KBR, Jakarta - Komnas HAM mengatakan Kepolisian Daerah Jogja tidak memiliki bukti kuat untuk menahan delapan orang mahasiswa Papua. Satu orang di antaranya dijadikan tersangka. Keterangan dari kepolisian, dia dituduh memukul aparat.
Kordinator Sub Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Natalius Pigai mengatakan alasan polisi menahan mereka tidak jelas. Natalius juga membeber temuan peristiwa kekerasan terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta.
"Mereka (mahasiswa Papua) mau ke asrama, tiba-tiba motornya ditahan. Mereka bukan pengurus organisasi, mereka juga bukan orang yang terlibat dalam menggerakkan kegiatan ini. Mereka sama sekali tidak tahu. (Apa alasan kepolisian?) Mengamankan untuk mendapatkan keterangan. (Yang menjadi tersangka?) Katanya satu, dia pukul polisi. Hebat sekali di tengah baracuda begitu bisa pukul polisi," kata Natalius Pigai dalam keterangan kepada wartawan di di kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat(22/7/2016).
Meski menangkap dan menetapkan tersangka, Natalius Pigai mengatakan, hingga kini polisi tidak bisa menunjukkan alat bukti yang kuat.
Hal ini dinilai Komnas HAM telah melanggar Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No 12 Tahun 2015 yang meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik.
Natalius mengatakan apa yang dilakukan polisi tidak sesuai prinsip hukum yang berkeadilan dan non diskriminatif.
Terkait kejadian di asrama mahasiswa Papua pekan lalu, Komnas HAM mencatat ada delapan pelanggaran HAM yang dilakukan kepolisian, organisasi kemasyarakatan, dan pemerintah.
Ungkapan Kebencian
Selain menangkap tanpa alat bukti kuat, polisi juga dinilai melakukan pembiaran ketika ada ungkapan kebencian (hatespeech) yang dikeluarkan ormas-ormas tertentu mengenai mahasiswa Papua.
Bukti foto dan video yang dimiliki Komnas HAM juga menunjukkan ada anggota polisi yang melakukan tindakan kekeraan kepada mahasiswa Papua di luar lingkungan asrama mahasiswa di Kamasan. Mereka juga dinilai telah membatasi kebebasan berekspresi para mahasiswa.
"Berekspresi ini kan telah dilindungi undang-undang. Apapun kontennya. Masalah nanti kontennya ternyata dilarang, itu kan bisa dipidanakan. Ini belum ada penyampaian, sudah dibeginikan," lanjut Natalius.
Selain polisi, hari itu massa dari gabungan beberapa ormas juga mendatangi asrama. Mereka meneriakkan ungkapan kebencian berupa makian rasis saat pengepungan asrama mahasiswa Papua. Temuan Komnas HAM, mereka menyerukan kata-kata seperti monyet, biadab, dan hitam.
Menurut Natalius, kondisi yang mengancam mahasiswa Papua ini belum mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah. Bahkan, Pemda Yogyakarta seolah membiarkan tindakan rasisme terhadap mahasiswa.
Koran Kedaulatan Rakyat edisi Rabu (20/7/2016) silam, memuat pernyataan Gubernur Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono yang mengatakan separatisme tidak boleh ada di Yogyakarta.
Editor: Agus Luqman