HEADLINE

Korban Pelanggaran HAM 1965 Minta Pemerintah Ikuti Hasil Rekomendasi Simposium

" "Kalau saya bilang nilainya 6.5 atau 7, luluslah. Tetapi, di pemerintah jangan kemudian menjadi angka 5 lagi.""

Yudi Rachman

Korban Pelanggaran HAM 1965 Minta Pemerintah Ikuti Hasil Rekomendasi Simposium

KBR, Jakarta- Keluarga dan korban pelanggaran HAM 1965 berharap kesimpulan dan sikap pemerintah terhadap hasil simposium nasional tidak berbeda jauh dari rekomendasi yang sudah disampaikan. Anak DN Aidit, Ketua Partai Komunis Indonesia,  Ilham Aidit berharap Pemerintah   memiliki sikap yang sama dengan hasil rekomendasi tersebut.

Kata dia, jangan sampai, sikap pemerintah berbeda jauh dengan hasil dan rekomendasi yang disampaikan oleh tim perumus. Menurut dia, rekomendasi yang dihasilkan oleh tim perumus sudah baik meskipun belum maksimal dalam mengakomodasi tuntutan korban pelanggaran HAM 1965.

"Misalnya dari 4 poin yang bagus terus kita lihat hanya  dua poin yang diluncurkan pemerintah misalnya rehabilitasi umum saja misalnya, itu menjadi dampak yang tak baik. Jadi, kalau rumusan simposium seperti itu, itu baik. Kalau saya bilang nilainya 6.5 atau 7, luluslah. Tetapi, di pemerintah jangan kemudian menjadi angka 5 lagi. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kemudian jangan susut apa yang menjadi rekomendasi simposium itu," jelas keluarga dan korban pelanggaran HAM 1965 Ilham Aidit kepada KBR,Kamis (19/5).


Ilham Aidit menambahkan, hasil simposium nasional yang akan diumumkan pemerintah menjadi titik awal pengungkapan kebenaran dari pelanggaran HAM 1965.

Terkait adanya upaya menghubungkan peristiwa 1948 dan 1965 dalam hasil simposium. Ilham mengatakan, kasus 1948 sudah mendapatkan penyelesaian hukum. Kata Ilham, tidak ada kaitan antara kejadian 1948 dengan 1945.

"Poin maha penting dari semua itu, peristiwa 1948 sudah diselesaikan secara hukum. Pengadilannya sudah ada dan sebagainya. Sudah selesai. Kedua, mengatakan 1965 terjadi karena 1948 itu gegabah sekali. Tidak ada bukti signifikan yang mengatakan ada ratusan kyai dibantai PKI. Inikan cerita baru, Komnas HAM mengeluhkan ini. Komnas HAM pernah disodorkan data-data itu, tetapi data-data itu hanya penggirian opini saja tanpa ada saksi dan bukti," katanya.


Ada lima poin hasil simposium nasional yang diajukan tim perumus untuk diumumkan pemerintah. Lima poin itu adalah negara menyampaikan penyesalan, pencabutan aturan diskriminatif, rehabilitasi umum dari peristiwa pra dan pasca 1965, reformasi birokrasi kelembagaan untuk melindungi warga serta pembentukan tim adhoc segera.


Desakan  Aktivis HAM 

Aktivis HAM Nursyahbani Katjasungkana menilai rekomendasi yang diberikan panitia simposium tragedi 1965 sudah maksimal meskipun belum dapat memenuhi keadilan keluarga dan korban pelanggaran HAM 1965. Nursyahbani mengatakan, hasil rekomendasi diharapkan bisa dijalankan diikuti pemerintah. Karena rekomendasi  tersebut mencerminkan kemajuan pengungkapan kasus pelanggaran HAM 1965 yang melibatkan negara.

"Sejauh mengenai rekomendasi, itu yang maksimal sekarang ini bisa dicapai, itu sudah langkah jauh sangat maju yang tadinya state denial dan sekarang negara mengambil alih dan peranan besar. Bahkan, negara memimpin pengungkapan kuburan massal itu sesuatu yang maju dan harus kita dukung. Sejauh yang menjadi fokus utama yang berkaitan dengan fakta-fakta sejarah kayanya itu akan menjadi tugas tim adhoc untuk merekonsiliasikannya," jelas Aktivis HAM  Nursyahbani Katjasungkana kepada KBR, Kamis (19/5).


Nursyahbani Katjasungkana menambahkan, dengan memasukkan poin ungkapan penyesalan dari pemerintah itu berarti ada pengakuan dari pemerintah dalam tragedi HAM 1965.

"Ini baru langkah awal, rehabilitasi dulu. Rehabilitasi itukan esensinya penyesalan dan permintaan maaf. Rehabilitas itukan sebuah bentuk pengakuan pemerintah bersalah telah melakukan pembunuhan 3 juta orang tanpa proses, melakukan penghilangan paksa, pemenjaraan, kekerasan seksual, perbudakan dan presekusi," jelasnya.


Editor: Rony Sitanggang

 

  • tragedi65
  • Anak keempat Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) DN. Aidit
  • Ilham Aidit
  • Simposium nasional “Membedah Tragedi 1965”
  • Nursyahbani Katjasungkana

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!