BERITA

Mengukur Ikhtiar Bondowoso Menjadi Republik Kopi

"Sejarah yang membuktikan Bondowoso sebagai salah satu daerah penghasil kopi berkualitas."

Friska Kalia

Pekerja memasukkan biji kopi yang sudah disortir ke mesin pengupas (pupler) di Unit Pengolahan Hasil
Pekerja memasukkan biji kopi yang sudah disortir ke mesin pengupas (pupler) di Unit Pengolahan Hasil (UPH) Desa Sukorejo, Kecamatan Sumber Wringin, Bondowoso. (Foto : KBR/Friska Kalia)

KBR, Bondowoso - Kabupten Bondowoso, Jawa Timur belakangan gencar menggemakan jargon anyar mereka; Republik Kopi. Sebutan baru ini dipilih lantaran pemerintah kabupaten ingin memperkenalkan kopi sebagai ikon baru Bondowoso.

Bupati Bondowoso, Amin Said Husni menuturkan, jargon itu dipilih bukan tanpa alasan. Setidaknya, kata dia, sejarah menyebutkan bahwa kabupaten ini merupakan salah satu daerah pernghasil kopi berkualitas.

"Sejak zaman Belanda, Bondowoso memang telah dikenal dengan kopinya yang berkualitas. Ditambah lagi sejak 2011 kopi Bondowoso sudah diekspor dan telah mendapat sertifikat Indikasi Geografis (IG) dari KemenkumHAM," kata Amin Said Husni saat mendeklarasikan jargon Republik Kopi beberapa waktu lalu.

Indikator lain yang membuat Bondowoso layak disebut sebagai Republik kopi adalah karena banyaknya kebun percontohan komoditas ini.

"Adanya kebun percontohan milik Puslitkoka Indonesia yang terletak di Desa Andung Sari, Bondowoso, itu yang mendorong saya menyematkan slogan ini," imbuhnya.

Dia pun menjelaskan, kebun kopi di lereng Ijen yang kala itu dikuasai Belanda terkenal dengan cita rasa yang khas. Kini, ribuan hektar kebun kopi tersebut beralih menjadi kebun milik negara yang dikelola PTPN XII.

Namun di sisi lain, lanjutnya, kebun kopi rakyat juga menggeliat. Di bawah tegakan Perhutani, kebun kopi rakyat mulai dikelola serius oleh warga sejak awal 1980-an.

Puncaknya, pada 2011 lalu pemerintah Kabupaten Bondowoso melirik potensi itu. Kopi hasil kebun rakyat, dengan luasan lahan yang mencapai 13 ribu hektar itu mampu diekspor ke berbagai negara di dunia. Kini, berbekal sejarah dan potensi itu, Bondowoso dengan percaya diri mengusung jargon Repubik Kopi.


Fakta Baru

Namun, apakah sudah benar-benar pantas Bondowoso menyandang status sebagai Republik Kopi hanya dari indikator tersebut?

Internal Control Sistem PT. Indocom Citra Persada, Akhmad Wijaya membeberkan fakta baru mengenai Kopi Bondowoso. Akhmad menjelaskan, selama ini kopi asal Bondowoso sesungguhnya masih sulit menemukan pasar untuk ekspor. Kata dia, hal itu lantaran belum banyak konsumen dari berbagai negara yang akrab dengan nama Kopi Ijen Raung.

PT. Indocom Citra Persada merupakan eksportir kopi pertama yang memasarkan kopi Bondowoso ke luar negeri.

Selain itu, lanjut Akhmad, Kopi Bondowoso belum memiliki sertifikat organik dan Rain Forest yang menjadi kekuatan nilai jual kopi bagi calon importir. Inilah yang dianggap sebagai kelemahan dalam strategi bersaing Kopi Bondowoso dengan kopi dari daerah lain.

“Kalau soal cita rasa tentu kopi Bondowoso tidak diragukan. Tapi sebelum ke cita rasa, konsumen akan memastikan beberapa hal. Kopi Bondowoso belum punya sertifikat Rain Forest dan sertifikat Organik sehingga untuk masuk pasar ekspor butuh kerja keras,” ungkap Akhmad Wijaya.

Dia pun menjelaskan, belajar dari daerah penghasil kopi di Indonesia, sebagian besar telah memiliki sertifikat dari berbagai lembaga. Beberapa Lembaga yang mengeluarkan sertifikasi di antaranya Fair Trade oleh Fair Trade Labeling Organization (FTLO) yang berbasis di Born, Jerman.

Sementara Sertifikat Organik terdiri atas Control Union (CU), IMO, Ceres dan sertifikat Rain Forest.

“Kopi Bondowoso belum punya itu. Kami berharap jika memang serius, upayakan agar sertifikat itu bisa diraih. Itu akan sangat membantu pasar ekspor kopi Bondowoso ke berbagai negara,” imbuhnya.

Menurut catatan Indocom, pamor kopi dari dataran Ijen Raung belum mampu menandingi kopi-kopi dari daerah lain di Indonesia. Meski begitu, perusahaan ini masih berupaya memasarkan kopi Java Ijen Raung ke berbagai negara, tanpa mengubah nama dan daerah asal kopi. Sebab Akhmad mengklaim, komitmen serupa juga dilakukan perusahaannya untuk usaha ekspor kopi-kopi dari daerah lain.

“Kami percaya bahwa setiap kopi punya tempatnya sendiri. Maka siapapun bisa memastikan bahwa kopi Bondowoso yang kami ambil dari petani, akan sampai di konsumen tetap dengan nama kopi Bondowoso. Tidak ada yang dimanipulasi,” ujarnya.


