HEADLINE

Aktivis Lingkungan Tolak Klaim Jokowi di COP26

"Dalam Pertemuan Puncak Iklim (COP26) di Glasgow, Skotlandia, Jokowi mengklaim Indonesia telah berhasil menurunkan angka deforestasi dan kebakaran hutan."

Tolak Klaim Jokowi di COP26
Petugas patroli pencegahan Karhutla lakukan pemadaman kebakaran lahan gambut di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, pada (2/10/2019). (Foto: antaranews)

KBR, Jakarta - Pegiat lingkungan di Indonesia ramai-ramai mengkritik klaim-klaim Presiden Joko Widodo terkait penanganan perubahan iklim di Indonesia. Sebelumnya, dalam Pertemuan Puncak Iklim (COP26) di Glasgow, Skotlandia, Jokowi mengklaim Indonesia telah berhasil menurunkan angka deforestasi dan kebakaran hutan.

Pengkampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik merespon klaim tersebut. Menurutnya, pemerintahan Jokowi justru tidak bisa menangani masalah deforestasi dengan baik.

"Klaim-klaim Jokowi di soal deforestasi. Kita mencatat bahwa dalam 10 tahun terakhir itu sebenarnya deforestasi tetap tinggi. Dari 2011 sampai 2019, total deforestasi mencapai angka 4,8 juta. Lebih besar daripada 10 tahun sebelumnya di tahun 2003 sampai 2011 yaitu 2,45 juta. Artinya deforestasi di Indonesia itu juga tidak bisa ditangani dengan baik. Bahkan di dalam dokumen perencanaan yang low karbon sendiri di long term strategic LPCCR-nya (dicek lagi ya) Indonesia masih ada kemungkinan deforestasi terjadi sebesar 6 juta hektare. Dan ini yang kita harapkan diomongkan oleh Jokowi pada COP kemarin, tidak diomongkan. Bahwa Indonesia akan zero deforestation. Tapi Indonesia tetap akan ada melakukan peralihan lahan dari lahan hutan primer dibuka menjadi perkebunan bahkan pertambangkan," kata dia dalam konferensi pers, Selasa (2/11/2021).

Iqbal juga mengkritik klaim Jokowi yang menyebut kebakaran hutan menurun. Klaim itu dinilainya tak lebih dari omong kosong belaka.

"Nah agak lucu kemudian ketika Jokowi juga mengklaim bahwa tahun 2020-2021 terjadi klaim bahwa penurunan angka kebakaran hutan 82 persen. Nah ini adalah satu picking dari data yang tidak lengkap. Jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada 2015-2016, penurunan karhutla juga terjadi 83 persen, 1 persen lebih baik daripada 2021. Artinya pada tahun 2015 angka deforestasi juga tinggi. Bahkan kalau kita bandingkan lagi angka kebakaran hutan pada tahun 2020 yang mencapai hampir 300 ribu hektare, pada tahun 2017 kita pernah menekan angka deforestasi sekitar 170-an ribuan hektare. Artinya apa? Di sini sebenarnya intervensi kebijakan terhadap kebakaran hutan itu tidak optimal. Tapi betul-betul deforestasi turun pada saat musim basah atau el nina tidak terjadi di Indonesia. Atau bisa kita katakan bahwa Indonesia tidak melakukan apa-apa terhadap penjajahan hutan. Bahkan kalau kita tahu di tahun 2021 ini, ada beberapa perusahaan yang sebelumnya terbakar di 2015, 2019, terbakar lagi tahun 2021. Di beberapa titik misalnya kita dapat lihat di Sumatra Selatan, Kalimantan Barat. Artinya kebakaran hutan tidak bisa diklaim oleh Jokowi sebagai keberhasilan. Boleh dikatakan bahwa klaim-klaim Jokowi seluruhnya adalah omong kosong kayak gitu ya."

Sementara itu, perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Monica, menyebut klaim menurunnya deforestasi dan kebakaran hutan berbanding terbalik dengan apa yang terjadi wilayah adat.

Ia mencontohkan, masyarakat adat Kinipan di Kalimantan Tengah yang memiliki hutan adat luas, justru ditebang habis oleh perusahaan sawit.

Baca juga:

Jokowi: Tak Ada Kompromi Bagi Pembakar Hutan

Bertolak ke Luar Negeri, Ini Agenda Jokowi di Tiga Negara

Dalam kesempatan sama, Manajer Kampanye Perubahan Iklim Walhi Yuyun Harmono mempertanyakan komitmen Jokowi dalam transisi menuju energi terbarukan.

"Yang menjadi concern kami pertama adalah dalam konteks transisi menuju energi terbarukan ya dari energi fosil, itu juga tidak dijelaskan kapan Indonesia akan meninggalkan energi kotor, terutama batubara dan mempensiunkan PLTU-nya. Karena kalau kita lihat di dokumen RUPTL PLN yang diklaim sebagai RUPTL hijau, sampai 2030 itu masih akan dibangun sekitar 13,3 giga watt sumber energi yang berasal dari batu-bata. Salah satunya adalah yang akan dibangun di Jambi yang saat ini digugat Walhi Jambi, PLTU Mulut Tambang 1. Ini salah satu upaya untuk menghentikan supaya proyek-proyek pembangunan listrik berbasis batu-bara yang sudah terlanjur disetujui, ini untuk tidak dibangun. Ini bagian dari peran masyarakat sipil."

Yuyun menuding pemerintahan Jokowi tidak memperhatikan hak-hak korban bencana akibat krisis iklim yang terjadi di Indonesia.

"Termasuk juga right of victim gitu lho. Victims atas nama perubahan iklim kan sudah ada. Korban siklon tropis seroja di NTT dan NTB misalnya, yang sekarang juga Direktur Walhi NTT bersama dengan Gofar juga hadir di sana, itu untuk memperjuangkan satu hal. Bahwa krisis iklim sudah terjadi, korbannya sudah ada, bagaimana mengakui hak korban ini. Siapa yang membayar atas kerugian yang tidak bisa dipulihkan dan kerusakan yang dipulihkan akibat krisis iklim ini. Jadi kalau Jokowi tidak punya stand kuat terhadap ini, saya kira dia tidak melihat realitas di dalam negeri bahwa krisis iklim itu sudah terjadi. Menawarkan jualan hutan tapi kemudian tidak melihat krisis iklim itu benar-benar sudah terjadi di Indonesia. Jadi semuanya kemudian dianggap bahwa, oke kita punya hutan banyak, terus kemudian kita jual itu dalam konteks dagang karbon, kita dorong semua negara maupun korporasi dan juga sektor swasta yang lain untuk berkontribusi, tetapi kemudian kita tidak melihat bahwa ada korban yang sudah ada akibat perubahan iklim, akibat krisis iklim, dan hak mereka harusnya diakui," urainya.

Editor: Fadli Gaper

  • COP26
  • Aktivis Lingkungan
  • Deforestasi
  • Karhutla

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!