KBR, Jakarta- Koordinator penyelenggara sidang rakyat kasus 65 (IPT'65), Nursyahbani Katjasungkana mendesak pemerintah segera membentuk Komite Kepresidenan guna menyelesaikan tragedi kemanusiaan 1965.
Hal ini disampaikan Nursyahbani menanggapi rencana penggabungan hasil Simposium tragedi 1965 yang digelar April lalu dengan simposium tandingan yang digelar purnawirawan TNI hari ini.
Kata dia, hasil dari kedua simposium ini tidak akan mungkin bisa digabungkan karena berbeda metodologi. Simposium tragedi 1965, kata Nursyahbani berdasarkan metodologi kesejarahan, sementara simposium tandingan berdasarkan ideologi.
Komite Kepresidenan, kata Nursyahbani, nantinya dapat melakukan pengecekan fakta dari kedua simposium terkait 65 tersebut. Sehingga, upaya penyelesaian pemerintah terhadap tragedi 65 bisa diambil dengan tepat.
"Ada semacam audit lah terhadap fakta-fakta. Bagi saya itu relevansi yang utama adalah perikemanusiaan itu, apakah itu di kalangan kyai NU, Masyumi ataupun di kalangan PKI kalau dilakukan kekerasan apa itu dalam bentuk kekerasan seksual, penahanan sewenang-wenang, perbudakan dan itu dibiarkan oleh negara. Atau bahkan dilakukan aparat negara, langsung atau tidak langsung itu kan kejahatan kemanusiaan," imbuhnya.
Ia juga menambahkan simposium tandingan tersebut semakin membuktikan ada tekanan yang kuat dari TNI dan Ormas lainnya terhadap panitia simposium tragedi 65 dan Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan
Sebelumnya, sejumlah organisasi masyarakat dan purnawirawan TNI menyatakan ketidakpuasan terhadap penyelenggaran Simposium Nasional 1965 yang digelar oleh pemerintah, pertengahan April lalu. Mereka lantas menggelar simposium tandingan di Balai Kartini Jakarta.
Editor: Malika