Peta Jalan Republik Kopi

Jargon Republik Kopi memunculkan pertanyaan besar tentang target Pemkab Bondowoso terhadap komoditas ini. Mengingat sebelumnya, Bondowoso juga mengusung sejumlah jargon yang diklaim sebagai identitas kabupaten, di antaranya Kota Tape, Kota Kembang, Bondowoso Pertanian Organik (Botanik), dan The Highland Paradise, hingga kini yang terbaru adalah Republik Kopi.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Muhammad Erfan, kepada KBR mengakui bahwa Bondowoso sebetulnya belum memiliki Grand Design (rencana induk) tentang Republik Kopi. Sejak deklarasi Bondowoso Republik Kopi pada Mei 2016 lalu, peta jalan pengembangan kopi Bondowoso belum jelas.

“Itu belum ada memang. Kami belum menemukan sesuatu yang tepat karena masih pembahasan,” ungkap Muhammad Erfan.

Erfan berharap, jargon ini tak hanya euforia belaka. Dia pun menyarankan kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lain untuk turut menyukseskan dan memperkenalkan kopi khas Bondowoso.

“Ini bukan hanya program Dishutbun tapi seluruh SKPD. Instruksi Bupati begitu. Jadi sudah seharusnya dijalankan oleh semua sektor mulai dari perdagangan, pariwisata, hingga promosinya,” ujarnya.

Erfan melanjutkan, upaya mewujudkan jargon "Republik Kopi" tak mungkin terwujud jika hanya dilakukan dinasnya. Maka kerja sama lintas satuan kerja perangkat daerah mutlak diperlukan. Sehingga "Republik Kopi" tak bernasib sama dengan jargon-jargon sebelumnya.

“Silakan Dinas Pariwisata manfaatkan bagaimana potensi wisatanya, Dinas Perdagangan bagaimana pembinaan kepada pengusaha warung kopi, Humas bagaimana promosinya,” bebernya.

Sementara Dinas Kehutanan dan Perkebunan, kata Erfan, akan fokus pada pembinaan petani untuk menjaga bahkan meningkatkan kualitas kopi Bondowoso.

“Ketakutan terbesar kami adalah dicabutnya Sertifikat Indikasi Geografis Java Ijen Raung. Setiap 2 tahun sekali ada pemeriksaan, jika cita rasa dan kualitas dianggap tak memenuhi standar, sertifikat IG itu bisa ditarik. Itu yang kami jaga,” ungkapnya.


Realita Kopi Bondowoso

Meski begitu, keinginan pemerintah daerah menjadikan Bondowoso sebagai sebuah republik kopi belum dirasakan masyarakat. Pasalnya, sebagian warga masih kesulian menemukan kopi khas Bondowoso yang disebut-sebut telah mendunia itu.

KBR mendatangi beberapa kedai kopi di kawasan pusat kota, Alun-alun Bondowoso. Dari sekian banyak kedai kopi, tak satupun yang menyediakan kopi khas Bondowoso. Alhasil, dapat dipastikan lidah para pelancong pun tak bisa mencecap kekhasan kopi kabupaten ini.

Mayoritas kedai ataupun kafe justru menjual kopi instan. Kalaupun sebuah kedai menawarkan kopi segar, sajian itu berasal dari kopi daerah lain seperti Toraja, Gayo, Mandailing atau Java Preanger. Kopi Ijen Raung? Nanti dulu.

Untuk memastikan ini, KBR mencoba menyambangi salah satu kafe di Kantor Radio Mahardhika. Letaknya tepat berada di pusat kota Bondowoso. Kafe ini menyajikan kopi, namun toh Kopi Ijen Raung tetap tak bisa dijumpai. Menurut Direktur Utama Radio Mahardhika, Probo Nugroho, kafe yang berada tepat di depan pendopo Kabupaten ini memang tak menyajikan kopi lokal.

“Kafe di radio itu bukan saya yang mengelola, jadi berbeda dengan manajemen radio yang dikelola Pemerintah Kabupaten. Nanti akan saya sampaikan ke pengelola untuk menyediakan kopi lokal,” kata Probo Nugroho.

Hal serupa juga terjadi saat KBR mengunjungi kafe milik Pemkab Bondowoso. Masih dari kawasan alun–alun kota, tempat yang diklaim sebagai pusat oleh-oleh khas Bondowoso itu juga tak menjual kopi lokal sebagai tawaran buah tangan. Padahal, lokasi ini dikelola oleh Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan (Diskoperindag).

Tak hanya kesusahan menemukan outlet ataupun toko yang menjual kopi Bondowoso. Wisatawan yang ingin membawa pulang kopi, baik dalam bentuk biji maupun bubuk harus mengeluarkan usaha ekstra. Sebabnya, kopi khas Bondowoso ini hanya bisa dibeli dengan cara menemui langsung sang petani di Kecamatan Sumber Wringin. Dan, untuk mencapainya dibutuhkan waktu sekira 1,5 jam dari pusat kota.

Geliat kopi di kabupaten ini rupanya tak semoncer yang digaungkan Pemerintah Kabupaten. Faktanya, pengusaha kopi lokal seolah tak perlu alot bersaing berebut konsumen.

Sementara petani kopi, lebih memilih memasarkan produk secara mandiri dengan mengemas dan menjual langsung ke pembeli yang datang. Mat Hosen, adalah salah satunya.

“Saya punya pelanggan di Jakarta, Bali dan Surabaya. Jadi saya kirim kesana. Kalau di Bondowoso belum ada,” ungkap Mat Hosen.

Selain menjual kopi langsung ke para eksportir, Mat Hosen dan beberapa petani lain memilih memproduksi bubuk kopi untuk dipasarkan secara mandiri. (ika)

  • kopi bondowoso
  • republik kopi
  • Ekspor Kopi Bondowoso
  • Bondowoso
  • Bupati Bondowoso Amin Husni
  • Amin Said husni

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!