HEADLINE

Maarif Institute Serahkan 3 Penghargaan Tahun Ini

"Mereka adalah Budiman Maliki asal Poso, Josef Matheus Rudolf Fofid asal Ambon, dan Institute Motinsuwu asal Poso"

Ade Irmansyah

Maarif Institute Serahkan 3 Penghargaan Tahun Ini
Konferensi pers Maarif Institute di Jakarta, Minggu (12/6/2016). Foto: Ade Irmansyah

KBR, Jakarta - Maarif Institute kembali memberikan penghargaan tahun ini kepada individu dan institusi yang dinilai berhasil menggerakkan atau menginspirasi perubahan sosial di tingkat lokal yang berbasis dengan nilai-nilai kebhinekaan. 

Salah seorang dewan juri Maarif Award 2016, Endy M Bayuni mengatakan, fokus Maarif Award adalah menggali model-model praktek keteladanan dan kepemimpinan sosial yang dibangun para aktivis lokal dalam koridor memperjuangkan kebhinekaan, anti kekerasan, dan anti diskriminasi.

"Award ini adalah upaya untuk menemukan orang-orang biasa dengan karya sosial dan kemanusiaan yang luar biasa. Mereka merupakan para pejuang di jalan sunyi, jauh dari hingar bingar publikasi. Mereka berkarya ditengah keterbatasan bahkan penentangan dan seringkali melawan arus. Ini yang membuat mereka luar biasa," ujarnya kepada wartawan saat jumpa pers di Jakarta.

Ia menambahkan penilaian Maarif Award tahun ini ditambahkan dua kriteria yang tidak ada dalam award sebelumnya yaitu perdamaian dan perspektif gender. "Kandidat lain banyak, tapi yang memenuhi kriteria soal perdamaian dan keragaman itu lebih banyak dari daerah yg penuh konflik," tambahnya. 

Karena itu, kata dia, dewan juri memberikan 3 pengharggan kepada 2 orang individu dan satu institusi yang telah berjuang merawat kebhinekaan yang sempat terkoyak oleh konflik sesama anak bangsa. 

"Mereka adalah Budiman Maliki asal Poso, Sulawesi Tengah, Josef Matheus Rudolf Fofid asal Ambon, Maluku, dan Institute Motinsuwu asal Poso, Sulawesi Tengah," ujarnya.

Kata dia, Budiman Maliki adalah seorang individu pejuang hak dasar layanan masyarakat Poso. Dia seorang aktivis yang rela tak mengambil gajinya demi menutupi biaya operasional kantor perdamaiannya.

"Ekonomi rumah tangganya ia tutupi dengan berjualan es lilin dari warung ke warung di pagi hari. Dia aktivis yang rela konsisten saat teman seangkatannya sudah beralih profesi menjadi kontraktor, PNS bahkan politisi. Satu hal yang sulit didaerah pasca konflik," jelasnya.

Sementara, Josep Matheus Rudolf Fofid adalah seorang penyintas dari konflik kekerasan di Ambon yang meyakini bahwa perdamaian adalah jalan hidup. Kata dia, ayah dan kakak perempuan Rudolf Fofid merupakan salah seorang korban dari konflik Ambon beberapa tahun silam.

"Menurutnya yang membunuh ayah dan kakanya adalah korban juga, sama seperti dirinya. Dia bersama dengan anak-anak muda Ambon dengan beragam aktifitas dari sastra hingga musik hip-hop bersama-sama mengabarkan perdamaian di Ambon," ujarnya.

Yang terakhir kata dia, penghargaan diberikan kepada LSM Mosintuwu Instite. Kata dia, lembaga ini mampu mentransformasikan kekuatan perempuan menjadi gerakan pembaharuan di Poso.

"Motinsuwu adalah bukti bahwa perempuan-perempuan penyintas konflik Poso mampu menjembatani konflik, mengurai dendam dan memahami perbedaan untuk kemudian bersama membangun Tanah Poso melalui desa."

Editor: Sasmito

  • Maarif Institute
  • penghargaan
  • keberagaman
  • poso

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!