HEADLINE

Ini Penyebab Komnas HAM Desak Kejati Cabut Aplikasi Smart Pakem

""Aplikasi ini Justru akan meningkatkan potensi kecurigaan, perpecahan di antara kelompok masyarakat, karena akan saling curiga""

 Ini Penyebab Komnas HAM Desak  Kejati Cabut Aplikasi Smart Pakem
Ilustrasi.

KBR, Jakarta - Komnas HAM  mendesak aplikasi Smart Pakem (Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat) ditutup. Aplikasi ini, diluncurkan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Kamis lalu.

Komisioner Komnas HAM Chairul Anam menilai, Kejaksaan Tinggi DKI justru berpotensi menyuburkan persekusi yang berujung pada kriminalisasi.

"Apapun kategorinya, semangat dari aplikasi ini adalah potensial melakukan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, satu. Yang kedua adalah kegaduhan masyarakat akan semakin banyak dan besar. Aplikasi ini tidak perlu. Kedua kewenangan kejaksaan yang memang mengelola Pakem itu juga tidak perlu, fungsi Pakem di undang-undang itu sebenarnya tidak perlu. Negara ngurusin agama itu apa manfaatnya?” Kata Anam kepada KBR, Senin (26/11/2018).

 

Anam mengatakan, negara sebaiknya tidak mengurusi keyakinan agama dan kepercayaan. Menurutnya, konflik sebaiknya diselesaikan secara dialogis oleh komunitas agama, misalya lewat Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

 

Anam menunggu langkah pemerintah, dalam hal ini Presiden dan Jaksa Agung untuk menanggapi masalah aplikasi ini. Karena menurutnya, Presiden dan Jaksa Agung bertanggungjawab untuk membuat bangsa ini menjadi bangsa yang toleran, dan bermartabat sesuai dengan hak asasi manusia.

Desakan juga datang dari Anggota Komisi VIII DPR Marwan Dasopang yang  mengkritik aplikasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat atau disingkat Pakem yang dibuat oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Aplikasi dengan sebutan Smart Pakem itu menurutnya justru bakal memicu konflik di tengah masyarakat.

Selain memicu konflik, Anggota komisi DPR yang membidangi agama dan sosial tersebut waswas, aplikasi yang beri ruang pelaporan aliran kepercayaan yang dianggap sesat itu bahkan mendatangkan persekusi.

Sebab menurut Marwan, tidak ada paramater jelas sehingga orang bisa saja melaporkan kelompok atau individu secara serampangan.

"Sudahlah, itu urusan pemerintah saja tidak usah melibatkan masyarakat. Kalau ada aplikasi pelaporan, justru nanti bisa disalahmanfaatkan," kata Marwan di Gedung DPR, Jakarta, Senin (26/11/2018).

"Orang akan melaporkan siapa, dengan kapasitas apa dia melaporkan itu? Itu membuat lebih berbenturan masyarakat. Kan kita punya intelijen, ada aparatur yang mengawasi itu," sambung anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PKB tersebut.

 Baca juga: 

    <li><b><a href="https://kbr.id/nasional/12-2017/demi_e_ktp__kemendikbud_minta_organisasi_penganut_kepercayaan_segera_daftarkan_diri/94079.html">Kemendikbud Minta Organisasi Kepercayaan Segera Mendaftarkan Diri</a><br>
    
    <li><b><a href="https://kbr.id/tag/syiah-sampang">Nasib Pengikut Syiah</a> </b></li></ul>
    

    Ia pun menyarankan pengawasan terhadap aliran kepercayaan cukup dilakukan pemerintah. "Pemerintah kalau ada indikasi seseorang menyebarkan aliran sesat atau paham radikalisme, ya sudah proses saja. Kalau sudah diproses secara hukum, tidak bersalah ya dilepas, kalo bersalah ya dihukum," kata dia. 

    Peluncuran aplikasi Smart Pakem oleh Kejati DKI Jakarta membuka kemungkinan bagi warga untuk melaporkan ormas atau aliran kepercayaan yang dianggap menyimpang. Marwan khawatir, laporan yang masuk aplikasi tersebut akan sulit diverifikasi dan justru menimbulkan kegaduhan baru.

    "Kalau pakai aplikasi bisa berkreasi membuat laporan-laporan lewat media sosial yang seolah-olah itu kebenaran. Berbahaya menurut saya."

    Kritik juga disampaikan YLBHI dan LBH Jakarta. Organisasi pendampingan hukum tersebut menilai Smart Pakem malah akan memantik peningkatan konflik dan persekusi ke kelompok yang dituduh sesat. 

    Pada peluncuran  Kamis pekan lalu, Asisten Bidang Intelijen Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Yulianto mengklaim, aplikasi ini bertujuan untuk efisiensi proses pelaporan. Ia menyebut, laporan masyarakat akan lebih cepat diproses dan ditindaklanjuti.

     

    “Nah tadi kita buat di aplikasi tersebut apabila pengaduan masyarakat dia bisa langsung. Kita bisa tindak lanjutin tuh umpama masyarakat di daerah sini ada kegiatan yang mencurigakan nah kita bisa turun. Karena pengaduan itu begitu masuk ke kita itu langsung kita bisa tindak lanjuti langsung. Kalau dulu kan masih melalui surat ribet kan tapi dengan aplikasi seperti ini dia bisa tahu. Bahkan yang  melaporkan kita tahu titiknya dimana,” kata Yulianto


    Yulianto menambahkan, proses pengumpulan data yang diunggah dalam aplikasi tersebut melibatkan berbagai sumber, diantaranya dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) , Kementerian Agama, Badan Intelijen Daerah, dan kepolisian. Ia mengklaim data tersebut dikumpulkan setiap dua atau tiga bulan sekali sebelum diunggah dalam aplikasi.


