BERITA

Peneliti LIPI: Dana Otsus Tak Bisa Redam Konflik Papua

""Dana Otsus telah habis dalam proses perjalanan dari pemerintah pusat hingga daerah, sehingga hanya meninggalkan sedikit uang untuk rakyat.""

Adi Ahdiat

Peneliti LIPI: Dana Otsus Tak Bisa Redam Konflik Papua
Massa melakukan aksi di Jayapura, Papua, Senin (19/8/2019). Aksi tersebut memprotes peristiwa yang menimpa mahasiswa asal Papua di Surabaya, Malang dan Semarang. (Foto: ANTARA/Gusti Tanati)

KBR, Jakarta- Setelah insiden pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Sabtu (17/8/2019), pemerintah langsung mengumumkan besaran dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua untuk tahun depan. 

"Alokasi Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (tahun 2020) sebesar Rp8,374 triliun. Papua Rp5,861 triliun, Papua Barat Rp2,512 triliun," papar Sekretariat Kabinet RI dalam situs resminya, Selasa (20/8/2019).

Menurut Presiden Jokowi, dana Otsus itu dikucurkan untuk mengatasi permasalahan ekonomi di Papua.

“Selama ini, denyut kegiatan ekonomi secara umum masih terpusat di Jakarta dan Pulau Jawa. Sehingga Pulau Jawa menjadi sangat padat dan menciptakan ketimpangan dengan pulau-pulau luar Jawa. Apabila kita membiarkan hal tersebut berlanjut tanpa ada upaya yang serius, maka ketimpangan akan semakin parah,” kata Presiden Jokowi, seperti dilansir Setkab RI.


Kebijakan Otsus Lemah

Kebijakan Otsus Papua   sudah ada sejak tahun 2001, yakni sejak masa pemerintahan Presiden Megawati.

Namun, menurut sejumlah peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kebijakan Otsus gagal menghasilkan kemajuan signifikan untuk Papua.

"Pembangunan sosial ekonomi yang diprakarsai oleh pemerintah sejak implementasi UU Otsus Papua tidak berhasil meredam konflik politik yang telah mengakar dan kompleks di Papua," jelas peneliti LIPI, Muridan S. Widjojo dan Aisah Putri Budiatri, dalam laporan risetnya.

Muridan dan Aisah mengevaluasi satu dekade pelaksanaan kebijakan Otsus dalam laporan riset UU Otonomi Khusus Bagi Papua: Masalah Legitimasi dan Kemauan Politik 2011).

Para peneliti LIPI itu menyebut UU Otsus lemah, karena proses perumusannya tidak melibatkan aktor utama dalam konflik Papua, yakni: kelompok pro-Papua Merdeka.

"Belum terlihat upaya pemerintah untuk mengambil langkah dan kebijakan yang bersifat rekonsiliatif, yang memungkinkan komunikasi dialogis antara pemerintah dan pemimpin oposisi Papua," jelas Muridan dan Aisah dalam laporannya.

Selain tidak memuat aspirasi dari aktor konflik, UU Otsus Papua juga menjadi lemah karena "ditentang" sejumlah Peraturan Pemerintah (PP) serta Instruksi Presiden (Inpres).

Menurut Muridan dan Aisah, masih ada berbagai aturan hukum yang justru menghancurkan substansi Otsus Papua. Seperti PP dan Inpres yang melarang pengibaran bendera kultural Bintang Kejora, serta melemahkan wewenang Majelis Rakyat Papua (MRP).

UU Otsus juga dinilai tidak punya peraturan khusus untuk mendukung penyelesaian isu-isu kontroversial, seperti pelurusan sejarah serta penyelesaian kasus HAM di Papua. 

"Legitimasi rendah ini berdampak pada komitmen yang rendah untuk secara sungguh-sungguh menerapkan cita cita Otsus Papua. Dengan demikian, Otsus sudah tentu saja berujung pada kegagalan," tegas Muridan dan Aisah.


Dana Otsus Banyak Dikorupsi

Selain "cacat" dari segi substansi dan bangunan hukumnya, pengelolaan dana Otsus juga dinilai sangat bermasalah.

Sejak 2001 hingga sekarang dana Otsus selalu ditambah tiap tahunnya hingga triliunan rupiah. Namun, sampai tahun 2019 Papua masih tergolong sebagai daerah termiskin dan paling tertinggal di Indonesia.

"Tidak ada grand design yang dapat menjelaskan tahap-tahap pembangunan di dalam kerangka Otsus Papua. Target capaian apa yang akan diraih setelah 5 tahun, 10 tahun, hingga 25 tahun? Sehingga para elit lokal memiliki kecenderungan untuk menafsirkan berdasarkan pemaknaan mereka sendiri," jelas Muridan dan Aisah.

"Penyaluran dana Otsus sering kali terkonsentrasi hanya di wilayah perkotaan saja tanpa menjamah wilayah perdesaan. Sulitnya kondisi geografis di Tanah Papua sering kali menjadi alasan pemerintah atas penyebaran program pembangunan yang tidak merata," tambah mereka.

Selain masalah ketiadaan grand design, dana Otsus juga kerap dikorupsi di berbagai level lembaga negara.

"Dana Otsus yang besar akan tereduksi di setiap tingkatan pemerintahan mulai dari tingkat yang teratas hingga yang terbawah. Dana Otsus terpotong oleh apa yang diistilahkan sebagai 'biaya transaksi' di setiap lapis birokrasi," jelas Muridan dan Aisah.

"Dana Otsus telah habis dalam proses perjalanan dari pemerintah pusat hingga daerah, sehingga hanya meninggalkan sedikit uang untuk rakyat," jelas mereka lagi.


Perlu Ada Lembaga Khusus

Untuk membenahi berbagai masalah tersebut, Muridan dan Aisah berharap pemerintah punya lembaga khusus seperti Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B).

Meski kini UP4B sudah dibubarkan, peneliti LIPI berharap lembaga khusus semacam itu bisa berperan mengawasi dan memperbaiki pengelolaan dana Otsus.

Lembaga semacam UP4B juga diharapkan bisa membangun langkah penyelesaian konflik yang berlegitimasi kuat, serta membuka komunikasi dialogis antara pemerintah pusat dan kelompok pro-Papua Merdeka.


Editor: Rony Sitanggang

  • rasisme
  • papua
  • otsus papua

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!