HEADLINE

Pengamat: Perusahaan Sawit Selalu Menghindar untuk Berurusan dengan Petani

"Direktur Eksekutif Sawit Watch, Jefri Saragih klaim perusahaan-perusahaan sawit di Indonesia yang memposisikan dirinya sebagai pihak ketiga ketika berurusan dengan pekerja atau petani mereka."

Perkebunan sawit (Foto: Antara)
Perkebunan sawit (Foto: Antara)

KBR, Jakarta – LSM Sawit Watch menuding perusahaan sawit di Indonesia selalu menghindar dari berurusan langsung dengan petani. 

Menurut Direktur Eksekutif Sawit Watch Jefri Saragih, ini dilakukan dengan cara perusahaan sawit memposisikan dirinya sebagai pihak ketiga ketika berurusan dengan petani atau pekerja. Contohnya, kata Jefri, adalah pada sistem penggunaan koperasi yang ditunjuk untuk bertanggung jawab atas nasib para petani sawit.

“Mereka selalu pakai outsource untuk mengurusi petani. Yang sering mereka gunakan itu petani jadi seakan-akan petani plasma tadi bentuk koperasi, nanti koperasi ini yang akan bertanggungjawab mengurusi mereka. Padahal sebenarnya, koperasi ini dikooptasi perusahaan juga,” jelas Jefri di Jakarta, Rabu (10/6/2015).

Jefri menambahkan, perusahaan-perusahaan sawit di Indonesia ada juga yang bekerja sama dengan perusahaan penyedia tenaga kerja atau buruh. Dengan begitu perusahaan sawit tidak perlu berurusan langsung dengan para petani tersebut. 

Jefri juga mempersoalkan, perusahaan-perusahaan sawit yang kerap membebankan hutang pembukaan lahan kepada para petani. Berdasarkan peraturan pemerintah, untuk membuka kebun baru diperlukan biaya sebesar Rp 60 juta per hektar, sementara untuk lahan peremajaan sebesar Rp 45 juta. Nantinya para petani tersebut diminta membayarkan uangnya ke perusahaan terlebih dahulu, baru pihak perusahaan membayarkan kepada bank yang bersangkutan.

Ia menilai kasus-kasus tersebut banyak terjadi di perusahaan sawit kelas menengah dengan kekuatan modal yang tidak terlalu besar. Hal ini, kata dia, membuat perusahaan tersebut rentan terhadap fluktuasi dari suku bunga bank.

“Utang swasta kan jangka pendek, bunga relatif tinggi dibanding pemerintah. Nah kalau dia misalnya utang 10-15 tahun, installment pertama di tahun awal, begitu dia dapat izin lokasi pasti langsung dibabat saja, kalau ada masyarakat di situ pasti langsung tekan dengan tentara, untuk menakut-nakuti,” kata Jefri. 

Terkait sejumlah permasalahan ini, Jefri berharap pemerintah menyediakan tempat pengaduan di tiap daerah untuk perkebunan sawit. Ia memberi contoh keberadaan tempat pengaduan tersebut seperti di Komis Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu adanya koordinasi sub perkebunan di tiap daerah. Kemudian untuk masalah kredit, Jefri meminta pemerintah untuk menerapkan secara tegas transparasi sistem kredit dan liability (hutang) pada perkebunan sawit.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian tahun 2014, 70 persen perkebunan sawit berada di Pulau Sumatera dan sisanya berada di Kalimantan.

Editor: Citra Dyah Prastuti 

  • sawit watch klaim perusahaan sawit enggan berurusan langsung dengan masyarakat
  • outsource untuk mengurus petani
  • perusahaan sawit enggan berurusan dengan petani

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!