KBR, Jakarta- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menilai polisi dan TNI bertindak sewenang-wenang menanggapi isu kebangkitan komunisme belakangan ini.
Ketua Perhimpunan Pembela AMAN Maluku Utara, Yahya Mahmud mengatakan semestinya polisi melakukan tindakan persuasif lebih dulu ketika menemukan ada indikasi pelanggaran aturan soal larangan komunisme.
Di samping itu, polisi juga harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung soal simbol-simbol maupun buku yang dilarang pemerintah. Padahal sampai saat, kata Yahya Mahmud, Kejaksaan Agung tidak menyatakan dan mengumumkan judul buku-buku kiri yang dilarang beredar di Indonesia.
"Kalau ada indikasi, mestinya melakukan pendekatan persuasif. Lalu, kalau ada barang bukti, temuan, lambang logo dan sebagainya, yang dilarang itu, itu kepolisian harus meminta tanggapan dari pendapat ahli. Itu satu. Lalu, polisi juga harus melakukan koordinasi dengan Kejaksaan. Sehingga ada persamaan persepsi terhadap simbol-simbol yang dicurigai merupakan kebangkitan dari paham marxisme atau leninisme itu," kata Yahya Mahmud kepada KBR, (16/5/2016).
Ketua Perhimpunan Pembela AMAN Maluku Utara, Yahya Mahmud menambahkan tanpa adanya keputusan dari Kejaksaan Agung atau para ahli, maka buku-buku yang disita polisi maupun TNI tidak bisa dijadikan alat bukti dakwaan atau dakwaan lemah.
Pernyataan itu disampaikan Yahya Mahmud terkait penangkapan yang dilakukan polisi melalui intelijen TNI di Ternate Maluku Utara terhadap sejumlah aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN.
Pekan lalu empat orang ditangkap intelijen TNI karena dianggap memiliki atribut dan buku-buku yang diindikasikan berbau PKI dan komunisme. Empat orang itu kemudian diserahkan ke Kepolisian Ternate. Polisi kemudian menetapkan dua orang diantaranya sebagai tersangka atas tuduhan penyebaran ajaran komunisme di muka publik.
Baca juga: Penangkapan dan Penyitaan Atribut PKI, TNI Langgar Konstitusi
Editor: Malika