KBR, Jakarta- Kementerian Pertanian belum mendapat laporan soal konflik tenurial yang melibatkan Orang Rimba dengan PT Bahana Karya Semesta (PT BKS)di Jambi. Kata Direktur Jenderal Perkebunan Kementan, Gamal Nasir, akan segera berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah serta pihak lain seperti BPN, dan Kepolisian untuk menanganinya.
Gamal berharap perusahaan memberi ruang kepada Orang Rimba di dalam konsesi perkebunan mereka.
"Harusnya Pemda tanggap terhadap itu. Diajak perkebunannya membuat ruanglah untuk mereka agar tidak mengganggu perkebunan. Kan tanah masih banyak, dibuatlah suatu kawasan untuk mereka (orang rimba-red)," ujar Gamal kepada KBR, Senin (6/6/2016)
Gamal menambahkan, regulasi yang mengatur masyarakat adat sudah tertuang dalam UU Perkebunan no 39 tahun 2014. Ia mengacu pada Pasal 12 ayat (1) UU Perkebunan yang menyebutkan, “Dalam hal tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat, pelaku usaha harus melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya”.
"Selama itu berkeadilan ya pemerintah menghargai itu. saya harap perusahaan itu aktif menyelesaikannya," pungkasnya.
Terkait UU Perkebunan yang disebut Gamal, Mahkamah Konstitusi (MK) April lalu menggelar sidang pengujian Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan) untuk menguji beberapa pasal di UU Perkebunan tersebut.
Pemohon adalah sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang peduli nasib petani kecil, di antaranya Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Perkumpulan Sawit Watch (PSW), Aliansi Petani Indonesia (API) dan Serikat Petani Indonesia (SPI). Menurut Pemohon, pelaksanaan musyawarah pelaku usaha dengan masyarakat adat tidak seharusnya diatur dalam peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Undang-Undang No. 39 Tahun 2014. Karena hukum masyarakat adat telah mengatur dalam hukum mereka sendiri.
Komunitas Konservasi Indonesia KKI Warsi menuntut penyeleseian hukum adat secara keseluruhan, bukan parsial pada kasus kekerasan orang rimba oleh anak perusahaan Sinar Mas Grup, PT Bahana Karya Semesta, Kamis pekan lalu. Menurut Manajer Komunikasi KKI Warsi, Rudi Syaff, surat perdamaian yang dibuat kepolisian, perusahaan dan perwakilan warga tidak memihak Suku Anak Dalam SAD.
Kata Rudi, surat itu menyatakan orang rimba dilarang menginjakkan kakinya lagi ke wilayah perusahaan. Saat ini, kata Rudi, orang rimba tinggal di Sungai Terap, sambil menunggu pertemuan lanjutan antara kepolisian, perusahaan dan SAD.
"Sementara ini belum ada kabar lebih lanjut, kami menunggu. Kami sepakat penggunaan hukum adat untuk keseluruhannya, bukan kasus penusukannya. Berarti kalau penggunaan hukum adat untuk wilayah, menentukan wilayah hidupnya," ujarnya kepada KBR, Senin (6/6/2016).
Saat ini kondisi dua orang rimba yang ditusuk sudah membaik dan sudah dipulangkan kemarin. Perusahaan juga sudah memberikan ganti rugi kepada orang rimba, yang harta mereka dibakar dalam bentrokan lalu.
Sebelumnya, suku anak dalam bentrok dengan satpam perusahaan PT BKS di Kecamatan Air Hitam Kecamatan Sarolangun. Kedua kubu terlibat bentrok saat satpam meminta orang rimba keluar kebun sawit dan dilarang memungut brondolan. Bentrok terjadi saat orang rimba hendak meninggalkan lokasi. Akibatnya, dua orang rimba ditusuk, lima sepeda motor rusak dan 1000 lembar kain orang rimba dibakar.
Hasil kesepakatan perdamaian antara Orang Rimba dengan
Perusahaan menyebut bahwa perusahaan akan membayar ganti rugi atas kejadian itu namun melarang mereka untuk kembali
mengambil hasil panen brondolan dan bermukim di areal perusahaan untuk
selamanya.
Editor: Rony Sitanggang