CERITA

Menduniakan Taman Nasional Komodo di Mata Internasional (Bagian 1)

Menduniakan Taman Nasional Komodo di Mata Internasional (Bagian 1)

KBR, Jakarta - Siang di ujung Indonesia, laut biru membentang. Bukit dan tanah tandus menjulang di tepi lautan.

 

Bandara Komodo di Labuan Bajo, menjadi pintu masuk para turis menuju Taman Nasional Komodo.

 

Untuk sampai ke sana, para turis harus menempuh perjalanan laut selama dua jam dengan perahu motor. Atau satu jam dengan kapal cepat (speedboat) yang bersandar di Labuan Bajo.

 

Tapi bagi turis yang menggunakan kapal pesiar, mereka mesti menaiki sekoci berukuran 5x1 meter. Ini lantaran di Taman Nasional Komodo tak ada dermaga. Begitu pula dengan pulau lainnya.

 

Kalau pun ada, hanya dermaga buatan dari kayu. Kepala Taman Nasional Komodo Helmi.

 

“Kalau sudah muatan dunia juga harus dunia dong. Pada saat cruise (kapal pesiar) datang, sesungguhnya kita sudah berupaya melalui Kementerian Perhubungan buat dermaga panjang. Namun ya itulah mungkin pendekatan kita salah. Setelah ada cruise ternyata kurang panjang. Karena kami juga punya dermaga. Tapi kurang ditinggikan. Jadi memang harus betul-betul dihitung," kata Helmi di Kantor Taman Nasional Komodo di Kota Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Selasa (1/9/2015).

 

Kata Helmi, ada kesalahan perhitungan dalam membangun dermaga. Misal tidak ada teknologi mesin hidrolik yang bisa menggerakkan ujung dermaga naik turun sehingga ketinggiannya bisa disesuaikan dengan ketinggian kapal.

 

Keberadaan dermaga besar dianggap penting, sebab sepertiga turis asing yang datang ke Komodo menggunakan kapal pesiar.

 

“Di Indonesia belum ada port untuk kapal cruise (kapal pesiar). Berhenti di tengah laut, di TN Komodo, nanti dilanjut dengan kapal kecil kapasitas sampai 30 orang. Jadi pada saat musim Oktober – Januari itu kapal cruise meningkat jumlahnya. Bisa sampai 2 ribu orang (per cruise) kita layani dalam satu pemanduan,” kata Helmi kepada KBR.

 

Catatan Taman Nasional, sejak enam bulan terakhir, ada lebih dari 34 ribu wisatawan asing yang datang ke Pulau Komodo. Dengan jumlah kapal pesiar di pada Januari hingga Juni 2015 sekitar 20 kapal.

 

Ketiadaan dermaga ini jadi penghambat pariwisata Pulau Komodo.

 

Kata Helmi, sudah ada rencana perpanjangan dermaga di Pulau Komodo. Namun kapan dan bagaimana rencana pembangunan pelabuhan itu, pihaknya menyerahkan pada Syahbandar Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat.

 

Hal lain yang dipersoalkan, minimnya akses penerbangan. Saat ini hanya ada tiga maskapai yang melayani penerbangan dari Denpasar dan Kupang.


Monica, turis asal Jerman.

 

“Maybe it would be better to have more flights coming here. It’s a long way. You have to go to Denpasar first, and then you can come to Komodo. Maybe it’s better to have a flight from Singapore or Kuala Lumpur. So it’s better for coming from Germany or Europe,” ujar Monica saat diwawancari KBR di Labuan Bajo, Selasa (2/9/2015).

 

Untuk yang itu, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menyatakan pemerintah tak bisa memaksa maskapai membuka rute penerbangan.

 

“Kalau penerbangan sipil, penerbangan komersial itu sifatnya pasar yang menentukan. Pemerintah tidak bisa dorong itu. Kalau misalnya pesawat lain harus masuk, itu enggak bisa, terserah mereka mau masuk, mau enggak,” kata Jonan saat diwawancarai KBR di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (9/9/2015).

 

Membangun dan mempercantik Taman Nasional Komodo terus dilakukan. Lalu apakah pemerintah sudah cukup memberdayakan warga sekitar? Simak bagian kedua laporannya.



 


Editor: Quinawaty Pasaribu 

  • Taman Nasional Komodo
  • Pariwisata internasional
  • Kapal Pesiar
  • Labuan Bajo

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!