Article Image

SAGA

Kampung Islam Pegayaman Bukan Minoritas di Pulau Dewata

Tradisi burdah khas Desa Pegayaman, Buleleng, Bali. Ini merupakan akulturasi tradisi Hindu Bali dan Islam. (Foto: dok Ketut M Suharto)

Pengantar:

Bali sejak lama mengibarkan bendera keberagaman. Meski Hindu menjadi agama mayoritas, kampung-kampung muslim di Pulau Dewata bisa hidup damai. Salah satunya Kampung Pegayaman di Kabupaten Buleleng yang sudah ada sejak abad 17. Aneka tradisi Islam dan Hindu melebur menghasilkan kekayaan budaya yang sarat makna toleransi. Jurnalis KBR Lea Citra mengulik kisah warga Pegayaman dalam melestarikan kultur kebhinekaan.

KBR, Bali - Desa Pegayaman di Kabupaten Buleleng, Bali punya beragam tradisi unik hasil akulturasi budaya Hindu dan Islam. Salah satunya perihal penamaan orang. Berikut contoh kombinasinya,

Ketut Syahril Sidiq, Nengah Ihwanul Azmi, Wayan Wahyu Islam, Ketut Muhammad Suharto, Komang Aya Nurohmah.

Pegayaman merupakan salah satu kampung Islam tertua di Pulau Dewata.

Cikal bakal desa ini dimulai abad 17 silam dengan kedatangan 100 tentara muslim dari Jawa dan Makassar. Hal itu terjadi pada masa pemerintahan Raja Buleleng Panji Sakti, kata tokoh masyarakat Pegayaman, Ketut Muhammad Suharto.

"Bahasanya halus, Solo-nya kena. Temperamen tegang Banyuwangi-nya kena, sama Madura kena. Suka bawa pisau ke mana-mana Makassarnya kena, Bugis. Bahasa Bali-nya kena. Yang sudah pasti Jawa, Bugis, sama Bali itu sudah masuk semua di Pegayaman. Jadi akulturasi yang ada, yang tercipta tidak dibuat, tidak settingan," ungkap Harto.

Baca juga: Minoritas Hidup Damai di Kota Doa

Tokoh masyarakat Desa Pegayaman, Ketut Muhammad Suharto. (Foto: Alfan/KBR)

Perpaduan nama Bali dan Islam hanya satu dari sekian ragam kekayaan hasil akulturasi selama empat abad. Di bidang seni, ada tradisi Burdah.

Burdah dimainkan setahun sekali saat peringatan Maulid Nabi, yang dirayakan besar-besaran di Pegayaman. Tradisi Bali disematkan dalam pakaian, sedangkan syairnya berbahasa Arab.

"Kidungnya, kidung Bali. Yang dibaca Al-Barzanji. Itu dipukul dari jam 9 sampai jam 4 pagi. Semua tumpah ke sana. Nilai akulturasinya muncul di peringatan tadi. Kalau perayaan hari raya seperti di Idulfitri, Iduladha biasa silaturahmi. Malah di acara Maulid ini yang pada pulang semua nanti, yang dari rantau, dari Jakarta, dari Lombok, pulang," tutur Harto.

Hari raya keagamaan kerap jadi medium interaksi sekaligus toleransi antar-umat beragama di Pegayaman. Mereka saling berbagi makanan yang disebut ngejot dalam tradisi Bali. Begini cerita warga Hindu di banjar atau dusun adat Amertasari, Wayan Suhenang.

“Umat Hindu dan umat muslim di Amertasari ini sangat baik. Apalagi kalau ada hari raya, saya sebagai umat Hindu, diundang sama Pak Kadus Amertasari," kata Wayan.

Baca juga: Indahnya Keberagaman di Kota Paling Toleran, Salatiga

Warga Hindu di Dusun Amertasari, Pegayaman, Wahyu Suhenang. (Foto: Alfan/KBR)

Amertasari adalah satu dari empat banjar atau desa adat di Pegayaman. Selain sistem banjar, kultur khas Bali, subak yang mengatur pengairan sawah, juga diadopsi di sana. Hanya, praktiknya diharmoniskan dengan budaya Islam.