    Pemerintah Pusat akan mencoba berkoordinasi atas terbitnya aplikasi Smart Pakem kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta karena adanya konten yang ada di aplikasi yang berdampak pada pelanggaran terhadap kepada hak-hak warga negara. Staf Ahli Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP), Ifdhal Kasim menjelaskan bahwa suatu aplikasi atau kebijakan administratif tidak boleh mendahului keputusan pengadilan, karena sifat aplikasi seperti formulir untuk memudahkan pelayanan publik tidak boleh bermuatan yang membatasi warga negara.


    "Kita dari pemerintah akan mendiskusikan soal ini, apakah aplikasi seperti ini memang compatible dengan perlindungan hak-hak warga negara dan tidak boleh satu dalam hukum administarasi tidak boleh mendahului keputusan pengadilan," kata  Staf Ahli Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP), Ifdhal Kasim saat dihubungi KBR, Senin (26/11/2018). 

    Ifdhal mengatakan di dalam Undang-undang, Kejaksaan diberikan kewenangan untuk menjaga ketertiban umum dengan mengawasi dan mengontrol tentang aliran-aliran kepercayaan yang berkembang di masyarakat.

    Tetapi maksud dari Kejaksaan untuk melakukan perubahan dalam pelayanan publik dengan menggunakan teknologi, menjadi kritik dari masyarakat terkait dengan adanya konten aplikasi yang memiliki masalah dari sudut perlindungan hak-hak warga negara.


    "Itu terbuka untuk direvisi jadi kalau memang aplikasi, justru mendahului tindakan judicial kan tidak boleh prinsip dari suatu aplikasi atau kebijakan administratif itu tidak boleh mendahului keputusan pengadilan," ujarnya.


    Salah satu kelompok yang namanya muncul dalam aplikasi itu adalah Ahmadiyah. Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menyayangkan peluncuran aplikasi Smart Pakem yang diresmikan oleh Kejaksaan Tinggi Jakarta. Adanya aplikasi tersebut berpotensi kecurigaan, dan perpecahan antarkelompok masyarakat. Ahmadiyah mempertanyakan tujuan dari merilis aplikasi di tengah situasi masyarakat yang sedang terbelah karena tahun politik.


    Juru Bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) , Yendra Budiana mengatakan seharusnya Kejaksaan dapat memberikan solusi untuk memperbanyak dialog diantara kelompok masyarakat, sehingga bibit kecurigaan yang semakin hari, semakin hilang.


    "Sedangkan aplikasi ini Justru akan meningkatkan potensi kecurigaan, perpecahan di antara kelompok masyarakat, karena akan saling curiga kemudian saling memberikan definisi, kan akan sangat sulit kalau berbicara satu kelompok itu sesat," kata Juru Bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI),Yendra Budiana saat dihubungi KBR, Senin, (26/11/2018). 


    Lebih lanjut, Yendra menjelaskan jika negara kemudian mulai masuk dan membuat legitimasi sesat, atau tidak sesat kepada sebuah kelompok masyarakat keagamaan atau kepercayaan, maka negara dianggap sudah memosisikan sebagai  Tuhan.


    "Yang terpenting menurut saya, kalau soal masalah aliran kepercayaannya seperti apa, yang terpenting adalah, apakah tindakan dari sebuah komunitas kepercayaan agama apapun itu, kalau tindakannya melanggar hukum, itu yang menurut saya harus ditindak secara tegas dan adil," terangnya.


    Yendra menegaskan bahwa terlepas soal klaim, sesat atau tidak sesat. Pemerintah tidak bisa mengadili keyakinan masyakarat, terkecuali jika kelompok masyarakat tersebut  menimbulkan sebuah hal yang melanggar hukum. Pemerintah seharusnya  memberikan solusi untuk kemudian mengurangi potensi konflik.


    "Justru hal-hal seperti ini akan semakin menambah keteganggan diantara kelompok masyarkat sebagai memicu konflik," tuturnya.

     

    Baca juga: Dua Abad Baha'i 



    Editor: Rony Sitanggang

  • Penghayat
  • DPR
  • Aliran Kepercayaan
  • Toleransi
  • Kejaksaan Tinggi
  • smart pakem
  • Kejati DKI Jakarta

Komentar (1)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • Aswin5 years ago

    Sepertinya pihak2 yang protes keras justeru adalah pihak2 yang inherently provocative. Keberadaan Ahmadiyah, JIL yg bertentangan dgn agama Islam lah yang menimbulkan friksi dan sering membuat gaduh. Saat pemerintah mengkotak2kan ulama yg membuat keresahan di masyarakat, bukankah pihak2 ini diam anteng tidak memprotes. Ini pastinya protes awal. Nanti kalau ada aplikasi pengendali LGBT pasti mereka protes lagi. Apapun yg mengurangi semangat hedonisme pasti diprotes. Jadi argumen mereka yg mengkritik aplikasi kontrol ini sangat lemah. Kalau ada kekurangan, ya diperbaiki, bukan berteriak2 kebakaran kumis. Moga Indonesia dilindungi pihak2 provokator hedonis yg anti pengendalian demi keteraturan bernegara. Only my 2 cents.