HEADLINE

Jatah Saham Freeport, Luhut: Memo Saya Kepada Presiden tak Setuju Perpanjangan

"Luhut mempertimbangkan bakal melaporkan pihak yang menudingnya terlibat dalam kasus lobi PT Freeport "

Ninik Yuniati

Jatah Saham Freeport, Luhut: Memo Saya Kepada Presiden tak Setuju Perpanjangan
Menkopolhukam Luhut Pandjaitan (Foto: KBR/Aisyah K.)

KBR, Jakarta - Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Panjaitan membantah terlibat lobi saham freeport. Dalam konferensi pers Jumat petang di kantornya Luhut memaparkan sejumlah bukti tentang penolakannya terhadap perpanjangan kontrak Freeport sebelum tahun 2019.

Luhut mengaku memberikan pendapat tersebut beberapa kali melalui memo kepada Presiden Joko Widodo.

"Tanggal 8 (Juni 2015) rekaman, tanggal 17 (Juni 2015) saya masih membuat memo kepada presiden, tidak setuju perpanjangan itu, dan tanggal 2 Oktober (2015), masih lagi tidak setuju kepada perpanjangan itu kepada presiden," kata Luhut.  

Karena itu Luhut mempertimbangkan bakal melaporkan pihak yang menudingnya terlibat dalam kasus lobi PT Freeport dengan dugaan pencemaran nama baik. Luhut juga menantang siapapun untuk membuktikan tudingan keterlibatannya.

Bekas Kepala Staf Kepresidenan ini mengaku kesal lantaran perbincangan tentang kasus tersebut semakin memanas hingga mengganggu keluarganya. 

"Kalau ada yang menuduh saya, seolah-olah saya pernah berbicara dengan Setya Novanto atau Riza untuk mempengaruhi Presiden, untuk memperpanjang itu. Saya ingin orang yang bicara mengenai ini, tunjukan salah saya di mana? Karena saya terganggu, dengan dua anak saya yang masih tentara aktif, saya sendiri dan istri saya. Saya ingin berhadapan dengan orang-orang yang berbicara itu, dan kita selesaikan secara baik," kata Luhut.

Nama Menko Polhukam Luhut Pandjaitan puluhan kali disebut dalam rekaman perbincangan jatah saham Freeport. Karena itulah pekan depan Mahkamah Kehormatan Dewan akan memeriksa Luhut. Berikut kutipan transkrip rekaman yang sempat diperdengarkan dalam sidang MKD;

SN: Kalau gak salah itu Pak Luhut sudah bicara.

MR: Pak Luhut sudah bicara

SN: Pak Luhut bicara dengan Jim Bob. Pak Luhut udah ada unek-unek Pak

 MR: Pak, kalau gua, gua bakal ngomong ke Pak Luhut janganlah ambil 20%, ambillah 11% kasihlah Pak JK 9%. Harus adil, kalau enggak ribut.

 SN: Iya. Jadi kalau pembicaraannya Pak Luhut di San Diago, dengan Jim Bob, empat tahun lalu. Itu, dari 30 persen itu, dia memang di sini 10 %. 10 persen dibayar pakai deviden. Jadi dipinjemin tapi dibayar tunai pakai deviden. Caranya gitu, sehingga menggangu konstalasi ini. Begitu dengar adanya istana cawe-cawe, presiden nggak suka, Pak Luhut ganti dikerjain. Kan begitu. Sekarang kita tahu kuncinya. Kuncinya kan begitu begitu lhp hahahaha. Kita kan ingin beliau berhasil. Di sana juga senang kan gitu. Strateginya gitu lho.. Hahahaa

Kasus ini mencuat setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said  melaporkan Ketua DPR Setya Novanto yang diduga mencatut nama Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia. 

Pelaporan itu dibarengi dengan penyerahan tiga halaman transkrip rekaman pembicaraan antara petinggi DPR dengan PT Freeport Indonesia yang mencatut nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Selain mencatut nama Jokowi dan JK untuk menjanjikan kelanjutan kontrak PT Freeport dengan meminta saham 20 persen yang disebut untuk RI-1 dan RI-2.

Sudirman juga melampirkan adanya permintaan supaya PT Freeport berinvestasi di proyek pembangunan PLTA di Urumuka, Papua, dengan meminta saham  sebesar 49 persen.  Selain itu Sudirman juga mengirimkan rekaman perbincangan dengan durasi sekira 12an menit.


Editor: Rony Sitanggang        

  • papa minta saham
  • fee freeport
  • jatah saham freeport
  • Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan
  • Mohammad Riza Chalid
  • Ketua DPR Setya Novanto

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!