Article Image

SAGA

Menjaga Mangrove Pantai Bengkak

Rabu 14 Okt 2020, 22.18 WIB

Aktivitas konservasi mangrove Pantai Bengkak. FOTO: KBR/Hermawan Arifianto

Sejak 2014 Kelompok Masyarakat Tirtawangi merintis konservasi mangrove di Pantai Bengkak, Banyuwangi, Jawa Timur. Selain mencegah perusakan dan abrasi, konservasi mangrove punya nilai tambah, setelah disulap menjadi kawasan wisata. Namun, pandemi Covid-19 nyaris melumpuhkan seluruh aktivitas di sana. Lantas bagaimana nasib wisata dan konservasi mangrove Pantai Bengkak? Jurnalis KBR Hermawan Arifianto terjun langsung ke lokasi dan mencari tahu jawabannya.

KBR, Banyuwangi - Pagi di Pantai Bengkak, Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi, Jawa Timur.

Dari sini, kita bisa melihat langsung Selat Bali.

Matahari terik menyertai pemandangan di depan mata saya: hamparan pohon mangrove hijau.

Hamparan mangrove luas ini adalah buah kerja keras Kelompok Masyarakat Tirtawangi.

Mereka mengkonservasi mangrove yang rusak akibat penebangan liar oleh warga.

Rusdianto adalah Sekretaris Kelompok Masyarakat Tirtawangi, pengelola Mangrove Center di sana.

Mangrove Center merupakan kawasan wisata edukasi bakau.

Tapi di sini sepi, meski Pemerintah Kabupaten Banyuwangi membolehkan tempat wisata dibuka di tengah pandemi Covid-19.

“Masih belum buka, karena masih kurang peralatan untuk protokol Covid-nya. Masih belum berani untuk buka," kata Rusdi.

Suasana kawasan wisata Mangrove Center di masa pandemi

Kawasan wisata edukasi Mangrove Center Bengkak luasnya 1500 hektar lebih, dengan 8 jenis bakau. Ini menjadikan Bengkak sebagai wilayah dengan variasi bakau paling kaya.

Antara tahun 2013-2016, hamparan mangrove ini dibabat warga.

Ada yang dijadikan kayu bakar atau kawasannya dibuka untuk permukiman, kata Busana, anggota Kelompok Masyarakat Tirtawangi.

“Kalau dulu karena rusak ya karena orang-orang ngambil mangrob ini buat kayu tomang, buat rumah yang kena rusak- rusak terus tiap hari masyarakat ngambil terus tiap harinya di sini (hutan mangrove). Dipotong-potong buat apa? Ini mau dijual buat repotan (Hajatan), buat kayu bakar ya? iya akhirnya ini rusak terus,” ujar Busana.

Lewat edukasi dan dialog, warga sadar dengan bahaya perusakan mangrove.

"Fungsinya ya ini dulu zaman bapak saya, buat pengaman air laut. Menahan pasirnya ini biar tidak keluar. (Kalau tidak ada mangrove?) Habis, tidak ada rumah di sini. Habis semua," imbuhnya.

Sejak 2014 warga berupaya memulihkan mangrove di Pantai Bengkak, Banyuwangi.

Sudah 8.5 hektar mangrove yang kembali sehat, kata Rusdianto.

“Kita lakukan penanaman 1 bulan sekali, untuk pengambilan bibit dan penanaman bibit sekitar ratusan bibit kita tanam bersama warga dan kelompok. Dan akhirnya kita berhasil mencapainya,"

Demi menambah keyakinan warga akan manfaat mangrove, Kelompok Tirtawangi merintis Wisata Edukasi Mangrove Center.

Wisatawan yang datang ke sini bisa menikmati, sekaligus menanam bibit mangrove.

“Yang dijadikan daya tarik yaitu ini seperti rawa-rawa yang dibawa ini banyak ikannya. Ikannya ini sengaja kita tidak mengkonsumsi atau memanen, kita tinggalkan begitu saja agar supaya pengunjung bisa melihat bagaimana kondissi hutanya itu para wisatawan atau pengunjung tertarik dengan banyaknya hal alami di sini,” ungkap Rusdianto.

