HEADLINE

Dukung Berangus Buku Kiri, Kepala Perpusnas Ralat Pernyataan

Dukung Berangus Buku Kiri, Kepala Perpusnas Ralat Pernyataan

KBR, Jakarta- Pelaksana Tugas Kepala Perpustakaan Nasional, Dedi Junaedi meralat pernyataannya soal menyetujui pemberangusan buku-buku berisi pemikiran kiri. Kata dia, justru lembaganya diamatkan oleh undang-undang nomor 4 tahun 1990 untuk melestarikan semua terbitan buku yang ada di Indonesia apapun isinya minimal dua eksemplar.


"Kami sebagai lembaga perpustakaan dengan undang-undang no 4 tahun 1990 wajib simpan karya cetak, karya tulis. Buku-buku itu tentu minimal dua eksemplar harus disimpan di Perpustakaan Nasional dan satu ke Provinsi. Terlepas itu isinya bagaimana, yang seperti tadi tentu kami berkewajiban harus melestarikan itu. Itu fungsi kami," ujarnya kepada KBR di Kantor Perpustakaan Nasional, Jakarta.


Menurut dia dari pernyataannya kemarin, ideologi komunislah yang tidak boleh berkembang lagi karena bertentangan dengan Pancasila dan harus dihilangkan tetapi tidak dengan bukunya. Oleh karenanya dia memastikan tidak setuju dan mengaku prihatin apabila buku diberangus apapun isinya.


"Iya kemarin begitu ditanya soal berangus buku itu maksud saya bukan bukunya, tetapi secara ideologinya. Dan itu menurut saya secara pribadi. Kalau ideologinya itu siapapun yang bertentangan dengan Pancasila saya kira semua setuju. Tapi tentang buku tentu harus dilestarikan, dan itu pernyataan saya sebagai lembaga. Justru sekarang saya mau mengklarifikasi soal pernyataan saya kemarin," ujarnya.


Meski demikian kata dia, perpusnas tidak bisa dan tidak mau berkomentar banyak soal pemberangusan buku-buku yang berisi pemikiran kiri. Pasalnya kata dia, itu merupakan kewenangan aparat penegak hukum.


"Masalah sweeping, masalah yang tadi itu kewenangannya ada di aparat. Kalau saya itu kewenangannya ada di dari aparat silahkan melakukan," ujarnya.


Dia juga mastikan tidak ada perlakuan berbeda bagi masyarakat umum yang ingin mengakses buku-buku yang berisikan pemikiran kiri. Kata dia, semua masyarakat Indonesia bebas mengaksesnya, baik secara online maupun mengakses langsung ke Perpustakaan Nasional. Hanya saja kata dia, tidak semua judul yang ada bisa diakses online dan itu dikarenakan keterbatasan pihaknya.


"Ya sebenarnya kan gini, kalau buku yang itukan bisa kita selektif yang secara online jadi tidak full teks itu kalau cara mengaksesnya secara digital, karena keterbatasan kami. Yang pasti kalau mau akses kesini langsung tidak ada perlakukan khusus, siapa saja boleh mengakses," ujarnya.



Istana:  Perpusnas Berlebihan

Pihak Istana menilai rencana pemusnahan buku-buku kiri oleh Perpusnas sebagai tindakan berlebihan. Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, Presiden Jokowi menegaskan kebebasan berekspresi, membaca dan berpikir dijamin konstitusi.


Kata dia, atas sikap Perpusnas yang antidemokrasi tersebut, Menteri Pendidikan diminta untuk memberikan teguran.



"Sehingga kalau kemudian ada tindakan yang berlebihan yang itu kemudian telah diingatkan oleh Presiden dan saya sendiri sudah berkonsultasi dengan beliau, dan sudah menyampaikan kepada berbagai pihak bahwa tindakan ini tidak boleh overdosis, tidak boleh berlebihan, dan kita harus menghormati apa yang sudah diatur dalam konstitusi kita. (Pemusnahan buku-buku itu termasuk berlebihan?) Kalau saya lihat termasuk overdosis. (Itu akan ditegur?) ya nanti Menteri Pendidikan yang bertanggung jawab," kata Pramono Anung di Kantor Seskab, Selasa (17/5/2016).


