NASIONAL

Jadi Lahan Bisnis Oknum, UU Narkotika Diminta untuk Direvisi

Jadi Lahan Bisnis Oknum, UU Narkotika

KBR, Jakarta - Badan Narkotika Nasional (BNN) RI berhasil menyita lebih dari 115 ton ganja kering, menemukan puluhan hektar lahan ganja, hingga ribuan butir pil ekstasi dan sejenisnya, sepanjang tahun lalu.

Kepala BNN RI, Petrus Reinhard Golose menyampaikan jumlah sitaan tersebut saat rapat kerja di Komisi Bidang Hukum di DPR hari ini.

"BNN RI telah menyita barang bukti sebanyak 115,1 ton ganja dan 50,5 hektare lahan ganja, sabu sebanyak 3,13 ton dan ekstasi 191 ribu butir serta barang bukti berupa heroin, kokain, dan lainnya," ujar Kepala BNN RI, Petrus Reinhard Golose dalam Rapat Kerja di DPR RI, Kamis (20/1/2022).

Petrus menambahkan, Badan Narkotika Nasional juga berhasil mengungkap 85 jaringan narkotika, yang terdiri dari 24 jaringan sindikat internasional, dan 61 jaringan di dalam negeri.

Baca juga:

Napi Narkoba Dominasi Lapas, UU Narkotika Perlu Direvisi

Komnas HAM Desak Jokowi Beri Grasi Terpidana Mati Merri Utami

Petrus menyebut, total kasus yang berhasil diungkap BNN sebanyak 760 kasus, dengan tersangka lebih dari 1.100 orang.

BNN RI juga menyita barang bukti dan aset sejumlah lebih dari Rp108 miliar dari 16 tersangka tindak pidana pencucian uang.

Revisi UU Narkotika

Sementara itu, anggota Komisi bidang Hukum di DPR RI dari Fraksi PDIP, Johan Budi menilai, perlu adanya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Menurutnya, revisi dilakukan di beberapa pasal yang berpotensi menimbulkan multitafsir berkaitan dengan status seseorang yang terlibat Narkoba. Baik itu status pengguna, pengedar, maupun perantara.

"Saya dengar ini bisik-bisik jadi lahan untuk aparat memainkan, anda mau jadi pemakai pengguna atau masuk dalam daftar pengedar. Ini perlu dicermati Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 perlu segera direvisi, berkaitan dengan pasal-pasal 111, 112, 113, dan 127," ujar Johan Budi saat Rapat Kerja bersama BNN RI, Kamis (20/1/2022).

Bekas Juru Bicara KPK Periode 2006-2014 ini juga mengatakan, definisi pengguna, pengedar dan juga perantara ini menjadi perdebatan yang akhirnya menjadi beban yang paling besar.

Dia menyebut, perlu ada perbaikan dan penyempurnaan di dalam penjelasan dalam UU Narkotika yang dimaksud. "Ini yang kemudian bisa multitafsir, bahwa pengguna atau pemakai mungkin harus ada kriteria beberapa gram karena di Pasal 127 itu ada rehabilitasi dan juga hukuman penjara 4 tahun," tuturnya.

Desakan Revisi UU Narkotika

Sebelumnya, Lembaga Pemantau Hukum Indonesia atau Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) juga menyarankan pemerintah untuk segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang tentang Narkotika.

Manajer Program ICJR, Maidina Rahmawati ketika itu menilai, undang-undang narkotika telah gagal melihat perbedaan antara pengguna, pecandu dan pengedar Narkoba dalam menjatuhkan hukuman pidana.

Itu pula yang akhirnya menyebabkan 30.000 lebih pengguna Narkoba dikategorikan sebagai bandar Narkoba dan dijebloskan ke penjara.

Akibatnya, menurut Maidina, ledakan jumlah tahanan terjadi dan berdampak pada kelebihan kapasitas pada sebagian besar Lapas di Indonesia.

“Itu bisa dimungkinkan untuk diberikan mekanisme alternatif lain selain dengan pidana penjara bagi pengguna narkotika. Itu yang menjadi satu catatan yang mendasar hal yang paling jadi masalah yaitu reformasi kebijakan natrkotika. Nah, di satu sisi ini juga menjadi pr mendasar gitu, bahwa kebijakan peradilan pidana Indonesia, hukum pidana di Indonesia, masih sangat berorientasi pada pidana penjara, masih bergantung dengan penggunaan pidana penjara dan sifatnya cukup over,” kata Maidina saat dihubungi KBR, Rabu (8/9/2021).

Editor: Fadli Gaper

  • Narkoba
  • BNN RI
  • Narkotika

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!