BERITA

Konferensi Asia Pasific, Ini Penyebab Menkes Sebut Korban Rokok adalah Tragedi Kemanusiaan

Menteri Kesehatan Nila Moeloek di pembukaan konferensi ke-12 APACT di Bali, 13-15 September 2018 (fo
Menteri Kesehatan Nila Moeloek di pembukaan konferensi ke-12 APACT di Bali, 13-15 September 2018 (foto: KBR)

KBR, Denpasar- Kematian akibat rokok adalah sebuah tragedi kemanusiaan, begitu kata Menteri Kesehatan Nila Moeloek ketika membuka Konferensi ke-12 Asia Pasifik tentang Tembakau dan Kesehatan (APACT) di Denpasar, Kamis (13/09/2018).

Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan 7 juta orang mati setiap tahun karena konsumsi rokok. Tanpa intervensi yang radikal, maka WHO memperkirakan 1 miliar orang akan tewas akibat rokok pada 2030.

“Statistik ini bukan hanya angka,” kata Menteri Nila. “Di balik setiap angka ada ayah, ibu, anak-anak, saudara, teman. Kehilangan orang-orang tersebut sangat berpengaruh pada orang di sekitarnya.”

Di Indonesia, angkanya mencengangkan. Jumlah perokok di kelompok usia 15-19 tahun naik dua kali lipat, dari 12,7% pada 2001 menjadi 23,1% pada 2013. Survei Indikator Kesehatan Nasional pada 2016 menyebutkan ada 58,8% perokok laki-laki muda yang berusia antara 15-25 tahun.

Data Kementerian Kesehatan pada 2016 juga menunjukkan setidaknya 90 juta orang Indonesia adalah perokok. Dan ini menjadikan Indonesia sebagai negara terbesar ketiga yang mengkonsumsi rokok setelah Rusia dan Cina.

Menteri Nila mengklaim, pemerintah telah melakukan banyak hal untuk mengurangi jumlah perokok. Misalnya, cukai rokok yang naik secara periodik serta penyederhanaan penghitungan pajak. Selain itu, Undang-undang Kesehatan No 36 tahun 2009 juga telah membuka jalan bagi adanya Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Saat ini yang belum dilakukan Pemerintah Indonesia adalah ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). FCTC adalah perjanjian internasional tentang kesehatan masyarakat yang bertujuan melindungi generasi muda dari dampak konsumsi rokok. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Pasifik yang menolak FCTC.

Sampai saat ini sudah lebih 180 negara di dunia yang meratifikasi FCTC. Namun Indonesia bergeming. “Kami nggak mau sekadar ikut-ikutan atau karena banyak negara yang telah meratifikasi FCTC. Kita harus betul-betul melihat kepentingan nasional Indonesia,” kata Presiden Joko Widodo pada Juni 2016 lalu.

“Saya yakin dengan dukungan global dan regional, kami bisa ada di posisi yang lebih baik untuk mengatasi tantangan yang ada,” kata Menteri Nila di pembukaan konferensi ke-12 APACT hari ini.

Tantangan SDGs dan pengendalian tembakau

Hal lain yang bisa diselaraskan dengan pengendalian tembakau adalah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan, seluruh 17 tujuan SDGs berkaitan dengan pengendalian tembakau.

“Pengendalian terhadap produk tembakau berkaitan dengan Tujuan 1 dan 2. Pengurangan dampak buruk tembakau berkaitan dengan Tujuan 3, 4, 5, 8 dan 10,” jelas Bambang di pembukaan Konferensi ke-12 Asia Pasifik tentang Rokok dan Kesehatan (APACT) di Denpasar hari ini, Kamis (13/9/2018).

“Jika kita berhasil menciptakan lingkungan yang bebas polusi, maka kita mencapai Tujuan 6, 7, 11, 12, 13,  14. Isu ketenagakerjaan dengan industri rokok, jika berhasil diatasi maka kita mencapai Tujuan 9. Dan kita juga harus mendukung kebijakan yang integratif, sesuai Tujuan 16 dan 17.”

Karena itu, menurut Bambang, tanpa pengendalian tembakau, Indonesia akan sangat sulit mencapai tujuan-tujuan SDGs. Dengan tren prevalensi perokok yang terus naik, maka diperkirakan perokok muda dengan usia di bawah 18 tahun pada 2030 naik menjadi 16,4 persen.

Selain itu, dampak buruk rokok juga menjadi faktor risiko terbesar untuk kematian prematur dan disabilitas di tanah air. Kelompok perokok terbesar adalah warga miskin, dengan rokok sebagai barang kedua yang dibeli setelah beras.

“Ini kan seperti orang makan nasi dengan rokok,” tutur Bambang. Setelah beras (26%), komoditas yang dibeli keluarga miskin adalah rokok (11%), telur, mi instan dan daging/ayam.

Jika tidak ada intervensi serius, maka Indonesia akan kehilangan peluang bonus demografi pada 2030 mendatang. Bonus saat   jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) jauh melampaui kelompok usia tidak produktif (anak-anak usia di bawah 14 tahun atau orangtua berusia di atas 65 tahun).

“Penduduk yang harusnya produktif bisa terancam. Jika mereka merokok, maka akan ada dampak kesehatan, mereka menjadi kurang produktif dan akibatnya jadi tidak berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi,” jelas Bambang.

Karena itu Menteri Kesehatan Nila Moeloek juga menekankan  pentingnya menaikkan harga rokok. Ia mengaitkan dampak positif dari menaikkan harga rokok dengan penurunan jumlah perokok.

“Musuh utamanya adalah harga rokok yang sangat terjangkau,” kata Menteri Nila. Harga rokok di Indonesia termasuk yang termurah di dunia, ditambah lagi rokok di Indonesia bisa dibeli satuan.

“Rokok tidak bisa hanya dianggap sebagai ancaman kesehatan. Ini adalah ancaman terhadap pembangunan manusia,” kata Nila.

APACT adalah pertemuan internasional bidang pengendalian tembakau, sebagai wadah berbagi pengalaman dan kisah sukses pengendalian tembakau di negara-negara Asia Pasifik dan dunia.

Tahun ini adalah penyelenggaraan konferensi yang ke-12 dengan Indonesia sebagai tuan rumah. Pertemuan ini diharapkan mendorong Pemerintah   melihat bagaimana negara lain melakukan pengendalian tembakau. Semua negara di dunia sudah melarang iklan dan promosi rokok, tapi di Indonesia baru ada pembatasan dari segi waktu di media penyiaran. Atau di Australia, bungkus rokok berwarna putih, tidak sekadar memuat gambar peringatan tentang bahaya merokok.


Editor: Rony Sitanggang

  • #RokokHarusMahal
  • rokok

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!