"Ketika di sana sesaji untuk disesajikan, di sini bawa makanan untuk disantap. Selamatan, kendurian di sana, bukti rasa syukur kepada Allah. Budaya yang berkembang di Pegayaman, secara totalitas budaya Bali. Semua budaya yang tidak bertentangan dengan akidah Islam, masuk dia," tutur Harto.

Beragam kekayaan budaya sarat toleransi diwariskan turun temurun di Pegayaman. Menurut Wayan Jazilatun Nafiah, anak muda setempat sudah menghidupi tradisi sedari dini.

"Anak-anak SD di sini sudah dilatih kayak hadrah, burdah. Itu kan kesenian adat di Pegayaman. (Respon mereka) sangat antusias, yang belum sekolah saja sudah mulai mengenal hadrah, kesenian-kesenian," kata Jazilatun.

Pemudi berusia 18 tahun ini paham betul bagaimana toleransi dipraktikkan.

"Ya saling menghargai. Kan di sini dekat sekali desa Hindu-nya ya. Kita menghormati, misalnya hari raya Nyepi kita menghargai, oh di sini mati lampu," ujar dia.

Baca juga: Kiprah Anak Muda Makassar Penjaga Perdamaian

Pemudi Pegayaman, Wayan Jazilatun Nafiah. (Foto: Alfan/KBR)

Kebhinekaan yang kokoh menjadi tameng warga Pegayaman dalam menangkal potensi konflik. Harto bilang belum pernah ada riak-riak bernuansa SARA.

"Konflik sampai menjurus SARA itu seumur hidup saya dan sepengetahuan yang saya dengar, tidak pernah ada. Kalau gesekan-gesekan anak muda itu biasa, tapi tidak pernah menjadi besar, cepat dimediasi," ujar Harto.

Budayawan berusia 55 tahun ini menyebut keberadaan forum lintas agama berkontribusi melanggengkan kerukunan.

"Sering kita adakan pertemuan itu. Apalagi ada gesekan, ada komplain antar-desa, cepat dimusyawarahkan. Para tetua datang untuk memediasi, jangan sampai menjadi besar," ujar Harto.

Begitu rekatnya relasi antarsesama, warga muslim Pegayaman tak pernah merasa menjadi minoritas di Pulau Dewata.

"Kita di sini sebutannya 'nyame braya, nyame selam, nyame Hindu.' Nyame itu artinya saudara. Nyame selam, jadi saudara Muslim, nyame braya, bagaimana kita bersaudara. Kami tidak merasa bahwa kami orang-orang minoritas, tidak. Kami orang Bali, secara adat kami sudah 4 abad, 1648. Kita memang orang Bali. Bali asli," tegas Harto.

Baca juga: Belajar Toleransi dari Kampung Sudiroprajan

Pemuda Pegayaman, Wayan Wahyu Islam. (Foto: Alfan/KBR)

Generasi muda Pegayaman siap menerima tongkat estafet leluhur untuk melestarikan keberagaman dan toleransi. Pemuda Pegayaman, Wayan Wahyu Islam yakin nilai-nilai itu merupakan esensi dari semua agama.

"Kami adalah desa satu-satunya yang dikelilingi umat agama lain. Tapi kami tetap damai dan nyaman. Kuncinya saling percaya, tidak mem-bully, tidak menghardik atau mengucilkan agama lain. Kita tetap sama, senasib mempertahankan perjuangan-perjuangan leluhur kita. Karena semua agama pasti mengajarkan kebersamaan, bersatu dan menginginkan kemakmuran bersama," tutur Wahyu.

Baca juga: Anak Muda Mataram Lawan Kekerasan Berlatar Agama

Penulis: Lea Citra

Editor: Ninik & Citra DP