HEADLINE

IPT 1965, Ibu Intan: Setiap Malam Rumah Dikepung Pemuda Anshor

"Bahwa setiap kesalahan itu harus ada peradilan, sebab tanpa peradilan kita tidak bisa memvonis seseorang dengan cara menghilangkan nyawa orang"

Damar Fery Ardiyan

IPT 1965, Ibu Intan: Setiap Malam Rumah Dikepung Pemuda Anshor
Ilustrasi: Anggota Komnas HAM, Dianto Bachriadi memberikan kesaksian dalam pengadilan rakyat internasional di Den Haag, Belanda (12/11/15)

Mulai kemarin hingga Jumat ini di Den Haag, Belanda berlangsung pengadilan rakyat internasional tragedi 1965. Dari mulai korban, saksi, peneliti hingga ahli sejarah didengar keterangannya di pengadilan.

Berikut kesaksian Ibu Intan bagian kedua, keluarga korban peristiwa 1965.  

Apakah punya informasi sebelum mereka hilang?


Sesungguhnya mencari informasi, mereka tidak berani mengatakan. Pada saat itu ada gerakan tutup mulut. Siapa bicara, dia menjadi korban.


Berarti memang tidak ada informasi terakhir yang ibu dapatkan. Tetapi apakah ibu mengetahui sebelumnya keluarga pernah ditahan sebelumnya?


Hanya saat terjadi G30S ditahan itu hanya sementara tidak sampai tahun, hanya itungan bulan.

Bisa sampaikan apa yang ibu alami pasca hilang keluarga?


Kadang-kadang ada sindiran yang datang. Bahwa inilah mereka pengacau, penghancur, ada diskriminasi pekerjaan. Tidak boleh menjadi PNS. Kalau ada pangkat yang harus ditingkatkan pun itu di-cut.


Sebelum ditutup ada yang ibu sampaikan?

Saat kejadian itu juga setiap malam rumah kami dikepung, dijaga, tidak dijaga tetapi dikepung. Mungkin mencari tahu barangkali apakah masih ada sisa-sisa orang yang terlibat, mereka yaitu pemuda Anshor. Saat itu cukup lama. Sampai dengan, tadi saya sampaikan, pada 1975 adik saya dibawa tanpa sepengetahuan keluarga. Dan saya tambahkan, mengenai kejadian ini, papa saya saat itu bendera Merah Putih dipotong dari lehernya tetapi tidak putus, hanya ada bekas. Saya kira itu membuat perjuangan orangtua saya menjadi sia-sia.


Saya berani mengatakan, pada saat itu mengapa saya berani blak-blakan ke Kodim karena saya sudah berusia 30 tahun, jadi saya sangat paham mengenai apa yang terjadi. Saya tidak bicara tentang politik, tetapi saya bicara tentang kemanusiaan, sejauh mana kemanusiaan itu. Bertindak sebagai manusia yang punya nilai.


Hari ini saya sungguh merasakan sebuah kesedihan terulang lagi dan saya berani menghadapi Kodim saat itu, tentu orang bertanya-tanya. Kok berani sekali? Bahwa setiap kesalahan itu harus ada peradilan, sebab tanpa peradilan kita tidak bisa memvonis seseorang dengan cara menghilangkan nyawa orang. Itu yang menjadi harapan kami, sehingga kami bisa menceritakan untuk didengarkan, bahwa itu sungguh-sungguh sangat tidak manusiawi. 


Editor: Rony Sitanggang

  • pengadilan rakyat internasional 1965
  • International People's Tribunal
  • kesaksian ibu intan
  • Toleransi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!