HEADLINE

[WAWANCARA] Ilham Aidit: Ketika Permintaan Maaf Muskil, Penyesalan Cukup

""Saya bisa memahami bahwa negara akan mendapat resistensi yang besar sekali apabila meminta maaf. Yang bagus dari rumusan itu, adalah negara akan menyatakan penyesalan.""

[WAWANCARA] Ilham Aidit: Ketika Permintaan Maaf Muskil, Penyesalan Cukup
Ilham Aidit, Penyintas 65/66. (Foto: Antara)

KBR, Jakarta - Pada 18 Mei 2016 lalu, tim perumus simposium menyerahkan berkas rekomendasi penyelesaian tragedi 1965 ke pemerintah. Sekitar satu bulan, konsep penyelesaian itu diramungkan, lantas diserahkan ke Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan.

Rabu sore itu, usai menerima kedatangan perwakilan tim perumus, kepada wartawan di Kantor Kemenkopolhukam Luhut mengatakan, materi rekomendasi tersebut tentang permintaan agar pemerintah menyatakan penyesalan soal tragedi '65. Dia mengaku masih harus mengkaji sejumlah poin.

Baca juga: Tim Perumus Rekomendasikan agar Pemerintah Nyatakan Penyesalan dan Rekomendasi Bisa Berubah

Bagaimana tanggapan dari penyintas 65/66? Jurnalis KBR, Yudi Rachman berbincang dengan putra keempat Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) Dipa Nusantara Aidit, Ilham Aidit.


Bagaimana tanggapan Anda soal gambaran rekomendasi simposium? Sebelumnya Pak Luhut menyebut, ujung rekomendasi adalah permintaan agar pemerintah menyatakan penyesalan..

Yang pertama, itu adalah hasil maksimal yang mumpuni. Jadi itu menurut saya, untuk korban sudah sangat baik. Saya bahkan berharap, tidak lagi dikurangi dari apa yang jadi rumusan simposium itu. Saya bisa melihatnya seperti ini. Rekonsiliasi yang baik itu mencakup empat hal. Nanti kita bandingkan dengan rumusan simposium. Satu, adknowledge, yaitu pengakuan atas perbuatan. Kedua, truth-telling, penjelasan yang sebenarnya terjadi, itu kaitannya dengan pelurusan sejarah. Ketiga, public remouse, itu adalah penyesalan state denial di muka publik oleh pemerintah. keempat adalah reparasi, rehabilitasi, kompensasi, dan sebagainya. Itu adalah empat prasyarat rekonsiliasi.


Pemerintah tidak menyatakan permintaan maaf, tapi pemerintah membuka kemungkinan menyatakan penyesalan terhadap peristiwa itu. Bagaimana?

Saya bisa memahami bahwa negara akan mendapat resistensi yang besar sekali apabila meminta maaf. Yang bagus dari rumusan itu, adalah negara akan menyatakan penyesalan. Penyesalan itu satu tingkat di bawah permintaan maaf, penyesalan itu bisa begini. Negara menyesal bahwa hal itu tidak bisa dikendalikan oleh negara. Itu kan satu tingkat di bawahnya. Itu bukan salah negara sepenuhnya lho. Karena konflik horisontal terjadi begitu liarnya, misalnya. Jadi saya ingin katakan, negara menyatakan penyesalan, itu satu tingkat di bawah perminataan maaf, tapi itu bolehlah.

Cukup tidak untuk keadilan buat korban?

Itu cukup memadai. Karena mengharapkan negara meminta maaf saya pikir juga muskil. Pemerintah tidak terlalu taktis karena dia akan mendapat resistensi luar biasa dari kalangan TNI, dari kalangan nahdiyin, dan dari ormas dan sebagainya, tapi negara sudah meyatakan penyesalan terhadap peristiwa itu, artinya negara tahu peristuwa itu keliru, jadi meyesal. Tapi belum sampai tahap minta maaf.

Kemudian rehabilitasi umum. Rehabilitasi umum adalah hal minimal yang harus dilakukan oleh negara. Jadi, rehabilitasi itu harus, hal minimum yang diberikan negara kepada korban, karena semua tahu ada begitu banyak orang ketika itu yang dibunuh di penjara tanpa proses keadilan. Itu semua orang banyak tahu lah. Tapi mengusut satu per satu menjadi rumit, maka rehabilitasi umum jadi cara paling shortcut, cara paling singkat untuk mmberikan nama baik.

Juga hak korban?

Pemulihan nama baik itu dilanjutkan dengan pemulihan hak-hak sipil korban. Lalu ada kaitannya langsung dengan pencabutan pasal-pasal diksriminatif. Itu satu hal lainnya. Jadi boleh, tapi harus dijelaskan secara beruntun. Pemulihan hak-hak korban harus dilakukan, pemulihan hak-hak sipil korban harus dilakjukan, kemudian pencabutan pasal-pasal diskriminatif.

Itu saya pikir yang saya sedikit khawatirkan, mudah-mudahan ini tidak lagi berkurang. Ini kan ada beberapa hal yang jadi rekomendasi kepada pemerintah. Nanti dalam statementnya pemerintah, jangan ada yang kurang lagi.

