HEADLINE

Pengadilan Rakyat Internasional 1965, Ibu Rahayu: Saya Disiksa, Dipukuli, Ditelanjangi

"Saya rakyat kecil, perempuan desa, saya tidak berdaya"

Damar Fery Ardiyan

Pengadilan Rakyat Internasional 1965, Ibu Rahayu: Saya Disiksa, Dipukuli, Ditelanjangi
Hari kedua, Rabu (11/11/15) pengadilan rakyat internasional tragedi 1965 di Den Haag, Belanda (Sumber: Streaming IPT 65)

Mulai kemarin hingga Jumat ini di Den Haag, Belanda berlangsung pengadilan rakyat internasional tragedi 1965. Dari mulai korban, saksi, peneliti hingga ahli sejarah didengar keterangannya di pengadilan.

Berikut kesaksian Ibu Tintin Rahayu (bukan nama sebenarnya), korban peristiwa 1965.


Apa yang saat itu Anda alami?


Pada 1965, saya mengalami peristiwa luar biasa, mencekam, menakutkan.


Penangkapan ini tidak hanya terjadi pada diri saya. Dua bulan sebelumnya, didahuli ayah saya. Penangkapan itu diistilahkan pengamanan. Saya bertanya? pengamanannya seperti apa hingga ayah saya tidak ada berita sama sekali. Saya bertanya, apa maksudnya aman? Saya mau dibawa ke mana? mereka jawab ini perintah atasan dan tidak boleh melawan.


Saya rakyat kecil, perempuan desa, saya tidak berdaya. Saya tinggal membawa pakaian saya, sarung dan surjan ayah saya. Ini obat kerinduan saya.


Saya di bawa ke Kodim Sleman. Ternyata, Kodim itu sudah penuh dan saya dinaikkan ke truk lagi menuju suatu kamp Cebongan. Di situ adalah bekas markas tentara yang karena peristiwa 65 markas itu berubah menjadi penjara.


Saya di tempat itu, laki-laki, bayi. Ibu-ibu yang dituduh Gerwani masuk ke situ dengan segenap anak dan bayinya. Karena bapaknya diambil, anak tidak bisa ikut yang lain, harus dibawa. Setelah itu kami berusaha mencari informasi kalau ayah saya berada di situ. Saya sering minta minum ke dapur sampai bertanya. Tetapi saya tidak pernah melihat dia.


Di situ tiap hari ada pemeriksaan. lelaki disika, mereka mengaduh, menjerit. Sedang perempuan dalam pemeriksaan itu ditanya mana cap Gerwani. Saya jawab bukan Gerwani. Diperiksa berputar-putar. Setelah mereka yakin bukan Gerwani. Mereka mulai tanyai, di antaranya apakah kamu pernah pergi ke Lubang Buaya. Ya saya tanya Lubang Buaya itu apa, di mana? Ini saya orang Yogyakarta.

Akhirnya dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Lalu ditanya siapa keluargamu yang terlibat G30S. Saya jawab, ayah-ibu petani, tidak terlibat PKI. Ayah-ibu hanya tahu kesenian desa. Di rumahku sering ada kegiatan menari wayang orang. Sering diundang ke kraton Yogyakarta, sehingga desaku sangat maju keseniannya. Rumahku sering digunakan latihan wayang orang, ada gamelan. Sayang gamelan itu disita oleh tentara-tentara itu karena dianggap gamelan milik partai dan hampir saja rumahku disita karena dianggap pemberian partai.

Saya tidak mengerti sekali dengan cara berpikir mereka pada waktu itu. Setelah pemeriksaan selesai, akhirnya saya tanda-tangan bahwa saya hanya anggota IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia, red). Saya diperiksa sekali. Saya dibebaskan pada April 1966. Jadi saya berada di Cebongan selama 4 bulan.


Apa pernah ditangkap lagi?

Pernah. Setelah itu saya berhasil menjadi guru untuk menghidupi keluarga. Tetapi tanpa diduga, pada suatu malam, saya belum tidur lama setelah menyiapkan materi pelajaran. Rumah saya pintunya berbunyi. Saya buka pintu. Alangkah terkejut, saya melihat enam orang menodongkan senjata, dua orang tanpa senjata. Saya sangat takut. Mereka menanyakan nama seseorang. Tetapi mereka tidak percaya, hingga menggeledah rumah saya. Setelah ditemukan surat pembebasan saya dari Cebongan. Mereka marah sekali. Mereka anggap saya PKI, kemudian saya ditempeleng. Saya bilang, saya tidak ada waktu buat itu. 

Akhirnya saya diseret, dipukul dengan sepeda sampai saya merasa gelap, saya tidak ingat apa-apa. Tahu-tahu saya sudah ada di kantor CPM (Corps Polisi Militer, red). Di situ saya diketemukan dengan seorang lelaki, lalu saya ditanya kenal dengan ini tidak. Saya bilang tidak. Karena hari itu sudah pagi, kami diborgol bersama dan dimasukan ke sebuah sel dalam keadaan parah. Pukulan, dibakar dengan rokok dan api.

