HEADLINE

Vaksin Palsu, IDI: Pemerintah Harus Memperbaiki Kinerjanya

"Kalau memang, misalnya, kebutuhan dalam negeri itu meningkat, tentunya ekspor perlu direduksi."

Vaksin Palsu, IDI: Pemerintah Harus Memperbaiki Kinerjanya
Rilis daftar nama rumah sakit penerima vaksin palsu (Foto: Antara)

KBR, Jakarta- Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebut pemerintah tidak mengindahkan peringatan tentang kekurangan vaksin yang telah diajukan distributor dan produsen vaksin di Indonesia. Ketua Umum IDI, Ilham Oetama Marsis memaparkan, ada ketidakseimbangan pengaturan stok vaksin oleh pemerintah.

"Seharusnya warning kekurangan (vaksin) yang dimulai tahun 2011 itu, harusnya diantisipasi oleh pemerintah. Pemerintah itu harus membuat perecanaan yang jauh ke depan. Kalau memang, misalnya, kebutuhan dalam negeri itu meningkat, tentunya ekspor perlu direduksi. Mata rantai pengaturan ini yang tidak baik dilakukan oleh pemerintah," ungkap Marsis, Senin (18/07/2016).

Marsis menduga adanya tumpang tindih tugas antar Direktorat Jenderal Pelayanan Farmasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pemeriksa Obat dan Minuman (BPOM). Seharusnya, sambung Marsis, jika tumpang tindih tugas ini tidak ada, maka kasus vaksin palsu ini tidak ada.

"Ini adalah suatu salah urus. Masalah ini (vaksin palsu) saya mengharapkan dari Kemenkes dan BPOM akan melakukan introspeksi (tentang) apa yang harus diperibaiki tekait kinerja di antara kedua badan tersebut," tukasnya.

Dokter Adalah Korban

Dalam pernyataan sikap gabungan oleh IDI, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), dan Asoisasi Rumah Sakit Swasa Indonesia (ARSSI) tertulis, dokter atau fasilitas pelayanan kesehatan (fasankes) adalah korban dari oknum pemalsu vaksin dan meminta pemerintah untuk tidak membiarkan dokter atau fasankes menghadapi keluhan masyarakat tanpa adanya jalan keluar yang ditetapkan oleh pemerintah. Dokter, tambah Marsis, dalam hal ini hanyalah pengguna.

"Kalau memang misalnya dokternya itu membeli dari jalur yang tidak ditetapkan, tentu dia salah karena dia menggunakan vaksin yang tidak jelas dalam pengadaannya. Tapi, percaya sama saya, tidak ada satu pun dokter yang menggunakan (vaksin) itu palsu. Jadi, (kasus ini) karena ketidaktahuan," tutur Marsis.

Dalam pernyataan sikap gabungan tersebut, IDI, PERSI, dan ARSSI mendesak Kemenkes dan BPOM bertanggungjawab atas implikasi negatif akibat tidak baiknya protokol penanganan vaksin palu. Marsis mengatakan, kasus vaksin palsu ada dalam ranah pemerintah dan kewajiban pemerintah untuk menyelesaikannya.

"Jangan karena kinerja yang kurang "baik", kemudian dilimpahkan suatu tanggung jawab ke dokter dan rumah sakit," tutup Marsis.

Editor: Dimas Rizky 

  • vaksin palsu
  • dokter
  • IDI

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!