Murid-murid SD Islam Impian belajar di beranda rumah warga. Anak-anak pemulung ini makin rentan putus sekolah di masa pandemi. FOTO: Taufiq/KBR

SAGA

Akses Pendidikan untuk Asa Masa Depan Anak Pemulung

Kamis 07 Okt 2021, 16.23 WIB

Pengantar:

Situasi pandemi makin mempersulit akses pendidikan bagi kalangan miskin kota. Seperti dialami puluhan anak pemulung di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. SD Islam Impian, tempat mereka belajar terpaksa tutup selama setahun terakhir. Sementara metode daring maupun tatap muka terbatas belum optimal. Kondisi ini berpotensi meningkatkan angka putus sekolah. Jurnalis KBR Muthia Kusuma Wardani berbincang dengan guru dan orangtua murid tentang pergumulan mereka di masa pandemi.

KBR, Makassar - Siang itu Febriansa menyapa anak didiknya di sela pelajaran matematika. Sekitar sepuluh bocah duduk lesehan mengelilingi meja persegi beralaskan lantai bambu. Mereka adalah anak-anak pemulung di Kampung Savana, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, yang bersekolah di SD Islam Impian.

"Kita belajarnya di sini (rumah murid). Tapi ga tahu anaknya di mana, kayaknya lagi mulung," kata Febri.

Febriansa merupakan pendiri SD Islam Impian. Menurutnya, musim pagebluk Covid-19 memaksa aktivitas belajar mengajar digelar di beranda rumah-rumah warga. Pengajaran tatap muka tetap berjalan secara bergiliran, karena ketiadaan gawai untuk sekolah daring.

Para murid dibagi dalam kelompok kecil sekitar sepuluh anak guna menghindari kerumunan. Kepala Sekolah SD Islam Impian Mirnawati menuturkan, metode yang dipakai adalah hybrid learning atau pembelajaran campuran.

"Ada yang kita bagikan tugas. Ada yang kita kumpulkan di satu rumah siswa. Karena kalau kita berharap mereka mau belajar melalui online, itu tidak bisa. Orang tuanya saja tidak punya HP," kata Mirnawati.

Febriansa, pendiri SD Islam Impian memotivasi para murid untuk tetap belajar di tengah keterbatasan. (Foto: Taufiq/KBR).

Mirnawati bilang pandemi melahirkan banyak tantangan baru dalam mendidik anak-anak pemulung. Metode memberi tugas sebagai pekerjaan rumah tak berjalan optimal. Pasalnya, itu mensyaratkan peran aktif orang tua dalam membantu anaknya belajar.

"Orang tuanya saja tidak mengenal apa itu huruf, apa itu angka. Kami memberikan tugas atau PR untuk anaknya dengan harapan orang tuanya bisa membantu. Dan ternyata tidak bisa," keluh Mirnawati.

Selain itu, sebagian anak balik ke kebiasaan lama. Mereka kembali ke jalanan untuk ikut memulung bersama orang tua. 

Padahal, kebiasaan ini dengan susah payah dikikis sejak keberadaan SD Islam Impian pada 2017 silam. Pihak sekolah pun harus meyakinkan orang tua agar bersedia mengizinkan anaknya mencari ilmu, bukan barang bekas.

"Bisa dibilang 50% selama pandemi, mereka kebanyakan libur. Dan mungkin keenakan di rumah, meskipun kita kasih tugas. Setelah dia kerjakan tugasnya, dia kembali ke aktivitasnya memulung. Dan biasanya keluar main," imbuhnya.

Kepala Sekolah Mirnawati di ruang kelas SD Islam Impian. Selama sekolah tutup sementara, pembelajaran dipindah ke rumah-rumah warga. (Foto:Taufiq/KBR)

Linda, salah satu orang tua murid SD Islam Impian mendukung anaknya sekolah ketimbang memulung. Diakuinya selama pandemi, ritme belajar agak mengendur. Namun, Linda terus memotivasi sang akan untuk tetap konsisten. Sebab, sekolah tak hanya memberi anaknya pendidikan, tetapi juga lingkungan yang positif.

“Lebih baik dan lebih disiplin, lebih sopan. Karena awalnya bermain, berkeliaran, lebih banyak di luar, terpengaruh sama anak-anak. Lebih banyak yang di luar,” ujar Linda.

Keberadaan sekolah memberi Linda harapan anaknya punya masa depan gemilang. Ia bercerita sang anak bercita-cita ingin menjadi guru.

“Semoga saja dia menjadi yang lebih baik. Bisa berbakti sama orang tua, bisa membantu orang lain. Bisa juga berbagi ilmu kepada yang tidak mampu kelak,” harapnya.

Pendiri SD Islam Impian, Febriansa mengisahkan beratnya memahamkan orangtua seperti Linda agar mengizinkan anaknya sekolah. Meski sulit, Febri dan rekan-rekannya tak patah arang.

“Orang tua ini merasa kalau anak saya sekolah, tidak ada yang membantu untuk memulung. Karena kalau anak digendong, kemudian dibawa, otomatis pengendara itu lebih tersenyuh hatinya,” ungkap Febri.

Permukiman semi-permanen yang dihuni seratusan keluarga pemulung di Kampung Savana, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. (Foto: Taufiq/KBR).

Master Manajemen Pendidikan berusia 29 tahun ini tergerak membangun sekolah bagi anak pemulung, saat membagikan bantuan makanan di permukiman kumuh, termasuk Kampung Savana.

“Di 2017 itu, kami melihat kenapa anak-anak kecil ini yang menerima makanan kami. Padahal mereka ini usia sekolah, anak usia emas. Sekitar 20 tahun kemudian dia akan memimpin Indonesia, khususnya mungkin Makassar. Kalau anak ini tidak sekolah, dia akan jadi perusak Indonesia,” tutur dia.

Jerih payah Febri dan rekan-rekannya membuahkan hasil. Awal mula berdiri, mereka mendidik sekitar 50 anak tanpa dipungut seperser pun biaya.

“Terkait perubahan perilaku anak-anak. Yang biasanya jarang sekali bangun pagi, sekolah ini memaksa mereka bangun pagi, karena dimulai sejak jam 7 pagi. Cara memberikan anak-anak semangat itu, siapa yang datang pagi akan dapat sepatu, akan dapat buku. Dan anak-anak semangat untuk datang ke sekolah,” kisah Febri.

SD Islam Impian didirikan untuk memberi akses pendidikan bagi anak-anak pemulung di Makassar. (Foto:Taufiq/KBR).

Kala itu, sekolah hanya berupa bangunan sederhana berukuran 5 x 5 meter terbuat dari bilah-bilah bambu.

“Dan sekarang kita membuka dua sekolah, untuk anak-anak pemulung. Yang satu ada di Kertasening, satunya di Adiaksa. Di sana baru sekitar 20 orang. Dan Alhamdulillah ada donatur yang mewakafkan hartanya sekitar Rp1 miliar untuk membangunkan sekolah untuk kami,” ujarnya.

Febri dan rekan-rekannya menolak kalah dengan pandemi. Sekolah harus tetap berjalan untuk memberi akses pendidikan layak bagi anak-anak pemulung.

"Harapannya semoga walikota, gubernur bahkan presiden bisa melihat apa yang kami perjuangkan ini. Semoga sekolah kami bisa menjadi sekolah inspirasi lembaga-lembaga yang lain untuk mendidik anak Indonesia, khususnya pemulung. Semoga anak-anak kami jadi pemimpin. Mereka juga berhak memperoleh pendidikan," pungkas Febri.

Penulis: Muthia Kusuma Wardani

Editor: Ninik Yuniati