Saya merenungi, mengapa saya dapat perlakukan seperti ini. Setelah tiga hari, saya di keluarkan di bawa ke kantor. Kembali pertanyaan yang sama, kamu kenal lelaki ini tidak. Saya tidak punya jawaban yang lain. Saya tidak kenal pak, tidak kenal. Lalu saya disuruh pilih, kamu mengaku terkait gerilya politik atau saya ditelanjangi. Akhirnya kami ditelanjangi, disaksikan mereka. Lalu laki-laki itu juga ditanya, seperti saat kami bertemu. Akhirnya kami disuruh memilih, kamu pilih, kamu pilih mengaku kenal dan melakukan gerakan gerilya politik atau kamu saya telanjangi. tetapi toh akhirnya kami ditelanjangi. Dalam keadaan saling telanjang disaksikan mereka yang ada di situ. Kami ditanya, tanyakan lagi, kalian memilih, saya posisikan duduk berpangkuan atau mengaku kalau kalian melakukan gerilya politik. Saya hanya bisa menangis, karena jawaban saya tidak pernah mereka dengarkan. (jeda)  

Kembali kami dipukuli. Saya hanya bisa berdoa. Akhirnya saya tidak duga sama sekali, badan saya diangkat, di posisikan berpangkuan (terdengar suara memukul meja/kursi kayu--menangis,red)

Tangan saya diborgol dan sudah berada di sel tahanan. Setelah itu, saya sakit. Tidak ada nafsu makan sama sekali. Karena sakit saya tidak sembuh, saya dipindahkan ke Penjara  Wirogunan dengan badan penuh luka. Saya dirawat ibu-ibu yang ada di situ. Saya ditanya tetapi saya tidak bisa bicara, karena saya malu. Akhirnya mereka menasehati, agar saya makan dan minum. Membuatkan baju saya dari kantong terigu. Bahkan mereka menyuapi saya.


Setelah saya agak sehat, saya dipanggil kembali. Ditanya kembali. Kamu kenal dengan ini tidak. Saya semakin heran, pertanyaan mereka sama. Saya sering diperiksa. Ditendang kepala saya, saya ditelanjangi. Dalam keadaan telanjang itu, saya dipegangi oleh dua orang.


Setelah selesai, saya ditanya lagi tentang hal yang sama. Saya tidak bisa menjawab. Lalu saya ditengkurapkan, diinjak dan rambut saya digunduli. Entah bagaimana, saya tidak ingat lagi, gelap, gelap. Sesudahnya saya tidak mau bicara, tidak mau makan lagi. Saya merasa hidup saya sudah berakhir. Sampai delapan bulan saya mengalami hidup stres, delapan bulan saya tidak menstruasi. Menurut dokter, saya harus tenang biar mens. Tetapi mau tenang bagaimana, hidup sudah tidak ada apa-apanya lagi bagi saya. Tetapi dokter bilang, mbak harus berdoa, kuat, berserah.


Apa ibu tau siapa yang menangkap?

Yang menangkap adalah CPM (Corps Polisi Militer, red) dan tentara. Yang paling kejam, boleh saya sebut namanya? Lukman Soetrisno.


Apakah selama ditahan pernah melihat atau mendengar tahanan perempuan diperlakukan serupa?


Banyak dirasakan teman-teman saya dari Klaten, masih muda, seusia SMP-SMA. Mereka cuma bilang PKI harus dihancurkan. Saya semakin tidak mengerti.


Yang mengalami penyiksaan seperti ibu berapa jumlahnya?

10-11 orang, anak muda.

Jadi ibu ditahan di mana saja?

Di Wirogunan Yogyakarta, dipindahkan ke tahanan perempuan. Lalu dipindahkan ke Plantungan yang katanya dipersiapkan untuk kembali ke masyarakat. Tetapi di sana bentuk penderitaannya lain.


Seperti apa?

Kami didatangkan ke sebuah lembah, pembuangan lepra pada zaman Belanda. Tetapi karena pasien lepra sudah bersosialisasi, sembuh sehingga daerah itu kosong, semak belukar. Waktu kami dibawa ke situ, gedungnya dibuat dari papan tetapi belum ada penerangan, gelap. Tidak jarang dari kami digigit kalajengking, ular. Pertama kali yang kami hadapi adalah kerja paksa. Mengubah semak belukar menjadi lahan pertanian, kolam perikanan dengan tangan kosong, tangan telanjang.


Jadi total ditahan berapa lama?

Selama 11 tahun


Apakah sampai sekarang masih merasakan sakit?


Tubuh-tubuh tertentu masih sakit. Yang dipukuli pakai sepeda, dampaknya pendengaran saya berkurang hanya satu yang berfungsi. Saya juga menderita penyakit darah tinggi.   

  • pengadilan rakyat internasional 1965
  • international peolples tribunal 1965
  • kesaksian korban 1965
  • kingkin rahayu
  • Toleransi

Komentar (1)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • SURYADI8 years ago

    IPT 1965 yang digelar di Denhag Belanda merupakan wujud ketidakpercayaan masyarakat atas sikap pemerintah yang tidak berani mengungkapkan kebenaran atas pembantaian orang2 PKI. Semoga mereka yang sedang bersaksi di Denhag tetap dilindungi sampai mereka kembali ke Indonesia. jangan sampai mereka yang sudah bersaksi diciduk oleh oknum-oknum yang sekarang menahan geram telah dipermalukan.