BERITA

Kekerasan Berbasis Gender Online Lebih Mengancam Selama Pandemi

""Kita belum memiliki aturan hukum yang berpihak pada korban. Kekerasan itu terdiri dari fisik, psikis, ekonomi, seksual. Bahkan saat ini, ketika terjadi kekerasan verbal, sangat sulit diproses.""

Dwi Reinjani

Kekerasan Berbasis Gender Online Lebih Mengancam Selama Pandemi
Ilustrasi. (Foto: Creative Commons)

KBR, Jakarta - Pandemi Covid-19 bukan hanya menyerang kesehatan fisik dan ekonomi masyarakat, namun juga mental, khususnya pada perempuan.

Menurut laporan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), selama pandemi melanda Indonesia, kasus kekerasan berbasis gender online atau KBGO mencapai ribuan kasus.

Pendamping Korban Kekerasan Seksual LBH APIK, Tuani Sondang mengatakan kekerasan di dunia maya marak terjadi lantaran kurangnya pemahaman masyarakat terkait bentuk pelecehan, serta intensitas berjejaring yang cukup lama.

"Selama WFH LBH APIK menerima pengaduan sebanyak 1.117 kasus. Artinya terjadi peningkatan selama WFH. Kasus kekerasan berbasis gender online di tahun-tahun sebelumnya tidak masuk dalam kategori 5 kasus besar. Itu bandingannya hanya puluhan atau belasan. Namun di tahun 2020-2021 itu KGBO masuk dalam peringkat ke-2 di tahun 2020. Berdasarkan catatan tahunan LBH Apik ada 370 pengaduan KBGO," ujar Tuani, dalam diskusi AJI, Selasa (3/8/2021)

Kendati kasus KBGO dan kasus kekerasan seksual lainnya terus bermunculan, penanganan dan payung hukum untuk menyelesaikan kasus belum mumpuni. Tuani mengatakan kondisi seperti ini sering membuat para korban enggan melaporkan kasusnya.

"Kita belum memiliki aturan hukum yang berpihak kepada korban. Kekerasan itu terdiri dari fisik, psikis, ekonomi, seksual. Bahkan untuk saat ini, ketika terjadinya kekerasan secara verbal, sangat sulit untuk diproses karena itu adanya di Undang-undang Penghapusan KDRT. Sedangkan untuk kasus-kasus kekerasan seksual yang bersifat pelecehan seksual atau verbal, atau intimidasi belum ada payung hukum yang mengatur. Disini juga terkait perspektif aparat penegak hukum yang belum bisa berpihak kepada korban. Itu yang membuat dilema-dilema kepada korban," ujarnya.

Data pribadi

Salah seorang korban KBGO asal Jakarta, Irni menceritakan pengalamannya mendapat pelecehan di media sosial. Saat itu, ia memposting swafoto di sebuah akun media sosial, dan mendapat banyak tanggapan seksis dari para pria. Padahal saat itu, pakaian yang ia kenakan tidak terbuka.

"Di situ aku ngepost foto dari ujung kepala sampai setengah badan, nggak nyampe setengah badan juga. Tiba-tiba di DM sama banyak cowok, dari mulai yang aku kenal sampai yang nggak aku kenal. Mereka tuh ngomong hal-hal yang menurut aku dan semua orang juga tahu kalau baca, itu adalah pelecehan seksual. Kayak, 'Eh kamu sibuk nggak kita main yuk? Atau tahulah, kayak pick up line yang seksis. Ada juga yang kayak minta foto lebih," ujar Irni saat dihubungi KBR, Selasa (3/8/2021).

Irni mengatakan hal itu cukup mengganggu psikologinya. Namun ia tidak berlarut-larut dan langsung menegur para pelaku. Ia lebih memilih menghadapinya sendiri ketimbang melaporkan kejadian tersebut, agar dampak yang didapat bisa langsung dirasakan para pelaku.

"Orang-orang itu aku tegur keras lalu aku block, dan aku warning sama teman-teman yang temenan sama mereka. Biar tahu kalau ini nih pelaku-pelaku pelecehan seksual. Ini yang harus diwaspadai. Dan kalau misalnya bisa ya sudahlah biar teman-teman sirkel saja yang menilai, mereka tuh kayak begini loh. Yang penting udah tau sifat jeleknya kayak begini. Mungkin jatuhnya kayak kena sanksi moral kali ya," ujarnya.

Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara SAFEnet menilai media sosial merupakan ruang publik sekaligus privasi yang perlu diperhatikan serius. Jika tidak hati-hati, pelecehan seksual dan kejahatan saiber bisa terjadi.

Kepala Sub Divisi Kekerasan Berbasis Gender Online Safenet, Ellen Kusuma, pelecehan bisa terjadi pada platform apapun.

"Perantaranya bisa macam-macam, dari media sosial kita juga sering dengar kasus yang bermula dari aplikasi kencan. Kita juga sering dengar aplikasi teknologi komunikasi dari ancaman di SMS ancaman di chatting apps dan macam-macam situs hiburan. Ada yang menggunakan Hago? Hago adalah aplikasi hiburan untuk main games, tetapi di situ juga bisa terjadi kekerasan berbasis gender online," ujar Ellen.

Ellen meminta masyarakat mengelola secara hati-hati semua perangkat keras dan lunak penyimpanan data pribadi seperti laptop, handphone, flashdisk, cloud storage hingga akun media sosial.

"Data pribadi kita ketika sudah dipegang oleh orang lain, maka kalau orang lain tersebut menggunakan data pribadi kita secara sewenang-wenang, tubuh kita juga yang akan merasakan konsekuensinya. Jadi kalau kita hanya berpikir, wah hanya data KTP, hanya nomor handphone, berbagai bentuk macam format data pribadi, kita akan terjebak pada itu cuma data. Padahal kalau data itu diapa-apain orang, kita yang akan merasakan konsekuensinya. Maka saya ingin teman-teman mengubah pola pikirnya bahwa itu nggak sekedar data pribadi tapi itu adalah tubuh digital kita. Itu adalah ekstensi atau perpanjangan dari tubuh kita yang ada di dunia nyata," kata Ellen.

Editor: Agus Luqman

  • kekerasan seksual
  • kekerasan gender berbasis online
  • KGBO
  • perempuan
  • SAFEnet

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!