HEADLINE

2015-11-12T18:57:00.000Z

IPT 1965, Ibu Intan: Setelah Ditangkap, Disiksa, Papa, Kakak dan 5 Anggota Keluarga Saya H

"Manusia boleh mati tetapi tidak boleh mati seperti seekor binatang. Tetapi di mana mereka ditahan? di mana dikubur?"

IPT 1965, Ibu Intan: Setelah Ditangkap, Disiksa, Papa, Kakak dan 5 Anggota Keluarga Saya H
Hari Ketiga (Kamis, 12/11/2015) pengadilan rakyat internasional tragedi 1965 (Sumber: Live Streaming IPT 1965)

Mulai kemarin hingga Jumat ini di Den Haag, Belanda berlangsung pengadilan rakyat internasional tragedi 1965. Dari mulai korban, saksi, peneliti hingga ahli sejarah didengar keterangannya di pengadilan.

Berikut kesaksian Ibu Intan, keluarga korban peristiwa 1965. 

Bagaimana kehidupan keluarga ibu yang ditangkap kemudian hilang?

Pada 1963, bapak saya sebagai kepala keuangan diberhentikan dengan hormat dengan pensiunan. Setelah satu tahun kemudian sakit. Beliau ini seorang petani dari kecil. Setelah diperiksa oleh dokter harus dirujuk ke Surabaya.


Pada tanggal 5 Juli 1965, beliau berangkat ke Surabaya untuk perawatan. Setelah diperiksa di sana, karena sendiri, beliau meminta izin kembali untuk menjemput mama saya untuk menemani.

Pada 27 September 1965, beliau menumpang kapal laut dan tiba pada 2 Oktober. Saat itu terjadi kejadian begitu hebohnya. Waktu itu saya sedang berbelanja, karena saya tinggal di lembah. Ketika mau sampai ke pasar, sepi. Tetangga bertanya mau ke mana kamu? Tidak tahu ada tragedi G30S. Saya bertanya dan bertanya dan mereka menerangkan. 

Lalu mereka mengatakan, kakak kamu sudah diangkat. Kesalahannya apa? Dia sudah dipukuli habis-habisan dan berada di rumah sakit. Tetapi di RS tak ada. Katanya dijemput Polisi, lalu saya menyusul ke kantor polisi untuk membawa makan karena sudah sore. Mereka mengatakan tidak bisa bertemu karena perintah atasan katanya. Atasannya siapa? Kodim. Saya lalu menghadap Kodim. Kodim bilang ibu ini terlalu bandel hendak cari-cari. Saya hanya bertanya kakak saya ditangkap tanpa tahu apa kesalahannya.

Pada 2 Oktober papa saya tiba, ternyata dijemput polisi atas perintah Kodim. Lalu saya mencari tahu, saya sempat bertemu. Saya bertanya mengapa? Papa saya bilang tidak tahu. Polisi juga tidak tahu. Saya bertanya kepada Kodim. Karena saya sudah hancur, sekarang papa saya.


Satu minggu kemudian mama saya ditahan dengan catatan bahwa papa saya anggota PKI di mana terjadi G30S. Mamah saya ditahan tahanan rumah. Satu minggu kemudian papah saya tidak ada lagi sudah ada di penjara Kupang. Saya terus mencari, tetapi di Kupang tidak ada. Lalu papa saya di mana? Saya bertanya lagi mengapa mama saya ditahan di rumah, Kodim bilang ibu ini terlalu rewel. saya terus mencari di saat semua orang takut, tidak mau pergi ke mana-mana, tetapi saya pergi.


Pada 7 April, papa saya ditahan dari tanggal 5 Oktober - 7 April. Saya mencari tetapi tidak ditemukan. Demikian kakak, om-tante saya, sepupu. Ada tujuh orang yang hilang saat itu. Saya terus mencari dan bertanya di mana mereka. Saya mengatakan kalau mereka bersalah, sudah diadili belum? Kalau ditahan di mana? Kalau mati dikubur di mana? Kalau kita punya binatang mati saja kita gali lobang dikubur. Ini manusia? Apa ada hukum rimba? Sampai saat ini tidak tahu mereka di mana. Kami tidak tahu mereka mati atau hidup.

Sebagai anak sungguh ini sangat sakit. Saat itu saya mengatakan Tuhan berikan umur panjang untuk menyaksikan itu, Tuhan baik. Saya ada di sini hari ini, bukan karena saya. Karena itu, terima kasih untuk kesempatan ini.

Bapak saya itu dinyatakan anggota BTI. BTI itu resmi dari pemerintah. Pemerintah tidak bisa menyangkal. Dia hanya beri putusan hukum rimba. Sampai saat ini, sebagai keluarga terus menjerit. Seolah-olah kami ini pengkhianat bangsa, negara. Kami bersyukur lewat sidang ini bapak-ibu bisa mendengar kesaksian saya.

Manusia boleh mati tetapi tidak boleh mati seperti seekor binatang. Tetapi di mana mereka ditahan? di mana dikubur? Itu yang terus menjadi pertanyaan sampai saat ini. Khususnya bagi mamah saya yang ditahan, dituduh anggota Gerwani menjadi tahanan rumah. Tahanan rumah juga harus ada pengadilan, harus ada keputusan. Setiap kali saya bersaksi, air mata saya berlinang tak henti. Kehilangan orangtua, kakak, om, sepupu kandung. Tujuh orang sekaligus dalam waktu singkat. 


Editor: Rony Sitanggang

  • internatiol peoples tribunal 1965
  • pengadilan rakyat internasional tragedi 1965
  • ibu intan
  • 7 anggota keluarga hilang
  • Toleransi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!