NASIONAL

Desakan Serius Revisi UU ITE, Cegah Kriminalisasi

"Sejumlah kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Serius Revisi UU ITE menilai perlu revisi menyeluruh terhadap UU ini."

Desakan Serius Revisi UU ITE, Cegah Kriminalisasi
Koalisi masyarakat sipil menggelar aksi di depan Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (3/4/2023). (Foto: Antara/Aprillio Akbar)

KBR, Jakarta - Revisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mulai menemui titik terang.

Komisi bidang Komunikasi dan Informatika DPR memastikan, usai masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2023 atas usul pemerintah, pembahasan revisi UU ITE akan dimulai April 2023.

Anggota Komisi Komunikasi dan Informatika DPR Sukamta mengatakan, perubahan UU ITE ini nantinya tidak boleh menghasilkan produk baru yang masih merusak iklim demokrasi.

"Mudah-mudahan nanti revisi UU ITE ini menghasilkan undang-undang yang tuntas, bagus, tidak menjadi alat kriminalisasi warga yang tidak bersalah, dan tidak juga menjadi alat rezim untuk memberangus demokrasi," kata Sukamta melalui akun Instagram @drsukamta diunggah (27/3/2023.

DPR mengklaim bakal menghimpun aspirasi masyarakat dan pembahasan RUU ITE tidak akan berlarut.

Pemerintah mengajukan tujuh materi usulan perubahan materi dalam revisi kedua UU ITE ini. Dalam keterangan pers di laman Kominfo.go.id, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate mengklaim, pemerintah telah memperhatikan upaya peningkatan penataan dan pengaturan informasi dan transaksi elektronik.

Plate mengatakan, ada tujuh materi perubahan yang diusulkan, di antaranya mengenai pasal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, ketentuan mengenai berita bohong atau informasi yang menyesatkan, pasal mengenai konten suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), pasal perundungan hingga pasal mengenai pemberatan hukuman karena mengakibatkan kerugian terhadap orang lain.

Baca juga:

Sejumlah kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Serius Revisi UU ITE menilai perlu revisi menyeluruh terhadap UU ini.

Pembela Kebebasan Asia Tenggara (SAFEnet), salah satu organisasi yang tergabung menilai, argumentasi dalam naskah akademik usulan pemerintah sudah usang dan berlebihan.

Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto usulan perubahan UU ITE dari pemerintah tidak berlandaskan pada perkembangan teknologi terkini.

"Nah karena permasalahan internet hari ini sebetulnya tidak hanya pada pasal-pasal dalam rancangan undang-undang. Kita punya banyak masalah ya dalam pasal 26 ayat 3, pasal 42b, pasal 43, pasal 5 misalnya tentang pengecualian. Maka sebetulnya perlu juga mempertimbangkan dalam revisi undang-undang memasukkan tentang tata kelola internet yang baik. Lalu bagaimana meminta tanggung jawab platform teknologi karena selama ini belum pernah diatur dalam undang-undang bagaimana moderasi konten yang selama ini hanya diatur dalam peraturan menteri. Itu sebaiknya juga diatur dalam undang-undang agar lebih kuat. Bahkan ini dapat dikatakan momen terbaik untuk melakukan revisi total undang-undang ITE," kata Damar saat RDP dengan Komisi I DPR, Senin (27/3/2023).

Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto merekomendasikan para pembuat kebijakan agar tidak mengatur kembali hal yang telah dilindungi di dalam hukum lokal dalam hal ini UU KUHP.

Selain itu, pembuat kebijakan hendaknya mendorong kemajuan hak-hak digital untuk memastikan peradaban dan demokrasi tidak berjalan mundur dan balik ke arah otoritarianisme.

Damar menambahkan, kompleksitas persoalan di dalam UU ITE dan ketidakadilan yang telah menjadi dampak yang tidak diinginkan, menjadi alasan agar pembahasan revisi kedua UU ITE ini dilakukan secara holistik. Tidak hanya dari aspek ketahanan nasional tetapi juga melihat dari aspek pemenuhan hak digital

LSM HAM Amnesty Internasional Indonesia menilai, untuk menghasilkan aturan yang berperspektif hak asasi manusia, revisi UU ITE perlu dilakukan oleh lintas komisi.

Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan, revisi UU ITE mesti melibatkan komisi lain seperti komisi hukum, komisi perempuan, konsumen serta komisi yang membahas isu HAM lainnya.

"Dampak UU ITE ini luas, tidak hanya melulu mengenai masalah pertahanan, keamanan, maupun tentang iklim transaksi ekonomi digital saja. Saya yakin sudah sangat familiar dengan kasus-kasus kriminalisasi menggunakan UU ITE dan bagaimana penyalahgunaan UU ITE berdampak sangat negatif bagi kaum-kaum rentan seperti perempuan. Kasus seperti Stella Monica, Baiq Nuril dan juga kita ingat pak dosen Saiful Mahdi. Bagaimana warga biasa yang ingin menyuarakan kebebasan berpendapat mereka malah justru mendapatkan ancaman kriminalisasi. Karena itu revisi kedua UU ITE sebaiknya tidak hanya dilakukan melalui komisi 1 saja, tapi juga dengan melibatkan komisi lain," kata Wirya saat RDP dengan Komisi I DPR, Senin (27/3/2023).

Koalisis Serius Revisi UU ITE mendorong revisi kedua UU ITE dilakukan dengan membuka ruang pembahasan yang partisipatif dan bermakna untuk menjamin pelibatan publik.

Editor: Agus Luqman

  • UU ITE
  • Dpr

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!