KBR, Jakarta- Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memancing pemerintah daerah semakin mengeluarkan kebijakan yang bermasalah terutama di Perda yang mengatur soal agama. Direktur KPPOD, Endi Jaweng memprediksi akan semakin banyak aspirasi lokal yang akan diatur dalam level kebijakan daerah, dengan mengatasnamakan otonomi.
Menurut dia, kebijakan seperti itu sangat kuat dipengaruhi sentimen primordial yang kecenderungannya menguat di daerah.
“Kemendagri harus benar-benar mengoptimalkan apakah biro hukumnya, atau
direktorat hukum daerah, untuk mencegah semua itu di level rancangan.
Membendung di hulu, karena jika itu sudah jadi produk Perda, itu akan
menjadi ranah Mahkamah Agung menguji dan membatalkan sesuatu yang besar
kemungkinan tidak akan maksimal jika ditangani MA,” katanya saat
dihubungi KBR, Rabu (14/06/17)
Endi Jaweng menambahkan, urusan agama itu tidak menjadi urusan daerah, karena ranah agama itu selalu absolut kewenangan pemerintah Pusat. Menurut dia, pemerintah daerah tidak dibenarkan mengatur agama tertentu di satu daerah.
“Tiap agama itu urusan privat warga negara, kalau pun ada pengaturan teknis, itu ranahnya pemerintah pusat. Pemerintah harus tegas. Sentimen lokal menguat, peluang meloloskan Perda semakin besar. Butuh ketegasan akan hal ini,” jelasnya.
Sepanjang 2010 hingga 2016 KPPOD mencatat setidaknya ada 5 ribuan Perda bermasalah di masing-masing daerah kota/kabupaten dan provinsi.
Kekhawatiran itu disuarakan Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Menurut Juru Bicara JAI Yendra Budiana, keputusan MK membuat peran dan kewenangan pemerintah daerah makin besar.
"Saya hanya membayangkan lalu bagaimana bukan hanya masalah agama, tetapi juga persoalan yang lain. Kalau pemerintah daerah itu membuat aturan yang bertentangan dengan pemerintah pusat. Tentu akan sangat berbahaya, kebijakan tentu tidak akan terintegrasi dan sejalan," jelas Juru Bicara JAI Yendra Budiana saat dihubungi KBR, Rabu (14/6/2017).
Yendra Budiana menambahkan, ada beberapa provinsi yang mengeluarkan aturan soal pembatasan jemaat Ahmadiyah, seperti di Jawa Barat dan Jawa Timur. Namun kata dia, hanya di provinsi Jawa Barat dan kota Depok aturan tersebut dijalankan dengan represif.
"Tidak hanya di Jawa Barat, Jawa Timur juga ada. Namun masalahnya aturan tersebut diterbitkan di beberapa daerah namun tidak diikuti eksekusinya langsung pada tindakan represif pelarangan beribadah. Yang sangat spesial itu di Kota Depok, peraturan itu langsung aktornya pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah kota Depok. Di daerah lain dilarang tetapi tidak melakukan penyegelan masjid. Tapi kalau di Depok aktornya adalah pemerintah kota Depok," ungkapnya.
Sementara itu Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan memperketat pengawasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda), pasca Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut kewenangannya membatalkan Perda Provinsi. Menurut Kepala Biro Hukum Kemendagri, Widodo Sigit, saat ini masih banyak Perda yang bermasalah di berbagai daerah. Terutama Perda yang menghambat invetasi dan intoleransi.
Widodo belum menghitung ada berapa Raperda yang kini diawasi kementeriannya.
"Kedepan yang kita perkuat itu. Jadi saat menyusun Raperda Kemendagri akan memperkuat di situ. Artinya memperkuat itu mendalami terutama substansi dan aturan hukumnya," ujarnya kepada KBR, Selasa (14/6/2017).
Kemendagri, kata Widodo sudah membatalkan 3.143 Perda dan peraturan kepala daerah yang dinilai bermasalah. Saat ini, kementeriannya terus mendata Raperda mana yang bisa berbenturan dengan UU ataupun merugikan masyarakat lainnya.
"Staf saya sedang kita kirimkan semua, perkiraan kita cukup banyak. Hampir merata di Indonesia. Contoh orang melarang jualan alhokol. Sementara di UU boleh, tapi harus selektif dengan catatan," ujar dia.
Sebelumnya Ketua MK Arief Hidayat mengatakan, roduk legislasi daerah tidak bisa dibatalkan oleh eksekutif. Sehingga apabila ada Perda bermasalah bisa dilakukan uji materi kepada Mahkamah Agung.
"Sebetulnya bisa dilakukan executive review kalau Perda itu waktu masih menjadi draf itu Kementerian Dalam Negeri melalui biro hukumnya atau tim yang menyusun Perda di deerah bisa masuk dari situ," kata Arief di Masjid Baiturahman, Komplek Parlemen RI, Rabu (14/06/17).
Ia melanjutkan, "Tapi kalau sudah diputuskan jadi Perda, sudah disetujui oleh DPRD dan Pemerintah Daerah maka itu menjadi kewenangan judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Agung."
Arief mengatakan, putusan MK tersebut tidak berlaku untuk keputusan atau peraturan yang dikeluarkan Kepala Daerah. Kementerian Dalam Negeri bisa membatalkan keputusan atau peraturan yang dikeluarkan Walikota, Bupati maupun Gubernur.
"Ada perbedaan. Peraturan Walikota dibuat oleh Walikota. Sedangkan Peraturan Daerah dibuat oleh DPRD dan Pemerintah Daerah," jelasnya.
Dalam putusan MK ini, Arief bersama tiga Hakim Konstitusi lainnya berada pada posisi disenting. Menurut dia, Pemerintah Daerah merupakan bagian Pemerintah Pusat. Sehingga secara hirarki Pemerintah Pusat bisa membatalkan Peraturan Daerah.
"Meskipun disenting kami ikut keputusan," ujarnya.
Editor: Rony Sitanggang