tingkat sentra produksi juga terus turun sejak September 2019. Hal itu, menurutnya sejalan dengan Nilai Tukar Petani (NTP) sebagai indikator kesejahteraan petani yang rendah sejak Februari 2021.

"Itu GKP trennya menurun terus mulai September 2019 sampai saat ini. Sekarang ini kalau saya tanyakan ke saudara petani, kami menanam padi sudah tidak lagi menguntungkan kalau mereka punya lahannya sempit lahan di bawah 2.000 meter," tutur Andreas.

Dia melanjutkan, "Itu selaras dengan data NTP untuk tanaman pangan, terus mengalami penurunan sejak bulan Februari 2021 itu selalu di bawah 100, kecuali hanya dua bulan saja yaitu Januari 2022 dan Maret 2022. Selebihnya, selalu di bawah 100 sejak bulan Februari 2021 berarti bertanam padi sejak itu rugi."

Baca juga:

Sebelumnya Presiden Joko Widodo mengapresiasi kinerja petani Indonesia yang mampu memenuhi kebutuhan beras sejak 2019 hingga 2021 tanpa impor. Bahkan dengan stok tersedia mencapai 30 juta ton per tahun.

Jokowi mengatakan hingga April 2022 stok beras mencapai 10 juta ton, di tengah krisis pangan. Hal ini disampaikan Jokowi, saat menerima penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) atau lembaga penelitian padi internasional, atas keberhasilan Indonesia dalam mencapai swasembada beras.

"Saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya utamanya pada pelaku riil yang bekerja di sawah para petani Indonesia atas kerja kerasnya. Tentu saja Bupati, para gubernur, kementerian pertanian dan semuanya bekerjasama dengan riset-riset dari universitas-universitas, perguruan tinggi yang kita miliki ini adalah kerja yang terintegrasi kerja bersama sama kerja gotong royong bukan hanya milik kementerian pertanian saja," ujar Jokowi, Minggu (14/08/2022).


Editor: Rony Sitanggang

  • Presiden Jokowi
  • surplus beras
  • Krisis Pangan
  • Ketersediaan Beras
  • Beras
  • Serikat Petani Indonesia
  • Jokowi
  • nilai tukar petani
  • IRRI

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!