SAGA

[SAGA] Safprada Rizma: 'Tularkan Virus Literasi Lewat Pondok Inspirasi'

[SAGA] Safprada Rizma: 'Tularkan Virus Literasi Lewat Pondok Inspirasi'

KBR, Lombok - Terselip di salah satu gang di Desa Pringgabaya, Lombok Timur, seorang pemuda menunjukkan kepada saya pondok baca yang ia dirikan sejak 2013. Pondok itu sangat mencolok mata –yang dicat biru.

Di sana, deretan buku tersusun rapi dalam rak-rak plastik dan kayu. Berjejer dari teras hingga ke ruang depan. Kepada KBR, pemuda itu dengan bangga menunjukkan koleksi bukunya yang mencapai ratusan. Ada cerita anak, komik, novel, buku resep, hingga sains. Dan, siapa pun bisa numpang baca di pondok ini.


Adalah Safprada Rizma, pemilik pondok baca itu. Dia bercerita, sebagian buku-buku itu didapat dari hasil sumbangan. Tapi mayoritas ia kumpulkan sedikit demi sedikit dari penghasilannya sebagai penulis lepas.


“Saya sisihkan penghasilan untuk beli buku. Banyak juga yang menawarkan donasi dalam bentuk uang, tapi saya tolak. Nanti orang berpikir negatif. Lebih baik buku bekas atau baru, saya siap terima,” ungkap Safprada ketika ditemui di rumahnya.


Pemuda 26 tahun ini, sebetulnya sudah lama gemas dengan minat baca masyarakat Lombok yang rendah. Padahal, baginya, buku menjadi kunci ke dunia yang lebih luas. Sementara, pemerintah setempat belum berbuat apa-apa untuk mengatasi persoalan ini. Padahal, setiap kecamatan sudah memiliki perpustakaan sendiri. Sayang, sepi pengunjung.


“Perpustakaannya jadi sarang laba-laba karena kelihatan sangat formal. Jadi mereka sungkan masuk. Sebenarnya tinggal bagaimana mengemasnya. Harusnya dilihat siapa yang baca. Misal, kalau anak-anak kita suguhkan buku bergambar.”


Kenyataan itulah yang memacu Safprada bergerak. Tahun 2013, ketika lulus kuliah Pertanian dari Universitas Mataram, Safprada pulang ke rumahnya. Dia lalu turut memboyong buku-bukunya.


Ide mendirikan pondok baca, baru muncul saat melihat bocah-bocah tetangganya saban sore bermain atau mengaji di rumahnya. Mereka pun tertarik melihat buku-buku miliknya. Maka, segera saja dia sulap teras dan ruang depan rumahnya jadi pondok baca.


“Saya dulu bergelut di organisasi pergerakan. Sering demo, aksi. Lama-lama berpikir selesai kuliah mau apa? Harus ada tindakan. Kalau hanya menyuarakan tanpa tindakan, menurut saya konyol.”


Kini, tiap sore, anak-anak bebas memilih buku dan bersantai di teras. Safprada juga mendirikan satu tenda tempat mereka bisa berteduh. Hampir setiap hari halaman rumahnya penuh dengan tawa dan canda anak-anak.


Upayanya menumbuhkan minat baca tidak hanya berhenti di desanya. Satu tahun terakhir ia bergerilya dengan bermodalkan sebuah sepeda motor. Setiap akhir pekan, dia menjalankan motornya dari satu tempat ke tempat lain. Seringnya memang tempat wisata. Kadang juga ke perkampungan-perkampungan.


Di sana dia menggelar lapak buku. Buku-buku yang ia tampung dalam tas bisa dibaca oleh siapapun tanpa perlu membayar. Persis dengan yang ia lakukan di rumah. Semua itu demi menularkan virus membaca tanpa cara memaksa.


“Saya biasa buka lapak di pantai. Banyak yang tertarik. Ada yang nanya, 'mas jualan?' Kadang saya buat plangnya besar-besar, “GRATIS”. Ada juga yang bilang saya enggak ada kerjaan. Orang di pantai sering manggil orang gila.”


Buku-buku itu dia bawa dengan dua tas hitam berukuran besar yang ia letakkan di dudukan belakang motornya, masing-masing satu di kanan dan kiri. Ketika saya menyambanginya hari itu, Safprada sedang bolak-balik memindahkan buku dari rak ke tas. Kepada saya dia berkata mau ke Sekaroh mengantarkan buku.


Di desa itu, ada sekolah terpencil yang tak punya akses pada bahan bacaan. Murid-muridnya adalah anak buruh tani dan petambak garam. Bangunan sekolah itu hanya terdiri dari atap, tiang, dan tembok yang baru seperempat jadi. Tak ada pintu pun jendela. Safprada bercerita pembangunan terhenti karena tak ada biaya.


“Daerah selatan banyak kesenjangan. Dari semua daerah, hanya di selatan yang akses jalannya kurang. Pendidikan juga masih memprihatinkan,” ucap Safprada.


Jarak antara Desa Sekaroh dan Desa Pringgabaya nyaris 60 kilometer. Kadang, ia dan kawan-kawan komunitas relawan bernama Indera, pergi ke sana sekaligus mengajar.


Sawal, usianya baru 10 tahun. Orangtuanya tak pernah membelikan  buku untuk dibaca. Dari Safprada, ia mengenal bahwa ada lembaran kertas berisi jutaan informasi. “Ada buku tentang air hujan, matahari, bulan, meteor. Saya senang karena teman-temanku juga bisa membaca, aku juga bisa membaca,” tutur Sawal.


Hal ini diakui Mahir, guru sekaligus kepala sekolah di Sekaroh. Karena penghasilan mayoritas orangtua muridnya hanya mencukupi untuk makan seadanya, para orangtua tak pernah berpikir membelikan bahan bacaan bagi anak-anak mereka. Buku-buku yang dibawa Safprada setidaknya cukup untuk menghapus kehausan mereka.


“Anak-anak suka baca cerita anak-anak, tentang dongeng,” ucap Mahir.


Safprada bahagia, namun belum puas. Satu tahun ini belum semua kabupaten ia jamah. Waktu ditanya apa targetnya, dia cuma berkata ingin terus melanjutkan upayanya.


“Bagi saya, ini tabungan yang enggak nyata kita lihat. Melihat orang bisa belajar dari nol hingga mengenal huruf. Saya mau keliling terus. Ingin nantinya di setiap kabupaten bahkan tiap desa punya pondok baca,” harap Safprada.


Simak video kisah anak-anak muda inspiratif lainnya di kbr.id/anakmuda  



Editor: Quinawaty


Baca juga:

Sabrina Bensawan: 'Berbagi Tak Perlu Menunggu Kaya'

Putry Yuliastutik: 'Mengawinkan Konfeksi dengan Teknologi'

Iki Yosan: 'Mendongeng Demi Menghapus Trauma'

Dwi Puspita: 'Mendobrak Stereotip Dalang'

Hajad Guna: 'Melantangkan Suara dari Kampung ke Dunia'

Safprada Rizma: 'Tularkan Virus Literasi Lewat Pondok Inspirasi

Merry Andalas: 'Menjaga Rinjani dengan Gaharu'

Lukman Hakim: 'Berhenti Merokok di Bank Sehat'

Akhmad Sobirin: 'Manisnya Gula Semut dari Semedo'  

  • safprada rizma
  • pondok inspirasi
  • pondok baca
  • anak muda

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!