Wisata Edukasi Mangrove Center Bengkak lantas jadi salah satu destinasi wisata andalan di Banyuwangi, dengan omset 9 juta rupiah per hari.

Tapi semuanya berubah karena pandemi Covid-19.

Sejak pagi, Rusdianto bersama warga membersihkan sampah di kawasan mangrove Pantai Bengkak, Banyuwangi.

Mereka juga menanam bibit mangrove.

"Biasanya dilakukan satu minggu dua kali. Kalau hari jumatnya ya bersih-bersih dengan pengelola kalau minggunya bersama warga," kata Rusdi yang merupakan Sekretaris Kelompok Masyarakat Tirtawangi.

Sekitar enam bulan, wisata Mangrove Center tutup karena pandemi Covid-19.

Pemasukan dari kunjungan wisata pun seret.

Beruntung, upaya konservasi mangrove berhasil ditopang swadaya warga, kata Kepala Desa Bengkak, Mustain.

“Saya lihat swadaya masyarakat, tapi teman-teman semangatnya ada. Jadi bersih-bersih, menanami kembali,” ujar dia.

Namun, perbaikan tempat wisata macet lantaran anggaran dari pemkab Banyuwangi bergeser untuk pandemi. Ada juga warga yang terganggu dengan keberadaan Mangrove Center tersebut.

"Tidak ngerti dari mana masyarakatnya terprovokasi oleh salah satu, dua orang itu, bahwa kalau wisata ini maju rumah itu akan digusur. Wah pusing saya, bahkan pusingnya bukan main," keluh Mustain.

Padahal kolaborasi pemerintah dan warga adalah faktor penting pengembangan wisata yang berbasis konservasi dan komunitas.

Pegiat lingkungan dari Badan Kemaritiman Nahdlatul Ulama Banyuwangi, Ihwan Arif, mendorong pemerintah desa untuk terus meyakinkan warga akan pentingnya wisata edukasi mangrove.

“Layak dan tidaknya mangrove itu sangat layak digunakan untuk edukasi. Seperti di danaunya itu kan mangrovenya sangat rusak. itu bisa dijadikan materi edukasi refleksinya, terus ada yang potensinya sangat bagus, rindang, terus banyak burung disana, kita duduk nyaman ini bisa dijadikan bahan edukasi,” kata Ihwan Arif.

Warga membersihkan kawasan mangrove

Selagi wisata mangrove belum bisa buka, Kelompok Masyarakat Tirtawangi beralih mengolah ‘kopi mangrove’.

Kata Nirwan Abror dari kelompok masyarakat Tirtawangi, ini bukan betulan kopi, tapi biji mangrove yang diolah menjadi seperti kopi

Ini masih produksi lokal, karena produk ini belum punya izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.

“Dari kopi itu kami bisa dapat penghasilan untuk dibagi sama teman-teman di masa covid-19 ini. Kalau yang sudah jalan sehari-harinya itu dikemas yang berisi 1 ons sama 5 ons. Produksinya kami setiap setengah bulan sekali baru kami bisa produksi,” ujar Nirwan.

Organisasi lingkungan Bengkel Kreasi Indonesia Berkarya (Berkibar) di Banyuwangi, sering mengamati ekosistem mangrove di sana.

Ketika masyarakat bisa memperoleh banyak keuntungan dari mangrove, maka kesadaran untuk melindungi mangrove akan semakin tinggi.

”Ada beberapa tempat yang mulai rusak, tapi ada beberapa tempat lagi yang mulai dalam tahap konservasi. yang mulai konservasi ini adalah tempat-tempat di situ yang masyarakatnya mulai sadar ini, aku butuh benteng untuk menghadapi perubahan iklim laut," kata Karania Agnesius dari Berkibar.

Tanpa peran serta konservasi dari warga setempat, hamparan mangrove di depan mata saya mungkin tak ada lagi.

Warga mengolah kopi mangrove

Reporter:   Hermawan Arifianto

Editor:        Citra Dyah Prastuti