Article Image

NASIONAL

Potret Ketimpangan Akses Layanan Kesehatan Mental

Rabu 02 Feb 2022, 10.47 WIB

Puskesmas Sindang Barang salah satu faskes yang sudah menyediakan konslutasi psikolog di Kota Bogor. (Foto: Valda-KBR)

Pengantar:

Isu kesehatan mental makin populer di masa pandemi Covid-19. Hal ini menunjukkan generasi muda mulai peduli tentang urgensitas menjaga kesehatan jiwa. Namun, tak sampai 30 persen masyarakat yang pernah mengakses layanan kesehatan mental, berdasarkan survei Into The Light bersama Change 2021. Alasannya beragam, mulai dari biaya mahal, minimnya informasi hingga masalah reputasi layanan. Lantas seperti apa realita aksesibilitas layanan kesehatan jiwa terutama di daerah? Simak laporan khas KBR, yang disusun Valda Kustarini.

KBR, Jakarta- Berbicara tentang kondisi krisis , sebenarnya aku ga melakukan apa-apa karena ngerasa lumpuh banget, semua beban semua berat semua aku pikul dan aku susah untuk bergerak bahkan reach out ke orang lain,

Adi Palguna menggambarkan saat depresinya kambuh atau relapse. Ia bisa melakukan tindakan ekstrem seperti menyakiti diri sendiri. Berdasarkan kondisi ini Adi terdorong memeriksakan kondisi psikisnya saat mendapati tanda-tanda gangguan kesehatan mental pada 2016 silam.

“Gejala-gejala yang aku alami dulu kayak murung, sedih berkelanjutan, susah tidur, banyak pikiran yang negatif dan irasional. Aku sempat self harm juga,” kata Adi.

Warga Bali ini sampai dirujuk ke rumah sakit karena melakukan percobaan bunuh diri. Berdasarkan asesmen, Adi depresi akibat trauma perundungan yang dialaminya saat masih sekolah dulu.

Pria 24 tahun ini kemudian pulang ke Indonesia. Pada 2017, sembari melanjutkan kuliah Adi mencari cara memulihkan depresinya dengan mengakses fasilitas kesehatan jiwa di puskesmas di Jakarta.

“Aku belajar banyak soal kesehatan mental di internet, baca buku, nonton video. Di Jakarta aku kuliah, konseling di sana, aku belajar tentang kesehatan mental juga,” lanjutnya.

Baca juga: Lewat Seni, Berdayakan Penyandang Skizofrenia

Adi Palguna berharap biaya pengobatan orang dengan gangguan kesehatan mental makin terjangkau. (Foto: dokumentasi pribadi)

Adi hanya bertahan setahun dan memutuskan balik ke kampung halaman di Gianyar, Bali. Untuk menopang hidup, ia menjadi pekerja lepas sebagai fasilitator meditasi suara. Upaya pengobatan depresinya pun tetap berlanjut. Sayangnya, akses terhadap layanan kesehatan di sana tak semudah di Jakarta.

“Di sini psikolog klinis itu jarang banget. Aku tinggal di Gianyar, sedangkan kebanyakan psikolog klinis itu adanya di Denpasar. Jadi aku harus naik motor 30-40 menitan untuk dapat bantuan layanan kesehatan mental,” ungkap Adi.

Biaya pengobatannya juga terlampau mahal untuk kantong Adi dengan seratus ribuan per kunjungan. Terlebih, layanan kesehatan jiwa di rumah sakit belum terkover BPJS Kesehatan.

“Di sini di biro psikologi sekitar 300-400 ribu, jadi 3x sampai 4x lipat lebih mahal daripada psikolog klinis yang ada di rumah sakit daerah,” tururnya.

Kondisi ini memaksa Adi beralih ke layanan konsultasi daring, baik yang gratis maupun berbayar. Selama pandemi, ia menjalani dua paket konseling berbayar. Biaya per paketnya 550 ribu rupiah yang terdiri empat sesi.

“Walaupun agak mahal aku lebih milih Riliv sih. Karena jelas dan di akhir sesi psikolognya ngasih rangkuman sesi kita, jadi aku bisa baca balik apa yang aku pelajari,” pungkas Adi.

Baca juga: Pergumulan Penyintas Kusta Lawan Stigma dan Berdaya

Tangkapan layar situs riliv sebagai salah satu platofm konseling daring.

Rendahnya literasi masyarakat soal kesehatan mental juga menjadi catatan Psikolog Aully Grashinta. Isu ini masih dianggap tabu sehingga memunculkan stigma pada pasien gangguan jiwa. Namun belakangan, gerakan kepedulian mulai diinisiasi kalangan muda. Generasi milenial dan Z makin terbuka membincangkan pentingnya kesehatan mental.

Aully mengakui adanya ketimpangan akses terhadap layanan kesehatan mental. Di sisi lain, kondisi jauh dari ideal ini memunculkan solidaritas dan inovasi dari publik, lewat berbagai kanal konseling.

“Instagram itu sekarang menjadi banyak sekali layanan psikologi yang kemudian menyediakan konseling baik itu gratis maupun berbayar,” kata dosen di Fakultas Psikologi Universitas Pancasila ini.

Aully turut mendesak pemerintah memperbaiki layanan kesehatan jiwa, baik kuantitas maupun kualitasnya.

“Pemerintah seharusnya bisa menyediakan layanan kesehatan mental setara dengan kesehatan fisik. Akhirnya tuntutannya adalah perguruan tinggi juga harus lebih banyak mem-produce psikolog,” tutup Aully.

Baca juga: Kiprah Posyandu Khusus ODHA, Makin Relevan di Masa Pandemi

Psikolog Aully Grashinta menilai penting ada perbaikan kualitas dan kuantitas fasilitas kesehatan mental. (Foto: dokumentasi pribadi)

Penulis: Valda Kustarini

Editor: Ninik Yuniati