SAGA

Mengecer Jurus Penegakan Perda KTR

Sidang Tipiring di Kawasan Dilarang Merokok

Kepulan asap memenuhi warung yang letaknnya tak seberapa jauh dari sebuah sekolah menengah kejuruan (SMK) di bilangan Jalan Pajajaran, Kota Bogor, Jawa Barat. Sumbernya berasal dari mulut sejumlah siswa berseragam batik. Dengan tas yang masih melekat di punggung, enam siswa tampak menyedot asap rokok dalam-dalam lalu menghembuskannya ke udara.

“Anak sekolah banyak yang beli. Sebatang, dua batang. Paling sehari dua sampai tiga bungkus (terjual untuk anak sekolah-red),” ungkap Muslimah saat ditemui Jaring.id Kamis, 4 April 2019.

Di usianya yang hampir menginjak tujuh dekade, Muslimah sudah berjualan rokok selama 30 tahun. Ia mengakui bahwa sebagian besar pembeli rokok ialah pelajar. Dalam sehari, ia bisa mengantongi Rp200-300 ribu dari penjualan rokok. Itu sebabnya ia enggan menghilangkan rokok dari daftar barang yang dijual.

“Dari dulu jualan. Jaman rokok masih Rp 200-500, sebatang,” ujarnya sembari tertawa.

Muslimah sebetulnya tahu bahwa Kota Bogor memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Tapi karena melapak rokok di sekitar sekolah tidak masuk kawasan terlarang sebagaimana tertulis dalam Pasal 13 (3), maka ia acuh tak acuh dengan aturan tersebut.

“Ibu mah santai, meski ada aturan. Tidak susah (menjual rokok),” selorohnya.

Melalui Perda 12 yang terbit 10 tahun lalu, Pemeritah Kota Bogor menetapkan delapan Kawasan Tanpa Rokok. Selain sekolah, ada taman kota, arena bermain anak, dan sarana kesehatan. Namun, Jaring.id menemukan bahwa di beberapa lokasi, KTR hanya jargon belaka.

Kondisi Taman Kota Kencana dan Sempur misalnya, di beberapa sudutnya masih dipenuhi asap rokok. Puntung rokok juga bergeletakan di sudut-sudut taman yang menghabiskan biaya pembangunan tak kurang dari Rp 2 miliar tersebut.

Salah satu penghisap rokok di taman kota ialah Sukardi (59). Pedagang bunga sekaligus perias tanaman ini tampak tidak menghiraukan peraturan daerah. Mudah saja bagi dirinya buat menyulut rokok di salah satu kawasan terlarang.

“Sehari merokok sebungkus. Beli yang Rp 12 ribu,” kata Sukardi saat ditemui di gubuk tempatnya beristirahat, Kamis, 4 April 2019.

Dengan pola konsumsi rokok seperti itu, maka Sukardi setidaknya perlu menyisihkan lebih Rp 350 ribu sebulan. Jumlah yang menurutnya terhitung besar jika dibandingkan dengan mendapat upahnya yang masih di bawah Upah Minimun Kota (UMK) Bogor 2019. Namun, bapak empat anak ini mengaku sulit menghilangkan kebiasaan merokok.

“Kebutuhan pokok sehari-hari (masih) cukuplah,” ujarnya pendek.

Kondisi ini membikin miris Wakil Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) Tubagus Haryo Karbanyanto. Menurutnya, rokok masih menjadi prioritas belanja nomor dua setelah beras. Bahkan, Badan Pusat Statistik (BPS) menjadikan rokok sebagai salah satu penyumbang garis kemiskinan.

“Hasil studi juga menunjukan bahwa perokok terbanyak dari keluarga miskin sebesar lebih dari 70 persen,” kata Tubagus.

red

Upaya Berkesinambungan

Kota Bogor merupakan daerah yang dianggap berhasil membuat aturan Kawasan Tanpa Rokok. Selain menseterilisasi rokok dari delapan kawasan, kota yang berjarak sekitar 34 kilometer dari Ibukota DKI Jakarta ini bahkan sudah melarang peredaran iklan rokok.

Sesuai Peraturan Daerah Bogor Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok, seluruh minimarket di Kota Bogor wajib menutup rak rokok dengan tirai. Belakangan, aturan tersebut menuai protes pengusaha dan Kementerian Dalam Negeri. Namun, Pemerintah Kota Bogor bergeming.

Melalui Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan seluruh dinas terkait, Pemerintah Kota Bogor berupaya menegakkan aturan KTR. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bogor sebagai contoh, mendenda 31 pelanggar sepanjang 2018. Mereka juga mencatat 43 instansi yang tidak mematuhi aturan tersebut.

Menurut Ketua Bidang Penegakkan Perda Satpol PP Kota Bogor Hendra, umumnya pelanggaran terjadi di tempat umum dan transportasi, utamanya angkutan kota.

Dalam Perda KTR, sanksi yang bisa dijatuhkan kepada pelanggar berkisar Rp 50–100 ribu. Sedangkan pimpinan lembaga/badan dapat dikenai denda mulai Rp 1 juta hingga belasan juta.

“Sesuai dengan Perda nominalnya segitu. Kita baru jatuhkan ke perorangan, belum ke lembaga. Biasanya ketangkap tangan, lalu kita denda langsung di tempat,” ungkap Hendra.

Harus diakui, menurut Hendra, penegakkan Perda KTR di Kota Bogor belum maksimal. Bahkan, sanksi berupa denda yang kini sudah diterapkan tidak menyurutkan keinginan merokok warga Bogor.

“Peraturan daerah terkait KTR di Bogor sudah berjalan cukup lama dari 2009. Namun, berjalannya tidak mulus seperti yang dibayangkan,” akunya.

Oleh sebab itu, Wali Kota Bogor Bima Arya bakal mengupayakan sejumlah terobosan. Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini ingin membangun ekosistem kota yang baik untuk menekan jumlah perokok. Salah satunya dengan cara mengganti seluruh alat angkut kota bertrayek dalam kurun waktu 2-3 tahun.

“Jadi (di dalam bis) tidak akan boleh merokok. Sebenarnya sekarang di dalam angkot juga tidak boleh,” ujarnya pada Kamis, 4 April 2019 di kantor Walikota Bogor.

red

Walikota Bogor, Bima Arya memberikan keterangan perihal penertiban Kawasan Tanpa Rokok di Kota Bogor di gedung Paseban Sri Baduga, Balaikota, Kamis, 4 April 2019. | Foto: Abdus Somad (jaring.id). 

Agar ada upaya berkesinambungan antara daerah dan pusat, Bima mengusulkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Batas usia pembeli rokok dalam PP ini dipatok hanya 18 tahun ke atas.

“Kita ingin memperketat lagi aturan pembelian (rokok) di bawah umur. Kita usulkan penurunan batas usia minimal pembelinya 17 tahun ke atas ,” pungkasnya. (Abdus Somad/ Damar Fery Ardiyan) 

  • rokok

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!