Sebelumnya, Pelaksana tugas Kepala Perpusnas, Dedi Junaedi diberitakan mendukung pemberangusan buku-buku berisi pemikiran kiri. Pasalnya menurut dia, dengan adanya buku-buku aliran kiri tersebut bisa meresahkan masyarakat.

Menurut dia, Perpusnas sebagai lembaga pembina berkewajiban untuk menyimpan koleksi buku-buku tersebut. Namun kata dia, di zaman Orde Baru harus ada izin dari pihak berwajib untuk bisa mengakses buku-buku tersebut.

Oleh karenanya dia mengaku setuju jika saat ini razia banyak buku berbau kiri yang dirazia TNI dan Polri. 



Editor: Rony Sitanggang

 

  • Pelaksana tugas Kepala Perpusnas
  • Dedi Junaedi
  • buku kiri
  • Sekretaris Kabinet Pramono Anung

Komentar (2)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • Donald Mangatas Togatorop.8 years ago

    Negeri ini sejak perahlian kekuasaan dari tangan Proklamator Ir. Soekarno ketangan Mantan tentara KNIL Soeharto. porakporanda semua tatanan yang sudah mulai dibangun sebagai karakter Bangsa ini. Paham Nasionalisme dipaksakan oleh penguasa harus benci dengan KOMUNIS, rakyat digiring agar tidak mengena lsejarah Nasionalisme yang sesungguhnya. Bahwa Nama Indonesia yang pertma kali disebutkan dimana masa kekuasaan Belanda masih kuat, pada tahun 1920 PARTAI KOMUNIS INDONESIA sudah ada. Dengan gagah beraninya kumpulan-kumpulan kaum Pemuda KIRI membentuk Partai dengan sebutan Indonesia.

  • Abdul Hafidz Ahmad8 years ago

    Bener-bener muak sama pemerintah. Bener-bener gak paham sama yang ini. Pinter bener buat pengalihan isu. Pusat literasi, pusat kemajuan, pusat jendela pengetahuan malah ngelakuin ini. Pengetahuan itu hak asasi tiap orang. Kalo gerakan yang mencurigakan, boleh lah dieksekusi. Lah ini pengetahuan bung, kunci utama peradaban. Harusnya perpustakaan jadi benteng terakhir biar buku-buku itu aman kalo di kos dan gerai-gerai disweeping. Daripada repot-repot musnahin buku, sweeping logo dan simbol, itu musnahin koruptor, musnahin kebodohan, musnahin kesenjangan, sweeping itu mafia-mafia hukum, itu kasus panama papers, BPJS, RUU KPK, RUU tax amnesty, kartu-kartu saktinya, nawacitamu piye? Gak bisa seenaknya lah pemerintah musnahin ini itu dengan mengatasnamakan disintegrasi bangsa. Tiap manusia berhak mendapatkan pengetahuan apapun coraknya. Bahkan pemerintah wajib ngasih pengetahuan, ngasih pendidikan. Tapi inget, bukan pengetahuan yang malah melanggengkan kebodohan, kesenjangan dan ketidakberpihakan. Tapi pengetahuan yang membebaskan, pengetahuan yang berkeadilan, pengetahuan yang berpihak. Berpihak sama kaum minoritas, sama yang tertindas. Biarlah masyarakat tahu sendiri bagaimana sejatinya sejarah bangsanya, tahu gimana kejamnya rezim orba saat itu, tahu gimana kuatnya pengaruh developmentalis bercumbu ria dengan para pejabat, tahu sendiri gimana bobroknya bangsanya, tahu bagaimana menafsirkan pancasila yang berpihak. Gini boro-boro ngomong disintegrasi, ingin melindungi pancasila, isu komunis meresahkan. Wong pemerintahnya sendiri yang mengembang-biakkan disintegrasi. Pemerintah gak berani buka-bukaan sama sejarah bangsanya sendiri dan pengen melanggengkan kebodohan buat rakyatnya kok. Bener-bener rezim dah. Duh. Buyar ae