Jadi jangan sampai berubah ya?

Iya. Misal dari empat hal yang bagus, cuma dua yang diluncurkan oleh pemerintah. Cuma rekonsiliasi saja misalnya. Itu menjadi dampak yang tak baik. Jadi kalau rumusan simposium seperti itu, itu baik, nilainya 6,5 sampai 7 lah. Lulus lah. Tapi di pemerintah jangan jadi angka 5 lagi. Kebijakannya kemudian jangan susut dari yang jadi rekomendasi simposium itu.


Tapi soal mengaitkan 65 dengan 48, sesuai tidak?

Begini, poin pentingnya, maha pentingnya, satu, peristiwa 48 sudah diselesaikan secara hukum. Itu sudah ada penyelesaian secara hukum. Pengadilannya sudah ada dan sebagainya sebetulnya sudah selesai. Kedua, mengatakan 65 terjadi karena 48, itu gegabah sekali. karena 48 tidak ada bukti signifikan yang menyatakan ada ratusan kyai dibantai PKI. Ini cerita baru. Dari mana lagi? Komnas HAM juga pernah diajukan data itu. Tapi itu hanya penggiringan opini tanpa saksi dan bukti.


Belum jelas kebenarannya?

Iya. Hanya kabar dihajar. Kalau ditanya oke saksinya siapa? Tidak akan bisa itu. sehingga oleh Komnas HAM dihentikan. Karena cuma data yang menggiring opini. Kalau 65 jelas, bahkan Pulau Buru paling jelas lah. Jadi mengaitkan 65 dengan 48, satu 48 sudah selesai. Kedua, ada begitu banyak korban di kalangan kyai itu, harus diverifikasi, diinvestigasi dulu. Orang katakan ribuan kyai dibunuh, disembelih, itu susah sekali dikatakan benar. Itu kan cerita baru. Bahwa 65 ada ratusan ribu orang tewas, betul, faktanya ada. Bahkan versi resmi pemerintah bilang 480 ribu orang. Versi lain bilang 1,2 juta. Sarwo Edhi bilang 3 juta. Ya tapi yang ratusan ribu udah pasti. Tapi 48, itu cerita baru yang digadang-gadang oleh kaum nahdlyn. Itu yang harus hati-hati menyelesaikan masalah kesejarahan bangsa ini.


Baca juga: Tragedi '65 Tak Lepas dari Tindakan Kekerasan Sebelumnya 

Terkait gambaran rekomendasi ini, penyesalan misalnya, sudah cukup melegakan?

Melegakan kalau sudah jadi kebijakan dan statement pemerintah. Kalau masih merupakan rekomendasi buat pemerintah, kan masih ada satu langkah lagi, apa yang dilakukan pemerintah, sikap pemerintah. Kalau simposium pemerintah, ada 5 poin dibuat 2, rehabilitasi umum, dan apa gitu.

Rekomendasi itu sudah hal minimal yang sebetulnya dituntut dalam tanda kutip oleh korban, kalau kita mengingat kegetiran korban sepanjang hidupnya. Ngerti nggak?


Kerugian materi ya?

Kerugian yang dialami korban. Tidak hanya materi. Moral, moril juga, semacam kehilangan orangtua, menggelandang sekian lama, sekian puluh tahun dianggap anak PKI. Kepedihan tidak seberapa dari rekomendasi itu. itu yang harus diingat, jadi jangan anggap korban minta banyak. ngerti nggak? Korban itu sudah rugi banyak tapi mintanya, menuntut sedikit.

Komnas ham kan sudah melakukan penyidikan ke 1400 kasus kalau tidak salah, itu lanjutkan saja. Kalau tim ad hoc bisa jadi polemik, segala macam, bisa berhenti di tengah jalan.


Baca juga: kumpulan berita terkait tragedi 65/66

Dari nol lagi?

Iya, dan orangnya bisa kontroversial. Makanya, dari Komnas HAM dilanjutkan saja. Pembentukan tim ad hoc boleh saja, tapi secara pribadi saya tidak terlalu optimis.


Bisa dipatahkan ya?

Bayangkan UU KKR yang diundangkan bisa patah juga tuh. Padahal prosesnya panjang sekali tuh. Komisinya sudah kebentuk, kepilih. Ini mau dibentuk tim ad hoc, kan bekerja dari awal lagi.

Kemudian tim ad hoc ini memulai tugas dengan melakukan verifikasi lagi, investigasi lagi, pendataan ulang dan segala macam. Ya nggak papa, bisa saja, tapi siap dengan langkah panjang.

Sementara kan Komnas HAM sudah mengambil 1400 kasus. Tapi apapun itu, ringkasnya rekomendasi untuk presiden dari simposium itu sudah baik, jangan dikurangi lagi lah.



Editor: Nurika Manan

  • tragedi65
  • tragedi 65
  • Simposium nasional “Membedah Tragedi 1965”
  • simposium 65
  • Pelanggaran HAM 1965

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!