NASIONAL

Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Tergantung Political Will Presiden

"Tak hanya Presiden, pengadilan juga harus didorong untuk menegakkan keadilan bagi korban pada kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu."

Sadida Hafsyah

Pelanggaran HAM Berat
Mahasiswa Universitas Trisakti mengikuti aksi malam gelora di Tugu 12 Mei Reformasi, Kampus Universitas Trisakti, Jakarta, Rabu (11/5/2022). (Foto: ANTARA)

KBR, Jakarta - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI, Ahmad Taufan Damanik mengatakan penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu tergantung dari kemauan atau keinginan politik (political will) pemerintah. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah Presiden sebagai pemimpin negara, dan Pengadilan yang secara khusus menjalankan proses hukumnya.

"Menurut saya, kata kuncinya adalah di komitmen dan kemauan politik dari pemerintah. Dulu ada tiga kasus di masa Presiden Gus Dur misalnya. Kan juga sama. Itu maju atas penyelidikan Komnas HAM maju sampai pengadilan. Walaupun kemudian di pengadilan terduga pelakunya dibebaskan semua. Jadi sekali lagi saya katakan penyelesain ini memang paling utama adalah komitmen dan kemauan politik dari pemerintah dalam hal ini presiden. Yang kedua tentu saja pengadilan. Supaya nanti jangan sampai pengadilan seluruh terdakwanya dibebaskan oleh pengadilan," kata Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ahmad Taufan Damanik saat dihubungi KBR (19/5/2022).

Ahmad Taufan Damanik menambahkan, tidak hanya Presiden, lembaga Pengadilan juga harus didorong untuk menegakkan keadilan bagi para korban pada kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Menurutnya, sejauh ini, Komnas HAM dan pemerintah telah bersepakat bahwa keputusan pendekatan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, berdasarkan substansi. Meski peraturan yang berkaitan dengan penyelesaian pelanggaran HAM non-yudisial, yaitu Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) masih digodok oleh pemerintah.

"Sayangnya UU KKR kan dibatalkan oleh MK. Maka pilihannya adalah melahirkan UU baru, itu sedang digodok pemerintah kita belum tahu kapan selesai. Dan satu lagi, sudah digodok oleh Komnas HAM, Kemenko Polhukam, Setneg, dan KSP. Itu intensif dan drafnya sudah ada di meja presiden, dalam rangka penyelesaian non yudisial. Tapi kasusnya yang mana itu akan dipilih lagi berdasarkan kajian substansial, bukan berdasarkan rentang waktu. Kalau rentang waktu menjadi salah satu pertimbangan mungkin saja. Tapi yang paling prinsip adalah substansi dari masalah," tegasnya.

Baca juga:

- RUU KKR, Ini Alasan Pemerintah Hapus Pasal Amnesti

- Penyelesaian Kasus HAM Mandek, Komnas HAM Minta Presiden Keluarkan Perppu KKR

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengumumkan akan membuka kembali ekspor minyak goreng setelah dilarang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Ahmad Taufan juga menekankan, keputusan jalur pendekatan yang diambil untuk penuntasan kasus pelanggaran HAM berat itu berdasarkan substansi, bukan waktu terjadinya peristiwa. Dan juga, berdasarkan kesepakatan bersama antar-pihak yang terkait.

"Nanti akan dipilih dan dipilah, mana yang dimungkinkan akan dengan jalan yudisial. Sebagai contoh Paniai sudah kan. Sedang berlangsung untuk selanjutnya kita tunggu lah di pengadilan kan. Dan mana yang akan melalui jalan non yudisial. Contoh kasus Aceh. Itu dulu memang ada kesepakatan untuk dia didorong ke KKR. Mungkin kasus-kasus lain? Bisa saja. Itu tergantung diskusi antara pemerintah dengan Komnas HAM. Termasuk dengan keluarga korban," ucapnya.

Editor: Fadli Gaper

  • KKR
  • UU KKR
  • HAM Berat
  • Komnas HAM

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!