BERITA

Mempelajari Pemikiran Buya Syafii Lewat Buku ‘Muazin Bangsa dari Makkah Darat’

"KBR, Jakarta- Maarif Institute, sebuah lembaga pemikiran yang didirikan Buya Syafii, belum lama ini mengeluarkan buku berjudul “Muazin Bangsa dari Makkah Darat”."

Sindu Dharmawan

Mempelajari Pemikiran Buya Syafii Lewat Buku ‘Muazin Bangsa dari Makkah Darat’
Tokoh Nasional Buya Syafii Maarif

KBR, Jakarta- Maarif Institute, sebuah lembaga pemikiran yang didirikan Buya Syafii, belum lama ini mengeluarkan buku berjudul “Muazin Bangsa dari Makkah Darat”. Ini adalah kado ulang tahun ke-80 bagi Buya Syafii.

Melalui buku ini kita bisa belajar banyak dari sosok guru bangsa ini. Apalagi saat ini tak banyak warga negara senior yang begitu dihormati dan mendapat pengakuan publik sebagai guru bangsa. Sepeninggal tokoh-tokoh besar seperti: Prof Nurcholis Madjid atau Cak Nur, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Mungkin, Buya Syafii lah yang kini menjadi guru bangsa yang tersisa, tanpa bermaksud menafikkan nama dan tokoh lainnya.

Peneliti dari Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) Ahmad Najib Burhani, adalah salah satu tim editor buku Biografi Ahmad Syafii Maarif. Sepengetahuannya, Buya adalah sosok yang memegang dua hal sejak dulu hingga kini.

“Buya kokoh menegakkan moralitas dan kemanusiaan. Sejak dulu dalam konteks politik, organisasi Muhammadiyah, dan di dalam masyarakat secara umum adalah orang yang menjadi lampu dan petunjuk bagi masyarakat tentang seperti apa ketika Al-Quran itu diterjemahkan dalam kehidupan sehar-hari,” jelas pria berkacamata ini, Rabu, (8/7/2015).

Moralitas yang diterapkan Buya Syafii, imbuh Ahmad Najib, sangat berbeda dengan moralitas yang selama ini kerap dikoarkan berbagai pihak. Moralitas yang ditunjukkan Buya, terang Ahmad Najib, lebih general, tidak terkotak dan tidak sempit.

“Arti moralitas bagi Buya Syafii adalah memiliki kepedulian, memiliki sikap yang baik, tapi tidak dibatasi oleh kotak tertentu, dan terbuka bagi semua umat manusia. Kalau umpamanya yang buruk itu sahabatnya, bahkan anaknya dia akan bilang, teriak. Kalau yang buruk itu dirinya dia akan bilang. Tetapi, kalau umpamanya dia hanya menunjuk hidung orang ketika orang itu buruk, itu bukan bagian dari moralitas dan kemanusiaan.”

Hal senada disampaikan bekas Direktur Maarif Institute, Raja Juli Antoni, yang kini menjadi Sekjen di Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Berdasarkan apa yang diketahuinya selama mengenal Buya Syafii, perkataan Buya selalu senada dengan perilakunya. Dalam beberapa pidato yang banyak menginspirasi banyak anak muda islam,  Buya, terang Raja Juli, mengatakan bahwa politik Islam itu semestinya menjadi politik garam, bukan politik gincu.

“Tidak hanya indah ketika terlihat orang, tetapi garam. Garam itu tidak terlihat, tetapi ketika terlarut dalam air, tapi dia terasa. Dia mengajarkan Islam yang tidak simbolik. Islam yang sejati. Orang dihitung sebagai Islam bukan karena jidatnya hitam, atau berjenggot. Tetapi memang nilai keislaman yang dipahami dan diinternalisasi.”

Sebagai tokoh Islam yang saat ini dikagumi, Buya Syafii awalnya bukanlah seorang yang bisa dikatakan pluralis, dan luas pemikirannya. Buya, tutur Ahmad Najib mengulang kembali apa yang pernah diceritakan Buya kepadanya, menyebut dirinya sendiri adalah seorang fundamentalis.

Ini ditunjukkan dalam salah satu bukunya. Saat pergi ke Amerika untuk belajar melalui salah satu guru yang dikaguminya: Prof. Fazlul Rohman. Ia berasal dari Pakistan, namun hampir seluruh karir akademiknya ia habiskan di Universitas Chicago.

Pada pertemuan itulah, kata Ahmad Najib, sempat terucap oleh Buya kepada gurunya tentang keinginannya mengubah Indonesia menjadi Negara Islam. Namun, lambat laun menimba ilmu dan memperluas wawasannya dengan guru-gurunya, terutama Fazlul Rohman, Buya mengalami perubahan drastis.

“Dia bukan lagi orang mencita-citakan pendirian Negara Islam. Bahkan dia bilang,’Untuk apa kita mendirikan Negara Islam di Indonesia. Hampir semua yang ada di Indonesia itu Islam. Dari UU-nya, penduduknya, Pancasilanya. Ini sudah Islam. Yang kita benahi itu orangnya.’ Oleh karena itu tidak perlu menjadikan sesuatu, seperti kata Toni tadi, lipstik, atau menekankan namanya, tapi tidak ada substansinya.”

Buku berjudul ‘Muazin Bangsa dari Makkah Darat’, jelas Ahmad Najib, menggambarkan sosok Buya yang tak ingin menjadi imam, tapi lebih memilih sebagai pemanggil atau Muazin, yang selalu mengajak orang salat, mengajak orang mengingat tentang nilai-nilai agama, nilai-nilai panggilan Tuhan. Buya, selalu melakukan itu.

“Sementara Makkah Darat itu istilah yang mengacu pada asalnya Buya, Sumpur Kudus, Sumatera Barat, yang dulu dalam literatur lama disebut sebagai Makkah Darat, ada Serambi Mekkah. Ini sebuah lokasi yang katakan di situ tempat berkumpulnya orang-orang yang taat beragama.”

Dalam kehidupan sehari-hari, Buya adalah sosok yang sangat menghargai perempuan. Namun, soal gender ini memang jarang dielaborasi dalam kehidupannya. Namun, kata Raja Juli, Buya memilih mempraktikkannya.

“Buya terlibat dalam urusan domestik. Memasak sendiri, mencuci bajunya sendiri, meski dia seorang public figure. Padahal, istrinya bukan bekerja di sector public. Ini hal yang menarik dari Buya.”

Di usia Buya yang sudah senja, kedua orang dekat Buya khawatir tentang siapa yang akan menjadi penerus pemikiran-pemikirannya, serta cita-citanya yang belum tersampai.

Editor: Malika

  • buya syafii maarif
  • Maarif Institute
  • Muazin Bangsa dari Makkah Darat
  • Toleransi
  • Agama dan masyarakat
  • petatoleransi_06DKI Jakarta_biru

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!