BERITA

RUU KPK Disahkan, Masyarakat Sipil Gagas Uji Materi ke MK

RUU KPK Disahkan, Masyarakat Sipil Gagas Uji Materi ke MK

KBR, Jakarta - DPR resmi mengesahkan Revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Undang-undang pada Sidang Paripurna, Selasa (17/09/2019). 

"Rancangan Undang-undang tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 20 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dapat disetujui dan disahkan menjadi undang-undang?" ujar Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang memimpin Sidan Paripurna, Selasa (17/09/2019).

Pertanyaan Fahri disambut suara setuju dari peserta sidang. Dikutip dari Antara, tercatat sebanyak 289 orang menandatangani daftar hadir dari total 560 anggota DPR.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sebagai wakil pemerintah, menyampaikan persetujuan dari Presiden Joko Widodo atas revisi UU KPK. 

"Kita semua mengharapkan agar RUU KPK bisa disetujui bersama agar pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi bisa dilakukan efektif tanpa mengabaikan HAM," tutur Yasonna di Sidang Paripurna DPR. 

Sejumlah pasal yang dinilai melemahkan KPK disepakati oleh DPR dan pemerintah. 

Pertama, KPK bagian dari lembaga eksekutif. Pegawai KPK berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). 

Kedua, pembentukan Dewan Pengawas atau Dewas KPK. Anggota Dewas berjumlah lima orang bekerja selama empat tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Anggota Dewas dipilih Presiden melalui panitia seleksi yang menyaring para kandidat.   

Ketiga, penyadapan yang dilakukan KPK harus mendapat izin tertulis dari Dewas paling lambat 1x24 jam. Penyadapan paling lama dilakukan enam bulan dan dapat diperpanjang. 

Keempat, KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan apabila tidak selesai dalam dua tahun. Hal itu bertujuan untuk memberikan kepastian hukum. 

Tujuh fraksi dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah itu bulat menyetujui revisi. Adapun dua fraksi oposisi yakni PKS dan Gerindra memberikan sejumlah cacatan. Salah satunya soal pemilihan anggota Dewan Pengawas KPK yang menjadi wewenang mutlak Presiden. 

Aanggota Fraksi PKS Nasir Djamil mengatakan Dewas harus diisi sosok-sosok yang memiliki independensi tinggi. Menurutnya, orang yang pantas menjabat sebagai Dewas adalah eks-pimpinan lembaga negara.

"Bisa saja dia mantan hakim agung, mantan jaksa agung, mantan kaporli, eks-kepala BPK, dan eks-Ketua KPK," tutur Nasir. 

Terkait kewenangan penyadapan, PKS memandang KPK seharusnya tak perlu meminta izin Dewas, tetapi cukup memberitahukannya saja. 

Masyarakat sipil gagas uji materi

Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menyerukan perlawanan atas pengesahan revisi UU KPK. Massa dari anggota-anggota Koalisi menggelar aksi menolak revisi UU KPK. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, Koalisi berencana mengajukan uji materi UU KPK ke Mahkamah Konstitusi.

"Kami akan judicial review ke Mahkamah Konstitusi secara hukum. Tapi selain itu, publik juga perlu disadarkan bahwa Presiden dan DPR melakukan korupsi dalam fungsi penyelenggaraan negara," ujar Asfinawati di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (17/09/2019).

Menurut Direktur LBH Jakarta Arif Maulana proses revisi ini cacat formil dan secara substansi dapat melumpuhkan KPK. Menurutnya, cita-cita reformasi telah dikorupsi para elit dan oligarki di sekelilingnya.

"Itu yang bisa kita lakukan sebagai warga negara, sebagai pemilik kedaulatan. Kalau wakil rakyatnya tidak mendengarkan kita, presidennya tidak mendengar kita, kita harus bergerak. Kita harus tegur mereka," ucap Arif kepada KBR, Selasa, (17/9/2019).

Arif mengajak seluruh masyarakat melanjutkan perlawanan dengan suara lebih lantang. Kata dia, DPR selaku wakil rakyat mengabaikan aspirasi konstituennya yang menginginkan penguatan KPK.

Editor: Ninik Yuniati

 

  • ruu kpk
  • dpr
  • paripurna
  • pemberantasan korupsi
  • jokowi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!