BERITA

Festival Ujungan, Tradisi Unik Ritual Minta Hujan di Banjarnegara

"Masyarakat Kademangan, Susukan, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah menggelar tradisi Ujungan saat puncak musim kemarau."

Muhamad Ridlo Susanto

Festival Ujungan, Tradisi Unik Ritual Minta Hujan di Banjarnegara
Ilustrasi: Kondisi sawah yang mengering terdampak musim kemarau, Jumat (21/9). (Foto: ANTARA/ Abriawan A)

KBR, Banjarnegara – Masyarakat Kademangan, Susukan, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah menggelar tradisi Ujungan. Kegiatan ini merupakan tradisi turun temurun saat puncak musim kamarau.

Ketua Dewan Kesenian Kecamatan Susukan Yusmanto menjelaskan, tradisi yang lantas disebut sebagai festival ini adalah rangkaian ritual yang dimulai sejak Rabu (26/9/2018) kemarin. Ritual dimulai dengan pengambilan air barokah di sumber pemandian air panas Pingit Gumelem Wetan oleh bedhogol atau sesepuh desa.

"Acaranya sebenarnya sampai besok. Puncaknya besok, Ujungan, besok hari Jumat. Tanggal 26 sampai 28 September rangkaian kegiatan acara Festival Ujungan itu sejak kemarin," kata Yusmanto, Kamis (27/9/2018).

"Pengambilan air dari Banyu anget, itu sebuah ritual tradisional. Merti bumi, merti banyu. Jadi ini, sebuah penghormatan, penghargaan, terhadap bumi yang telah mengeluarkan air. Dan air sendiri adalah sumber kehidupan," tambahnya.

Sementara hari ini warga Desa Kemranggon melaksanakan tradisi Takiran sebagai wujud rasa syukur warga, Kamis (27/9/2018). Masing-masing Kepala Keluarga (KK) akan membawa tenong berisikan takir yang digelar di sepanjang jalan utama desa lalu dinikmati bersama wisatawan.

Lantas akan digelar pula ritual Cowongan. Yakni ritus tradisional minta hujan menggunakan gayung tradisional (siwur) serta orang-orangan dari rerumputan (suket) menyerupai jaelangkung.

Kegiatan itu diikuti pertunjukan musik Tundhan Belis, yaitu musik tradisional menggunakan alat dapur. Musik ini biasa digunakan untuk mencari warga yang hilang karena dipercaya dibawa oleh makhluk halus. Seperti kelong atau lampor atau biasa disebut warga sebagai wewe gombel.

Adapun ritual Ujungan untuk minta hujan dengan cara adu pukul menggunakan bilah rotan dilaksanakan pada Jumat (28/9/2018) pukul 13.00 WIB. Ujungan diikuti wakil dari seluruh desa di Kecamatan Susukan yang dipimpin oleh seorang wlandang (wasit).

Baca juga:

Yusmanto menerangkan, meski secara tradisi ujungan berakhir pada Jumat namun festival ini masih berlanjut dengan rangkaian kegiatan lain bernuansa pariwisata. Kesakralan ujungan kata dia, berubah pada malam harinya yakni saat pertunjukan kesenian.

Seni modern hingga tradisional dipadukan dalam satu panggung. Di antaranya, ensambel musik Mexico dari Grup Nayeche pimpinan Leon Gilberto Medelin Lopez, penari lengger dari Jepang Jurry Suzuki, dan Sendratari Ujungan dan Barongsay pada malam harinya. 

Keesokan harinya, Sabtu (29/9/2018) pukul 10.00 WIB digelar ruwat bumi yang dipercaya sebagai media untuk menetralisir energi negatif dari alam. Acara ini berlanjut dengan pentas wayang kulit semalam suntuk oleh dalang Ki Pepeng dengan cerita Lahirnya Gatotkaca.

Pengunjung masih akan dimanjakan dengan acara lain seperti atraksi Gropyok Iwak, sepeda santai dan lomba mancing yang ditutup dengan pesta kembang api pada malam harinya, Minggu (30/9/2018).

Ia menambahkan, di wilayah Kabupaten Banjarnegara, tradisi ujungan berkembang di wilayah Kademangan, di mana kehidupan masyarakat waktu itu bergantung pada aliran Sungai Gumelem dari tetesan air gunung berbatu.  Tradisi ini disinyalir merupakan warisan kejayaan Majapahit.

Yusmanto pun menuturkan tradisi ujungan dikemas secara artistik dan masif sebagai wujud pelestarian budaya. Sekaligus, promosi pariwisata. Kegiatan bakal dipusatkan di Desa Kemranggon, Kecamatan Susukan.



Editor: Nurika Manan

  • musim kemarau
  • kekeringan
  • hujan
  • musim hujan
  • Festival Ujungan
  • Ujungan
  • Tradisi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!