BERITA

Digugat Soal Terjemahan Resmi KUHP, Ini Jawaban Ketua DPR

Digugat Soal Terjemahan Resmi KUHP, Ini Jawaban Ketua DPR

KBR, Jakarta - Pengadilan NegeriJakarta Pusat menggelar sidang perdana gugatan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sampai sekarang belum punya terjemahan resmi. KUHP bersumber dari hukum pemerintah kolonial dan aslinya dalam bahasa Belanda. 

Direktur Eksekutif Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju, mengatakan selama ini masyarakat menggunakan enam versi terjemahan dari para ahli hukum. Kata dia, dibutuhkan satu terjemahan resmi supaya menjamin kebakuan tafsir dan kepastian hukum. Apalagi UU sudah mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia.

"Pemerintah sendiri enggak pernah terpikir untuk menerjemahkan legislasi-legislasi yang masih berlaku," tukasnya kepada KBR di PN Jakarta Pusat, Kamis (12/7/2018) siang.

"Sekian lama di-ignore (diabaikan), pemerintah enggak peduli, di 2009 tiba-tiba keluar UU Bahasa yang mensyaratkan setiap peraturan perundang-undangan harus dalam bahasa Indonesia," tambahnya. 

Anggara menjelaskan, KUHP bersumber dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Hindia-Belanda. Ketika Indonesia merdeka, UUD 1945 menyatakan aturan zaman Belanda itu tetap berlaku dalam bahasa aslinya. Anggara mengatakan, penerjemahan mulai dilakukan oleh sejumlah ahli pada tahun 1970-an. Pada 1991, konsep KUHP dibukukan pertama kali dan diserahkan kepada menteri kehakiman saat itu. Namun sampai sekarang belum ada terjemahan yang resmi diakui. 

"Kalau ada terjemahan resmi, berarti terjemahan versi para ahli hukum itu jadi tidak berlaku."

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/06-2018/digugat_aktivis_soal_kuhp__menteri_yasonna__lucu_lucuan_aja_itu/96334.html">Digugat Aktivis Soal Terjemahan KUHP, Menkumham: Itu Lucu-lucuan Saja</a>&nbsp;<br>
    
    <li><a href="http://kbr.id/berita/07-2018/temui_presiden_tolak_korupsi_di_rkuhp__ini_perintah_jokowi/96501.html"><b>KPK Temui Presiden Tolak Korupsi Masuk RKUHP, Ini Perintah Jokowi</b></a>&nbsp;<br>
    

Anggara mencontohkan ketidakpastian dalam KUHP yang diterjemahkan dari hukum zaman Belanda. Hukum zaman Belanda membedakan pasal penghinaan terhadap kepala negara (keluarga kerajaan/Koning der Nederlanden) dan kepala pemerintahan (perdana menteri). Penghinaan terhadap keluarga kerajaan punya delik biasa namun penghinaan terhadap kepala pemerintahan punya delik khusus. 

Di Indonesia, kepala negara dan kepala pemerintahan bergabung dalam jabatan presiden. Sehingga, ujar Anggara, pasal penghinaan presiden punya dua interpretasi.

"(Perdana menteri) dianggap sama dengan pejabat pemerintah yang lain, sehingga kalau merasa terhina harus melapor. Kalau keluarga kerajaan enggak," tambahnya.

Menanggapi gugatan itu, Ketua DPR Bambang Soesatyo memercayakan urusan gugatan soal terjemahan resmi KUHP itu ke biro hukum DPR. Ia mengaku belum menerima laporan soal gugatan tersebut.

"Ya saya belum tahu, belum sampai di meja saya. Tapi ya menurut saya biar nanti biro hukum yang menghadapi gugatan itu," kata Bambang saat ditemui di gedung DPR Jakarta, Kamis (12/7/2018).

Gugatan itu didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Jumat, 8 Juni 2018. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat menggugat presiden, Menteri Hukum dan HAM, serta Ketua DPR yang dianggap lalai tak membuat terjemahan resmi KUHP dari bahasa Belanda ke Indonesia. Ketiga LSM berpendapat, ketiadaan terjemahan resmi bisa membuat penafsiran yang berbeda-beda terhadap KUHP antar-pakar hukum.

Terjemahan resmi menurut koalisi, juga diperlukan agar tidak terjadi kerancuan pada proses hukum. Di sisi lain, koalisi juga mempertanyakan langkah pemerintah yang buru-buru merevisi KUHP tanpa terlebih dahulu membuat terjemahan resminya.

Baca juga:




Editor: Nurika Manan

  • RKUHP
  • KUHP
  • gugatan KUHP

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!