BERITA

Pemekaran Papua, Amnesty Internasional: Lebih Penting Tuntaskan Kasus HAM!

"Dan sebaiknya pemerintah memberi perhatian utama kepada masalah kemanusian terlebih dahulu, soal hak asasi manusia dulu."

Wahyu Setiawan, Valda Kustarini

Pemekaran Papua, Amnesty Internasional: Lebih Penting Tuntaskan Kasus HAM!
Ilustrasi wilayah papua

KBR, Jakarta - Amnesty Internasional menilai penuntasan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua lebih penting daripada pemekaran.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid menilai, pemekaran bukan solusi tepat untuk Papua saat ini.

"Dan sebaiknya pemerintah memberi perhatian utama kepada masalah kemanusian terlebih dahulu, soal hak asasi manusia dulu. Toh Presiden pernah janji menyelesaikan kasus Papua, terkhususnya kasus Paniai, juga Presiden pernah berjanji membebaskan tahanan politik Papua yang sekarang jumlahnya dalam catatan Amnesty sudah ada 22 tahanan politik, termasuk 6 orang yang ada di Mako Brimob, itu yang kami harapkan bisa diperhatikan Presiden Jokowi, untuk menindaklanjuti janjinya sendiri tahun 2005 di Papua," kata Usman di sela peluncuran buku 'Duka dari Nduga' di Jakarta, Rabu (30/10/2019).


Rencana pemekaran Tanah Papua itu berkembang usai Presiden Jokowi menerima puluhan orang perwakilan Papua di Istana Negara, September lalu.


Usman Hamid menilai, pemekaran wilayah justru berpotensi menimbulkan masalah yang lebih kompleks, seperti saat pembentukan Irian Jaya Barat 2003 lalu.


Senada dengan Usman, anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) perwakilan Nduga, Louis Maday, juga menyebut pemekaran bisa menimbulkan ancaman baru di Bumi Cendrawasih, karena pemekaran berpotensi menimbulkan gesekan politik saat memperebutkan jabatan di wilayah baru.


"Kami menilai negara ingin menghilangkan isu-isu yang sementara terjadi di Papua, menutup semua isu ini dengan pemekaran, isu tentang konflik, lalu tentang rasisme (ditutupi)," tegasnya.

Baca: Majelis Rakyat Papua Tolak Rencana Pemekaran Papua

Sementara Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyebut pemekaran Papua bukan hal yang mendesak.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menyarankan, pemerintah lebih baik berfokus pada evaluasi otonomi khusus Papua.


Misalnya, kata Robert, soal indeks pembangunan manusia (ipm) yang dinilai masih di bawah rata-rata nasional.


Apalagi, otonomi khusus di Papua akan selesai pada 2021 mendatang. Sehingga, katanya, sebelum melakukan pemekaran, pemerintah juga perlu menilai keberhasilan daerah hasil pemekaran di Papua di beberapa tahun belakangan.


"Kebijakan besar yang ada di Papua hari ini, dan inisiatif baru kedepan itu harus ditempatkan di kerangka besar otsus, itu dulu. Pemekaran itu bagian dari itu mestinya. Tidak kemudian otsusnya gak jelas evaluasinya belum ada. Esay strategic kita akan seperti apa, kemudian peta jalan besar kita seperti apa belum terumuskan, lompat ke pemekaran," kata Robert Endi Jaweng pada KBR.


Selanjutnya, lanjut Robert, ada syarat yang harus dipenuhi oleh pemerintah sebelum melakukan pemekaran.


Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebut, pemerintah harus menyelesaikan dua rancangan peraturan pemerintah terkait desain besar peraturan daerah, dan pembentukan daerah.


Jika kedua hal ini belum diselesaikan maka pemerintah belum bisa melakukan pemekaran.


Di samping soal peraturan menurut Robert, pemerintah juga memperhatikan anggaran negara. Sebab, pemekaran wilayah membutuhkan APBN dan APBD yang besar.  


"Pasti pemekaran itu menghabisakan banyak uang. Itu diproses pembentukannya, dana yang terserap baik APBD maupun APBN itu besar, kemudian yang kedua yang paling penting sesudahnya itu. Studi KPPOD menunjukan bahwa semua daerah otonomi baru biasanya akan menanggung beban yang cukup berat di 7-10 tahun pertama," pungkasnya.


Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri melakukan kunjungan kerja ke Papua.


Dalam kunjungannya, Presiden didampingi Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menampung aspirasi pemekaran provinsi Papua dan Papua Barat.


Mendagri Tito Karnavian menyebutkan ada dua aspirasi yang masuk untuk pemekaran wilayah Papua, yakni di kawasan Papua Selatan dan Papua Pegunungan. Namun, wacana pemekaran ini masih menuai pro-kontra.


Editor: Kurniati Syahdan

  • Amnesty Internasional
  • pemekaran Papua
  • Papua
  • kasus HAM
  • MRP
  • KPPOD

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!