HEADLINE

Nursyahbani: Hasil Sidang IPT Bisa Tambah Data Komnas HAM

"Harus ada kejelasan kasus itu dari pemerintah."

Eli Kamilah

Nursyahbani: Hasil Sidang IPT Bisa Tambah Data Komnas HAM
Suasana sidang pengadilan rakyat kasus 1965 di Den Haag Belanda.

KBR, Jakarta- Kesimpulan penuh dari Persidangan Rakyat Internasional IPT 1965 di Den Haag Belanda bisa digunakan Komnas HAM untuk menambah data-data kasus tersebut untuk diserahkan kepada Kejaksaan Agung. Menurut Ketua Panitia IPT, Nursyahbani Katjasungkana, Kejagung harus memberikan kepastian kepada para korban 1965. Jika kasus itu dihentikan Kejagung wajib memberikan alasan-alasan penghentian tersebut.

"Kepada pihak-pihak yang berwenang untuk menyeleseikan masalah ini, kepada Kejagung untuk menindaklanjuti apa yang sudah diberikan Komnas HAM. Dan itu ada di UU wajib dilaksanakan, kalau ngga ya harus ada kepastian, misalnya kalau dihentikan harus dengan alasan-alasan. Jadi kita tidak dibiarkan," ujarnya kepada KBR, Sabtu (14/11).

Kemarin, Majelis hakim pengadilan rakyat internasional 1965 menyimpulkan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia serius di Indonesia setelah peristiwa 30 September 1965. Pada waktu itu, terjadi pembunuhan para jenderal yang kemudian dibuang di Lubang Buaya. Majelis juga menyatakan pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan kemanusiaan.


Hakim juga yakin semua ini dilakukan dengan tujuan politik, untuk menyingkirkan PKI, simpatiannya, juga sejumlah besar orang termasuk pendukung Soekarno, serikat buruh, dan para guru. Hakim Ketua Zak Yacoob menyatakan semua materi yang disampaikan ke hakim membuktikan terjadinya kejahatan terhadap kemanusian yang luar biasa.

Editor: Dimas Rizky

  • hukum
  • international peolples tribunal 1965
  • Peristiwa 1965
  • sidang
  • berita
  • den haag belanda
  • Toleransi
  • DKI Jakarta
  • petatoleransi_06DKI Jakarta_biru

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!